Jangan wara-wiri dulu. Di rumah saja. Ikuti saran pemerintah. Kitorang sedang dilanda pandemi virus korona.
Kalau boleh, segeralah vaksin dan tetap PPKM atau Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat, bukan Pernah Pacaran Kemudian Menghilang.
Namun, sebelum benar-benar pulih dan nyaman untuk jalan-jalan, sebaiknya jaga kesehatan, baik kesehatan badan, maupun kesehatan pikiran. Isi kepala dengan aneka ilmu, lalu saring dan jadikan bekal.
Saya menyarankan untuk membaca buku-buku atau berita inspiratif dan menguatkan mental. Bisa juga menyisihkan waktu beberapa menit saja, untuk membaca tulisan santuy ini. Tentang Bukit Tungkuwiri.
Kelak setelah PPKM langsung gas. Tra usah rem. Tapi itu tadi. Tabung dulu rindu sebelum benar-benar gas untuk melampiaskannya bila mau bajalan sana-sini atau berwara-wiri ria.
Sejatinya setelah PPKM—Pernah Pergi Kemudian Mengenang, mari langsung ke sini, di Bukit Tungkuwiri, Kabupaten Jayapura, Papua.
Di bukit ini, kawan-kawan dapat bernostalgia dan bermanja-manjaan dengan bayu senja yang menggoyangkan bulu roma, dan mentari yang bersandar, sembari berkata, “ini tanah air kita, sayang! Bumi Khenambay Umbai di Tanah Papua yang kaya.”
Tungkuwiri sebenarnya satu dari banyak objek kunjungan favorit masyarakat di Jayapura dan sekitarnya. Tak jauh dari sini, membentang kampung dengan pantai berkerikil halus di pesisir Samudra Pasifik. Namanya Tablanusu, yang bersebelahan dengan Pantai Amai di Distrik Depapre.
Tak kalah juga pemandian Kali Biru di Genyem, Tugu Mc Artur di Ifar Gunung, Danau Love di Distrik Sentani Timur, dan Kampung Asei—kampung dengan lukisan kulit kayunya, serta situs-situs bersejarah dan arkeologis seperti Bukit Megalitik Tutari dan situs-situs religi di tengah danau.
Bukit Tungkuwiri biasa dikenal dengan sebutan Bukit Teletubies. Meski banyak nama Bukit Teletubies di beberapa daerah di Indonesia—Nusa Penida, Bali, Gunung Bromo dan Blitar di Jawa Timur, dan Suluk Sulawesi Tengah, dan tiap tempat punya kekhasannya masing-masing, Tungkuwiri berbeda.
Barisan bukit landai di Kampung Doyo Lama, Distrik Waibhu ini, menawarkan punggung bukit yang ditumbuhi ilalang dan rerumputan hijau. Dari kejauhan tampak seperti bidadari yang menyibak mata.
Rasa penasaran akan terjawab ketika langkah kaki kita semakin merapat dan menjejak di atas ratusan anak tangga, setelah beberapa menit dari bandara Sentani, atau sekitar satu jam dari pelabuhan laut Kota Jayapura. Sungguh mati, sepenggal surga kecil yang jatuh ke bumi.
Sebelum didandani beberapa tahun kemarin, karena menjelang PON XX di Tanah Papua, bukit ini menawarkan panorama alamiah. Beberapa pondok dibangun di sini. Semacam “perhentian” saat ibadah jalan salib. Kitorang bisa meleseh dan menjeda di pondok-pondok kecil sambil berdiskusi atau mop.
Punggung bukit yang panjang membuat mata enggan terpejam meski dibelai angin. Sejauh pandangan mata, saya juga seperti melihat kuda raksasa di tepian danau yang berada di lereng Pegunungan Cycloop ini. Bagian ekor kuda itu di sini: tempat salib berdiri tegak.
Bukitnya menyerupai pagar di lembah, di sisi lain tepian Danau Sentani. Kau berdiri di awal perjalanan, tampak pada sebuah puncak di perhentian pertama, salib berdiri tegak dan memandang sejauh tangkapan mata.
Gundukan tanah yang memanjang, dan punggungnya ditumbuhi ilalang hijau. Berpadu dengan air danau yang tenang dan rumah-rumah penduduk di tepian kanan.
Di lembahnya, sisi kiri atau di sebelah timurnya, pepohonan sagu berdiri dengan gagahnya, kota Sentani, kawasan Doyo, rumah-rumah warga di tepi danau, dan pulau-pulau mungil.
Pada sisi lainnya jalan berkelok-lekuk. Itu jalan menuju Sarmi dan Lembah Grime Nawa. Di tepian danau terluas di Papua ini tiap tahun dihelat Festival Danau Sentani.
Wara-wiri sembari digelitik ilalang dan angin bukit, setelah menjejak di atas ratusan anak tangga berwarna-warni, lalu tiba di atasnya, panorama danau menyibak mata, adalah pengalaman yang tak mungkin kau lupakan. Sungguh memikat mata. Apalagi bebarengan dengan ade nona.
Tempat ini menjadi ramai sejak ditata. Orang-orang berdatangan untuk berfoto ria, trekking, atau sekadar menikmati udara sore, panorama alam yang eksotis, dan barisan anak tangga yang menyerupai pelangi selepas rintik hujan.
Bila gerimis datang, animo masyarakat barangkali tak bisa dibendung mendung. Malahan mereka berlarian, berfoto ria, dan tampak tenggelam dalam belaian sang keindahan.
Oktober nanti Pekan Olahraga Nasional XX dihelat di Papua. Salah satu stadion dibangun di Jayapura, tak jauh dari Bukit Teletubies.
Ribuan orang dari tiga puluh empat provinsi di Indonesia, hampir pasti akan berbondong-bondong ke Tanah Papua, maka berwara-wiri ria di Bukit Tungkuwiri usai pandemi atau ketika PON tiba, adalah tawaran yang tak bisa diabaikan. Helem foi.(*)
#2021
Timoteus Rosario Marten
11 Komentar