Penyu biru yang dilindungi, sedang dipasang alat transmitter untuk memantau imigsasinya di Kalilemon Distrik Yaur – Bumiofinavandu/Dok Marry Lidan. |
CAPTION : Penyu biru yang dilindungi, sedang dipasang alat transmitter untuk memantau imigsasinya di Kalilemon Distrik Yaur – Bumiofinavandu/Dok Marry Lidan.
Nabire, Bumiofinavandu – Suku Besar Yerisiam Gua, Kabupaten Nabire Papua meminta Exsekutif dan legislative untuk menghadirkan regulasi atau peraturan daerah tentang perlindungan dan pelestarian satwa. pasalnya, menurut pantauan suku ini, banyak satwa saat ini sudah hampir punah baik di darat maupun di laut.
“Kami minta pemerintah, baik DPRD Nabire serta Bupati dan stakeholder terkait untuk membuat Perda perlindungan satwa,” ujar Kepala Suku Yerisiam, Ayub Kowoi, di Nabire. Kamis (26/11/2020).
Saat ini kata Kowoi, banyak satwa sudah diburuh oleh masyarakat baik untuk diperdaganggan ataupun di konsumsi. Misalkan saja Burung cenderawasih, penyu dan berbagai satwa lainnya. maka pelestarian alam dan isinya sangat diperlukan mengingat Papua merupakan satu daerah yang sumber daya alamnya mulai berkurang baik di sengaja mau pun tidak.
Namun, masyarakat terutama masyarakat adat tidak serta merta disalahkan 100 persen mengingat sudah terbiasa sejak nenek moyang untuk mengkonsumsi ataupun untuk dikomersilkan dan mencari makan melalui buruannya. Sehingga, tidak benar juga bila pemerintah terus menyuarahkan perlindungan dan pelestarian alam demi anak cucu tanpa dibarengi regulasi .
“Jadi kita jangan hanya teriak jaga alam, jaga binatang-binatang untuk anak cucu, tapi tidak ada Perda, hanya tergantung aturan dari pusat saja. Karena walaupun sudah dunia modern tapi mau tidak mau masyarakat pasti akan berburu hewan baik dari darat maupun di laut,” kata Dia.
Ia menjelaskan, masyarakat jangan disalahkan ketika memburu satwa, atau menebang pohon hingga menjual tanah. Sebab semua itu terjadi karena kebutuhan hidup. Karena selama ini belum ada usaha-usaha yang diciptakan kepada masyarakat baik melalui komuntas maupun perorangan. Misalkan saja, bantuan-bantuan selama ini kepada masyarakat tidak dibarengi dengan pengawasan dan pembinaan yang baik untuk kelangsungan hidupnya. Contoh nyata adalah bantuan untuk nelayan, berapa nelayan Papua yang berhasil selama ini dari pemberian pemerintah.
Sehingga, saat ini Suku Yerisiam sudah memulai dengan museum alam yang didalamnya sudah menanam beberapa pohon kayu besi dan sebagainya. Serta melarang sedang keras siapapun termasuk masyarakat suku sendiri untuk menebang dan berburu selaga isi yang ada didalam tuhan alam.
“ini tujuannya agar generasi kami selanjutnya bisa melihat ataupun menikmati alam dan isinya. Sehingga mereka akan tau, oh ini yang disebut kayu beri, ini cenderawasi, ini penyu dan sebagainya. Jangan hanya menjadi cerita yang didengar oleh anak cucu kelak. maka kami sangat menginginkan ada perda untuk mendukung kelestarian alam dan isinya baik untuk suku Yerisiam maupun Kabupaten Nabire pada umumnya,”jelas Kowoi.
Penyu biru yang dilindungi, sedang dipasang alat transmitter untuk memantau imigsasinya di Kalilemon Distrik Yaur – Bumiofinavandu/Dok Marry Lidan. |
Sekretaris Suku Yerisiam, Robertino Hanebora menambahkan, persoalan mendasar di Kabupaten Nabire adalah minimnya luas hutan dan perburuan satwa di Kabupaten Nabire. maka regulasi atau Perda perlu ada dan dibarengi dengan sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat.
Sebab hewan seperti cenderawasih, atau penyu biasanya akan diburu. Misalnya, masyarakat bagian barat Nabire memiliki kebiasaan berburu penyu untuk kebutuhan atau dihidangkan pada pesta adat. ataupun dijual untuk kebutihan hidup.
Padahal kata Hanebora, bila ada regulasi, apa penyuluhan dan karantina atau tempat khusus yang disediakan untuk penyu. Ketika ada perda, maka bila perlu ada pulau khusus yang disediakan untuk penyu, bahwa wilayah ini dilarang untuk mengabil habitat di dalamnya.
“Supaya orang tidak ganggu sehingga penyu bebas hidup di sana. Bila perlu kalau sudah ada perda maka kami juga perkuat dengan sasi (sanksi adat),” tambah dia.
Menurutnya, jika ada perda maka penyu bisa ambil hanya pada saat ada acara adat dan bila perlu satu atau dua ekor. Dan bila lebih maka akan dikenakan sanksi baik adat maupun perda. Sebab keperluan penyu di saat acara adat tidak setiap saat tetapi waktu tertentu dan itu bisa dalam setahun satu kali. yang menjadi soal adalah ketika mengambil penyu atau hewan lain untuk kebutuhan ekonomi.
“Maka harus ada perda untuk mengatur dengan rinci tentang pengambilan penyu atau hewan lain. Jadi perda harus ada sebagai control dan melibatkan seluruh komponen termasuk masyarakat untuk menjaga satwa. ini penting,” tuturnya.(Red)