“Membangun rumah panjai tidak segampang mendirikan rumah biasa. Ada petunjuk spritual dan beberapa tata cara adat yang harus ditaati warga”
ESTAFET kepemimpinan diterima Novi Irwadi Lagi, 52, sekitar lima tahun silam. Dia didapuk sebagai tuai rumah untuk menggantikan orangtuanya yang meninggal dunia. Jabatan sebagai pemimpin tertinggi di rumah panjai Kelayam pun disandang Novi hingga saat ini.
Rumah panjai ialah sebutan untuk rumah panjang atau betang dalam bahasa Dayak Iban. Setiap rumah panjai memiliki seorang pemimpin yang disebut tuai rumah. Tuai rumah dipilih dari anggota komunitas mereka berdasarkan rekam jejak dan bakat kepemimpinan. Namun, kebanyakan berdasarkan trah atau garis keturunan langsung.
“Kalau tidak ada anak atau cucu laki-laki, bisa digantikan saudara, sepupu atau keponakan laki-laki,” kata Novi saat ditemui di rumah panjai Kelayam, beberapa waktu lalu.
Tuai rumah merupakan tokoh sentral di rumah panjai. Tindakan dan ucapannya menjadi anutan sehingga harus mampu mengayomi dan menjaga keharmonisan di rumah panjai. Seorang tuai rumah juga dituntut berlaku adil dan mampu menegakkan aturan di komunitas mereka.
Tuai rumah dijabat seumur hidup. Namun, suksesi bisa saja dilakukan saat seorang tuai rumah masih hidup dan segar bugar. Hal itu terjadi manakala semua penghuni memutuskan pindah ke rumah panjai yang baru. Suksesi kepemimpinan karena menempati permukiman baru pernah dialami warga rumah panjai Kelayam.
Warga memutuskan bermigrasi karena permukiman lama dianggap sudah tidak layak dihuni. Mereka kemudian membangun rumah panjai yang saat ini ditempati pada 2003. Kedua bangunan tersebut masih berlokasi di wilayah yang sama, yakni di Dusun Kelayam, Desa Manua Sadap, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.
“Rumah panjai yang dulu berada di seberang sungai,” ujar Manca, 70, tuai rumah terakhir di rumah panjai Kelayam Lama.
Restu gaib
Membangun rumah panjai tidak segampang rumah biasa. Proses panjang harus dilalui sejak menentukan bakal lokasi baru. Urun rembuk pun dilakukan warga untuk mencapai kesepakatan tersebut. Mereka juga harus mengikuti petunjuk spritual melalui semangkuk air yang diletakkan di calon lokasi baru selama semalam.
“Jika airnya tetap penuh, tandanya boleh digunakan. Jika airnya berkurang, berarti harus dicari lokasi baru. Penjaga (penguasa gaib) lahannya tidak merestui,” jelas Patih atau Ketua Adat Desa Menua Sadap, Impen, 60.
Setelah mendapat restu dari alam gaib tersebut, pembangunan rumah panjai pun dimulai. Pertama, warga harus mencari kayu di hutan untuk tiang utama. Kayu yang digunakan merupakan bahan pilihan yang berukuran besar dan panjang serta kukuh atau tahan lapuk. Kayu tersebut digotong beramai-ramai ke lokasi dengan diiringi tabuhan gong.
Selanjutnya, warga menyiapkan kayu-kayu berukuran lebih kecil untuk kerangka bangunan dan bahan atap atau sirap. Mereka juga harus mengelupasi kulit kayu untuk dijadikan dinding. Setiap bagian dan kerangka bangunan tersebut kemudian diikat sekencang mungkin dengan beberapa helai rotan sebagai pengganti paku.
“Bangunannya harus menghadap matahari terbit. Kalau tidak, bisa berdampak tidak baik bagi kehidupan penghuninya,” ujar Impen, yang juga menetap di rumah panjai Kelayam.
Pekerjaan berikutnya ialah membangun bilik sebagai hunian keluarga. Pembangunan dimulai dari dua bilik pertama di bagian hilir atau selatan, dan dua bilik pertama di bagian hulu atau utara. Setelah itu, menyusul bagian tengah hingga semua bilik rampung dan siap diresmikan untuk ditempati.
Peresmian permukiman baru tersebut ditandai pemukulan tiang utama oleh tetua adat dalam sebuah gawai atau pesta adat. “Pindah rumahnya berombongan saat menjelang subuh dan diiringi (tabuhan) gong,” lanjut Impen.
Tradisi_Rumah Panjai_2 – Foto/Aries Munandar. |
Pemersatu suku
Rumah panjai seperti juga rumah panjang atau betang dibangun memanjang ke samping. Bentangannya bisa mencapai lebih dari 200 meter, bergantung pada jumlah bilik. Struktur bangunan ditopang dengan sejumlah tiang tinggi sehingga berkolong luas seperti rumah panggung.
Penggunaan tonggak setinggi hingga 3 meter tersebut bertujuan menghindari gangguan binatang buas dan banjir atau serangan musuh saat zaman perang suku. Struktur bangunan dengan kolong tinggi juga bertujuan menjaga sirkulasi udara dan kelembapan tanah.
“Kalau (dibangun) terlalu rendah, kolong menjadi lembap sehingga kayu cepat busuk (lapuk),” jelas Novi.
Rumah panjai sebagaimana rumah panjang atau betang memiliki ruang utama yang disebut ruai. Ruang yang menyerupai selasar tersebut berada di antara teras dan bilik. Ruai berfungsi sebagai balai pertemuan atau ruang publik bagi para penghuni dan lokasi upacara adat. Ruang privat bagi penghuni berada di bilik.
Setiap bilik ditempati satu keluarga dan memiliki fasilitas seperti rumah kebanyakan. Ada ruang tamu atau ruang keluarga, kamar tidur, dapur, dan toilet hingga teras belakang. Beberapa bilik bahkan ada yang bertingkat dua dan dihuni lebih dari satu keluarga.
Jumlah bilik di rumah panjai pun bisa bertambah karena ada keluarga baru. Namun, pembangunannya harus seizin tuai rumah dan seluruh penghuni serta mengikuti aturan. “Kalau mau nambah bilik, harus di ujung sebelah hulu (utara) semua atau hilir (selatan) semua. Tidak boleh kedua-keduanya (selang-seling),” ujar Novi, yang juga mantan Kepala Desa Manua Sadap.
Rumah panjai Kelayam membentang sekitar 210 meter dan terdiri atas 25 bilik. Setiap bilik berukuran lebar sekitar 5 meter dengan panjang rata-rata 10-15 meter. Walaupun terbilang baru dan relatif modern, rumah panjai ini tetap mempertahankan corak dan bentuk asli. Begitu pula keragaman budaya dan tradisi leluhur masih dijalankan penghuninya. (BACA: Keselamatan untuk Tamu Keberkatan buat Penghuni)
Mewarisi tradisi leluhur memang menjadi satu di antara alasan utama warga untuk berumah panjai. Selain itu, mempererat ikatan kekerabatan, keguyuban, solidaritas, dan persatuan dalam keluarga besar. “Sejak dahulu, orang Iban ndak pernah ndak berumah panjai agar mudah berkomunikasi dan sebagai simbol persatuan,” pungkas Impen.(Red, Aries Munandar-Peladangkata.com)
5 Komentar