Anak-anak bermain kalau air sungai bersih – Foto/pixabay.com |
Keindahanmu perlahan-lahan mulai sirna
Sore itu aku berdiri persis di tengah jembatan, menatap jauh ke arah hulu dan hilir sungai. Aku menatap pemandangan yang sungguh tidak nyaman ditambah bau yang cukup menyengat hidung. Kuperhatikan warna air yang ada di sungai itu, yang jelas kejernihan airnya tidak nampak sama sekali, entah apa warnanya.
Sepanjang aku memandang sungai, yang kutemukan hanyalah tumpukan aneka jenis sampah; plastik, kaleng, botol dan masih banyak lagi. Hampir seluruh permukaan sungai itu ditutup dengan sampah-sampah yang entah dari mana asalnya.
Di sekitar pinggiran sungai itu berjejer bangunan-bangunan elite, baik rumah, maupun pertokoan. Kemungkinan besar sampah-sampah yang ada di sungai itu berasal dari orang-orang yang menghuni bangunan-bangunan elite itu.
“Pikirku seketika.”
Melihat sungai itu, aku kemudian teringat sewaktu aku kecil dulu. Sungai adalah tempat aku bermain-main dengan sahabat-sahabatku usai menanam ataupun memanen padi.
Sungai menjadi tempat yang mengasikkan dan tempat pelarian tatkala badan penuh dengan lumpur dan rasa gatal akibat serangga yang banyak di sawah. Kesejukan airnya membuat kami enggan untuk beranjak meninggalkannya.
Gemercik airnya yang kandas pada bebatuan menambah keindahan sungai itu. Tiupan angin yang sesekali menyambar dedaunan pohon juga memberi kesejukan pada tubuh mungil kami di kala itu, ditambah lagi dengan kicauan burung-burung di sekitarnya menambah semarak keindahan sungainya.
Sungguh, sungai itu ibarat surga kecil yang memberikan kesejukan dan kesegaran bagi kami. Keindahan alam yang luas seakan terangkum dalam airnya yang jernih nan segar.
Tatkala aku memandang ke dalamnya, yang kutemukan adalah langit biru dan awan-gemawan. Sungguh indah di kala itu.
“Om…! Om….! Om……! Jangan buang sampah dong ke sungai itu!” Seruku pada salah seorang bapak yang hendak membuang sampah ke sungai.
Bapa itu tidak menghiraukan perkataanku, ia tetap saja membuangnya.
Tidak lama berselang, kulihat lagi sampah yang jatuh dari rumah bertingkat tepat di tengah sungai itu.
Rupanya budaya membuang sampah ke sungai seakan sudah menjadi kebiasaan orang-orang yang ada di sekitar sungai itu, maka tak heran lagi kalau sungai itu menjadi aliran sampah yang mengerikan.
Sekali lagi aku memperhatikan sungai itu, tak ada kehidupan di dalamnya, tidak sama dengan sungai yang kutempati bermain-main sewaktu kecil dulu. Ikan-ikan kecil banyak berkeriapan di dalam airnya yang jernih.
Tatkala jika kami telah jenuh mandi, kami mencoba menangkap ikan-ikan kecil itu. Sungguh mengasyikkan.
Tetapi aku kemudian merasa sedih, ketika melihat sungai yang ada di hadapanku saat ini; kotor, bau, berantakan dan tak indah sama sekali untuk dipandangi.
Sekian orang yang hidup di pinggiran sungai itu, rupanya tak memiliki sedikit pun kepedulian terhadapnya, mereka malah tambah mengotori sungai itu dengan sampah-sampah yang mereka hasilkan.
Dalam hati aku mencoba bertanya-tanya mengapa kebanyakan orang zaman ini cenderung mencari gampang?
Mereka membuang sampah ke sungai, seakan-akan tempat sampah tidak ada. Apakah mereka tidak menyadari bahwa mereka telah mencoba merusakkan bumi yang adalah rumah dan tempat tinggal mereka?
Mereka sungguh tak menyayangi bumi ini, mereka merusak sebagian keindahannya, mereka seakan menghancurkan tempat yang aku tempati bermain-main dengan teman-temanku sewaktu kecil dulu.
Setelah sekian lama aku berdiri di atas jembatan itu, kini aku harus berdalih akibat hujan deras yang tiba-tiba turun, ia seakan hendak mengusirku dari jembatan itu, ia seakan tak ingin melihatku berlama-lama menatap sungai itu.
Derasnya air yang turun membasahi sebagian pakaianku, membuatku harus mencari tempat berteduh. Tak jauh dari jembatan tempat aku berdiri sedari tadi, kulihat ada pondok kecil yang cocok untuk berteduh dari derasnya hujan di sore itu, tanpa tunggu lama aku pun langsung menuju ke sana.
Di pondok itu, aku tetap mengarahkan pandangan ke arah sungai yang kini perlahan-lahan permukaannya yang penuh dengan sampah mulai bergerak menuju hilir.
Sampah-sampah yang berada tepat pada permukaan sungai itu, seakan berdesak-desakan menuju hilir, ibarat ribuan manusia yang selesai menonton bola dan berdesak-desakan keluar dari stadion.
Derasnya hujan mengakibatkan permukaan air sungai mulai naik, sampah-sampah yang membanjiri permukaan sungai mulai naik mendekati dasar jembatan yang kutempati berdiri tadi.
Tak hanya itu, permukaan tanah yang juga menjadi tempat pemukiman warga perlahan-lahan sudah dipenuhi dengan aneka sampah plastik.
Warga-warga yang ada di pinggiran sungai itu hanya bisa menonton dari ketinggian rumah mereka. Mereka menatap sampah-sampah yang kini perlahan-lahan berdesak-desakan memasuki pekarangan rumah mereka, sampah-sampah yang setiap hari mereka buang ke sungai.
Mereka seakan tak memiliki perasaan bersalah sama sekali, mereka malah tersenyum menyaksikan kejadian sore itu. Toh sampah yang membanjiri halaman rumah mereka itu esok bisa dibuang lagi ke sungai.
Ketika aku sedang asyik menatap ke sungai itu, tiba-tiba seorang pria dengan motor berhenti tepat di depan pondok aku berteduh. Ia juga hendak berteduh karena derasnya hujan yang terus mengguyur.
Dalam kesempatan itu, kami akhirnya berbincang-bincang mengenai sungai yang ada di hadapan kami itu, sungai yang tak pantas lagi disebut sungai karena bukan lagi air yang kami saksikan di dalamnya, tetapi ribuan sampah yang beraneka ragam.
“Kejadian seperti ini sudah sering terjadi tiap tahunnya” kata Randi, pria yang juga ikut berteduh bersamaku itu.
Aku kemudian bertanya, “tapi kenapa kejadian seperti ini terus berlanjut, apakah tidak ada kesadaran dari masyarakat sekitar untuk membenahi kejadian seperti ini ataukah dari pihak pemerintah supaya menganjurkan kepada masyarakat agar tidak membuang sampah ke sungai?”
Randi kemudian menunjukkan suatu tulisan yang sedari tadi tidak kuperhatikan sama sekali karena asyik melihat sungai itu.
“JANGAN MEMBUANG SAMPAH KE SUNGAI INI!”
Demikian kalimat tulisan itu.
Kata Randi, dari pihak pemerintah sendiri sudah berusaha memperhatikan agar kebersihan sungai itu tetap terjaga, tetapi letak masalahnya ialah masyarakat tidak mempunyai kesadaran sama sekali.
Sudah jelas-jelas di situ tertulis JANGAN MEMBUANG SAMPAH KE SUNGAI INI, toh tidak diindahkan juga, malahan sungai itu kini penuh dengan genangan sampah.
Mungkinkah masyarakatnya tidak tahu membaca sehingga tulisan itu tidak diindahkan?
Sangat disayangkan kalau mereka tidak tahu membaca, punya rumah tingkat-tingkat dengan aneka kendaraan dalam garasi serta pertokoan yang elite-elite, kok tidak tahu baca, kan tidak mungkin.
Katanya zaman sudah semakin maju, teknologi semakin canggih, tetapi untuk mengindahkan kalimat singkat JANGAN MEMBUANG SAMPAH KE SUNGAI INI, kok terasa amat berat dan sulit?
Yah, itulah perilaku masyarakat elite masa kini, tak tahu merawat bumi ini, bumi yang adalah rumah dan tempat mereka hidup.
Sungai yang juga adalah rumah ikan-ikan kecil serta binatang air lainnya kini disulap oleh manusia menjadi rumah sampah yang mendatangkan banyak musibah; tak ada lagi kehidupan di dalamnya, tak ada lagi gemercik air yang kandas pada bebatuan, tak ada lagi anak-anak yang mau bermain-main di sekitar sungai itu, tak ada lagi yang mau peduli dengan sungai itu.
Yang ada hanyalah bau yang cukup menyengat hidung, dan pemandangan yang hendak mengundang kita untuk menitikkan air mata karena merasa sedih, serta kasihan melihat nasib sang sungai, yang kini berubah menjadi lautan sampah, ia seakan ikut berubah menjadi barang rongsokan yang tidak dipedulikan lagi.
Ribuan mata tak sudi lagi menatapnya, anak-anak pun enggan bermain-main di sekitarnya.
Sungai itu kini menjadi hancur akibat manusia masa kini yang mengubahnya menjadi rumah barang-barang rongsokan bukan lagi kediaman binatang-binatang air.(Red,de Lomes)
Penulis: Wandi Raya, OFM, mahasiswa STFT Fajar Timur Abepura, Papua
9 Komentar