Kampung Sima. Tiga Puluh Sembilan (39) Tahun yang lalu sa (saya, sebutan lokal) dilahirkan disini dan memiliki seorang kembar.
Disini sa dibesarkan bersama alam sekitar, sa dibesarkan disungai, dilaut, digunung, dirawa-rawa, dipulau, dimange-mange/lolaro (mangrove).
Saat itu tidak ada hiruk pikuk kendaraan seperti sekarang (saat ini), tidak ada lampu neon, tidak ada telepon genggam semua serba kampungan. Kami hanya bisa menciptakan benda-benda alam untuk menjadikan permainan. Kini hanya kenangan yang masih segar dalam ingatan.
Pagi ini sa duduk ditepian pantai, menunggu mentari pagi. Ini sebuah kebiasaan bahula (Tempo dolo) yang sudah Mulai hilang. Bahwa setiap pagi orang-orang tua dan pemuda dalam menyambut fajar wajib mengumpul api di pantai lalu mengelilingi api sambil cerita dan memanaskan badan menunggu fajar menyingsing.
Mereka membahas program hari ini, hari esok dan hari yang akan datang. Kapan mereka harus pergi memangkul sagu, pergi memancing, pergi berburu dihutan dan banyak lagi cerita mereka. Kebiasaan ini telah menghilang.
Sempat saya mengalir dalam lamunan, seakan pagi ini seperti dua puluh tahun lalu. Akhirnya saya harus bergegas meninggalkan tempat duduk dengan satu harapan bahwa ganerasi baru harus siap menghadapi perkembangan baru dan masanya namun tidak meninggalkan nilai-nilai positif para leluhur… (*)
#Agustus 21, Catatan_Sambena
Connie VodFjDuGpXQgZJlXYIx 6 27 2022 donde puedo comprar cytotec sin receta