Jakarta, Bumiofinavandu – Munculnya pemberitaan terkait kasus perdagangan orang dengan modus eksploitasi seksual anak di media daring (online) terhadap 305 anak yang dilakukan seorang WNA Perancis pada waktu lalu, telah meningkatkan kekhawatiran masyarakat. Pada 2016, masyarakat juga sempat digemparkan dengan terungkapnya kasus prostitusi online yang melibatkan hampir 100 anak laki-laki di wilayah Bogor, Jawa Barat. Maraknya kasus perdagangan orang dengan modus eksploitasi seksual melalui media daring, menjadi peringatan dan tantangan bagi semua pihak. Pentingnya meningkatkan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat luas, terkait perkembangan modus perdagangan orang ini, diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran dan kewaspadaan dini masyarakat dalam mencegah dan menangani berbagai modus baru TPPO di Indonesia.
“Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) pada Januari – Juni 2020, menunjukkan ada 50 kasus eksploitasi seksual pada perempuan dewasa dan 60 anak korban perdagangan orang untuk tujuan eksploitasi seksual. Data ini selaras dengan data dari Bareskrim Polri, yaitu ada 297 kasus perdagangan orang untuk eksploitasi seksual yang terungkap melalui media internet. Tingginya kasus perdagangan orang dengan tujuan eksploitasi seksual melalui media daring ini, menjadi peringatan dan tantangan bagi semua pihak, khususnya bagi Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (GT PP TPPO),“ ungkap Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Pribudiarta Nur Sitepu dalam Webinar Menyambut Hari Dunia Anti Perdagangan Orang dengan tema “Perdagangan Orang Untuk Tujuan Eksploitasi Seksual Melalui Media Daring: Apa yang Perlu Diketahui” (29/7).
Pribudiarta menambahkan dibutuhkan pemahaman masyarakat yang baik terkait teknologi dan isu yang terbilang baru tersebut, serta pentingnya memperkuat koordinasi terpadu dalam mengungkap kejahatan. Tidak hanya dari sisi penegakan hukum dan penjeratan pelaku, tetapi juga pada proses pemulihan dan reintegrasi bagi korban yang komprehensif. “Kami harap melalui seri webinar dalam rangka menyambut peringatan Hari Dunia Anti Perdagangan Orang ini, masyarakat dapat mengetahui informasi lengkap terkait pencegahan dan penanganan terpadu kasus perdagangan orang dengan tujuan eksploitasi seksual melalui media daring, sekaligus meningkatkan komitmen bersama untuk melindungi perempuan dan anak Indonesia,” tegas Pribudiarta.
Di samping itu, Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan dari TPPO, Destri Handayani, menegaskan kejahatan eksploitasi seksual melalui media daring merupakan bentuk adaptasi cepat dari pelaku dalam mengikuti perkembangan teknologi dan informasi terutama di masa pandemi ini. “Ini merupakan salah satu ciri dari pelaku TPPO. Sebaliknya, dari sisi kita sendiri dan masyarakat luas, tidak mudah beradaptasi mengikuti perkembangan teknologi secepat pelaku, inilah salah satu dari banyaknya persoalan yang kami hadapi,” terang Destri.
Lebih lanjut, Destri menambahkan melalui pertemuan ini, hasil pembahasan dan masukan mendalam dari seluruh pihak terkait sangat berarti untuk menyusun kebijakan, strategi, dan rencana aksi PP TPPO 5 (lima) tahun ke depan. Adapun hasil pertemuan ini memberikan masukan terkait pentingnya sinergi dari pihak terkait untuk melakukan harmonisasi berbagai peraturan perundang-undangan yang bersinggungan dalam proses penegakan hukum kasus TPPO; dibutuhkan pelatihan atau bimbingan teknis bagi aparat penegak hukum (APH) dan petugas pemberi layanan untuk menyamakan persepsi dan pemahaman saat menangani kasus eksploitasi seksual untuk membedakan apakah masuk dalam TPPO atau bukan; serta melihat dan menyempurnakan kembali SOP perlindungan bagi korban TPPO.
“Terkait pencegahan, kami akan memperkuat koordinasi dan sinergi antar anggota GT PP TPPO, salah satunya bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk memperkecil akses ke platform berbahaya dengan memperkuat sanksi terhadap pelanggar. Namun, berbagai upaya ini tidak akan berarti tanpa adanya peran dari keluarga dan masyarakat luas untuk membatasi serta mengawasi anak saat mengakses media daring. Mari bersama kita bersinergi memberantas perdagangan orang, khususnya dengan modus eksploitasi seksual di media daring,” tegas Destri.
Pada acara ini, Komisioner KPAI, Ai Maryati Sholihah mengungkapkan hasil Survei KPAI pada 2020, terkait aktivitas penggunaan gawai/gadget pada anak khususnya di masa pandemi ini. Hasil survei menunjukan ada 71,3% anak memiliki gadget sendiri, dan 79% atau mayoritas anak tidak memiliki aturan bersama orangtua saat menggunakan gadget tersebut. Hasil survei juga menunjukkan di masa pandemi ini, banyak anak yang menggunakan gadget di luar kepentingan belajar. Di antaranya yaitu 52% anak menggunakan gadget untuk chatting dengan teman, 52% mengakses youtube, 50% mencari informasi, dan 42% bersosial media.
“Jika melihat hasil survei ini, selama pandemi Covid-19 secara umum orang tua cenderung tidak mendampingi anak saat main gadget. Inilah yang menyebabkan adanya potensi gap (kesenjangan) antara pengasuhan yang dilakukan orang tua dengan apa yang diterima anak. Untuk itu, kualitas komunikasi dalam pengasuhan perlu dikuatkan, perlu ada edukasi bagi orangtua dan anak itu sendiri mengenai penggunaan gadget yang baik bagi anak,” tutur Ai Maryati.
Untuk mengatasi hal ini, Ai Maryati menjelaskan pentingnya melakukan advokasi berkelanjutan dengan berbasis pemenuhan hak anak, yaitu melalui aspek pencegahan dengan memberikan edukasi dan pendidikan literasi digital kepada keluarga, masyarakat dan anak itu sendiri untuk menjalankan internet sehat; mengoptimalisasi penanganan korban melalui rehabilitasi sosial dan pemulihan anak dengan mengacu pada standarisasi pemulihan anak korban eksploitasi; melakukan advokasi dan pengawasan terhadap para penyedia platform online agar berkomitmen kuat untuk memproteksi anak di dunia siber; memperkuat aspek penegakkan hukum kasus TPPO melalui peningkatan kualitas penanganan dan sumber daya manusia.(Red, Humas Kemen PPPA)
relaxing jazz piano music