Wawasan keagamaan dalam mencegah profokasi paham radikalisme & intoleransi

Rahmad Nasir, M.Pd. Sumber Foto : zonalinenews.com

Oleh : Rahmad Nasir, M.Pd. Pengajar STKIP Muhammadiyah Kalabahi

Disampaikan dalam Diskusi Publik yang diadakan oleh KODIM 1622 Alor pada hari kamis tanggal 12 Maret 2020 di Aula Kodim 1622 Alor

Bacaan Lainnya

Mengajari Toleransi Umat Beragama Kepada Orang Alor laksana Mengajari Ikan Berenang di lautan.

Salam Sejahtera Untuk Semua

Terima kasih banyak dihaturkan kepada pihak Kodim 1622 Alor yang telah mempercayakan kepada saya untuk menjadi pemantik gagasan dalam dialog publik yang konteks dengan kondisi kebangsaan kita saat ini melalui surat bernomor B/05/III/2020. Semoga saya dapat memenuhi harapan itu.

Pendahuluan

Diskursus ini terus dilakukan sebagai upaya untuk memberi pencerahan kepada masyarakat, memberikan informasi kepada umat, serta dalam rangka membangun pertahanan ideologi pemikiran terhadap paham-paham yang dapat merusak rasa nasionalisme dalam diri semua warga Indonesia. Semua komponen bangsa yang punya kepedulian dan rasa cinta terhadap masa depan Indonesia selalu khawatir terhadap kondisi bangsa yang terus diuji akhir-akhir ini.

Saya bersyukur hidup di NTT, apalagi Alor dengan semangat kekeluargaan yang tinggi dan diakui negara sebagai daerah dengan tingkat toleransi yang sangat tinggi. Untuk itulah wajar jika Alor mendapat “Harmony Award” dari Pemerintah RI. Saya kuliah di Kampus Undana Kupang yang diisi oleh mahasiswa dengan berbagai latar belakang yang berbeda (Suku, agama, ras, golongan) membuat cara pandang kita selalu terbuka menerima perbedaan yang ada di luar diri. Setelah bergabung dengan organisasi kemahasiswaan dengan jejaring Cipayung Plus yang memiliki komitmen kebangsaan dan rasa nasionalisme yang tinggi (GMKI, GMNI, HMI, PMII, PMKRI, IMM, KAMMI,LMND, KMHDI dan lain sebagainya). Di samping itu, kelompok organisasi daerah/kesukuan per kabupaten bahkan per kecamatan hingga sub-sub suku dalam kabupaten juga menjamur dan terjadi pembauran /asimilasi sehingga saling memahami karakter dan budaya suku lain mejadi penting untuk mencegah terjadinya konflik sosial di masyarakat. Di Kupang ada satu komunitas yang terus merawat keragaman yakni Komunitas Pemuda Lintas Agama “Komunitas PeaceMaker Kupang” yang disingkat KompaK didukung oleh LSM CIS Timor dan Madaris Institute NTT terus melakukan perawatan terhadap soliditas kerukunan antar umat beragama di NTT khususnya Kota Kupang.

Agenda-agenda kegiatan itu melibatkan pihak pemerintah, FKUB, FKDM, pihak aparat TNI-Polri serta tokoh-tokoh masyarakat untuk mencegah terjadinya konflik sosial, merawat kerukunan, serta menjadi soluter terhadap berbagai problem sosial kemasyarakatan yang mencuat ke publik. Untuk itulah saya mau katakan bahwa semakin banyak kita bergaul dengan komunitas atau kelompok yang berbeda dengan berbagai variabel identitas yang ada dalam diri kita maka akan semakin luas dan terbuka cara berfikir dan bersikap kita. Di satu sisi, ego pribadi dan ego sektoral lainnya akan perlahan terkikis dan menjadikan kita lebih bijaksana dalam bergaul dan membangun jejaring dengan kelompok lain. Pergaulan dengan kelompok yang berbeda tidak semestinya menggerus prinsip-prinsip nilai yang kita anut/yakini selama ini. Ada tema-tema universal yang menjadi titik temu dari berbagai latar belakang yang berbeda seperti kesejahteraan, kedamaian, kesehatan dan lain sebagainya.   

Wawasan Keagamaan Yang Terbuka

Wawasan keagamaan yang terbuka bukan dalam hal menerima semua ajaran dan keyakinan yang dianggap sama, namun terbuka memahami bahwa ada prinsip yang berbeda antar satu keyakinan dengan keyakinan agama lain. Karena perbedaan itulah maka dituntut untuk saling memahami, menghargai dan membiarkan (toleran) orang beragama atau berkeyakinan lain untuk meyakini ajaran yang dianut sekaligus beribadah sesuai syariat yang ada di dalam agamanya sebagaimana yang tertuang dalam pasal 29 UUD 1945. Sikap tidak menghalang-halangi upacara keagamaan orang lain juga sudah merupakan tindak toleran terhadap agama lain apalagi membantu memfasilitasi dalam hal teknis demi kelancaran upacara keagamaan orang lain. Perlu diingat bahwa toleran bukan berarti bersama-sama dengan orang berkeyakinan lain untuk beribadah dalam bentuk syariat yang sama, karena kita bisa terjebak ke dalam pemahaman agama yang liberal dan hal ini juga sangat berbahaya mengancam nilai-nilai atau prinsip keyakinan agama masing-masing individu.

Wawasan keagamaan yang terbuka harus ada dalam setiap warga bangsa agar kemampuan saling memahami dan saling menerima perbedaan dalam interaksi sosial keagamaan mampu mencegah gesekan horizontal di masyarakat. Jika sudah terjadi konflik sosial pun dengan wawasan yang terbuka maka dapat diselesaikan dengan baik. Sebaliknya jika orang dalam ketertutupan wawasan maka tidak mampu melihat di luar dirinya karena yang ia tahu hanya dirinya. Sehingga segala kebenaran telah dipatok milikinya dan orang lain ada di jalan yang salah. Ujung-ujungnya ia berani mengatakan bahwa surga hanya miliknya, orang lain lebih berdosa dari dirinya, orang lain selalu salah dan dia selalu benar serta berbagai macam cara pandang yang berhaluan ego dirinya. Dengan pola pikir seperti itu akan mempengaruhi perilakunya dalam bergaul dengan orang lain. Perilaku tersebut terkesan tertutup  dengan orang lain seakan-akan mereka sendiri yang hidup di dunia ini. Orang-orang yang tertutup seperti inilah yang harus diwaspadai dalam satu komunitas tertentu. Ketertutupan itu dapat dimaanfaatkan pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab dan berkepentingan menanamkan paham radikalisme dan intoleran. Akibatnya dengan dalih fanatisme buta keagamaan dan dengan dalih membela agama/Tuhan mereka dapat melakukan tindakan kekerasan dalam memaksakan kehendak bahkan merenggut nyawa banyak orang. Bahkan tindakan kekerasan dengan menghilangkan nyawa orang dengan alasan yang tak logis dianggap sebagai tugas suci dan mendapat ganjaran dari Tuhan.

Hal ini diperparah dengan pemahaman agama yang sempit dan dangkal tetapi merasa diri paling pintar dalam konsep-konsep teologi. Apalagi ditambah dengan sikap sombong karena menganggap orang lain mesti belajar agama lagi agar bisa minimal setara dengan dirinya. Untuk itulah peran pemuka agama menanamkan nilai-nilai agama kepada generasi mudanya secara baik sehingga mereka tidak mudah tergoda dengan hasutan pahaman radikal dan intoleran. Selain pemuka agama, tentu harapan selanjutnya adalah peran institusi pendidikan berbagai tingkatan melalui guru-gurunya/dosen menanamkan nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai pancasila serta pendidikan karakter agar generasi Indonesia tidak mudah goyah keimanan agamanya dan keimanan bangsanya.  Orang yang intoleran meski bergaul sesama orang yang satu keyakinan tetap akan merasa diri paling benar, ego dan menganggap yang lain kalah dalam urusan ibadah dan pemikiran agama. Aliran keagamaan yang dianutnyalah yang dianggap paling benar dan memaksakan kehendaknya kepada orang lain untuk mengikuti apa yang ia yakini.

Dalam pandangan Cak Nur (tokoh pluralis Indonesia) sebagaimana yang dikutip Muhammad Wahyuni Nafis (2014) bahwa kemajemukan atau pluralitas umat manusia adalah suatu kenyataan yang telah menjadi kehendak Tuhan. Jika dalam kitab suci disebutkan manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal dan menghargai (QS al-Hujarat/49:13), maka pluralitas itu meningkat menjadi pluralisme, yaitu sistem nilai yang memandang secara positif-optimis terhadap kemajemukan itu sendiri, dengan menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu. Pemikiran Cak Nur ini menunjukkan bahwa perbedaan adalah fakta yang Tuhan anugerahkan kepada manusia sehingga perlu diterima dan disikapi demi kebaikan bersama. Selain itu, pembumian sila-sila Pancasila dalam konsep teologi menjadi titik temu antara agama dan bangsa sehingga semua agama dapat bertemu dalam satu titik kesepahaman berbangsa dan bernegara. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan Nasir (2019) bahwa mempelajari dan memahami nilai-nilai teologi yang bersumber dari agama-agama yang diakui di Indonesia. Semua agama dipercaya mengajarkan kebaikan yakni bertemu dalam gagasan “kedamaian”, “kemandirian ekonomi”, “cinta tanah air” serta berbagai macam konsep universal positif dari agama yang dipercaya dapat menyelamatkan penganut agama baik di dunia dan akhirat. Nilai-nilai agama juga bersinggungan dan cocok dengan nilai-nilai pancasila. Saat beragama dengan baik, di situlah seorang warga Negara berpancasila dengan baik. Salah satu konsep universal yang diajarkan oleh semua agama di Indonesia adalah kedamaian sebagaimana Lucinda Vardey (2014) menguatarakan perkataan ibu Teresia bahwa buah pelayanan adalah damai.

Ali Masykur Musa (2011) menegaskan bahwa masyarakat Indonesia bersifat plural yang diikat dalam sesanti Bhineka Tunggal Ika. Kemajemukan merupakan modal kebesaran bangsa dan negara Indonesia, asalkan dijalin erta dan dibalut dengan wawasan kebangsaan yang utuh lahir dan batin. Dengan kemajemukan itulah yang menjadi konsekuensi logis untuk saling menerima, saling rela, menghargai agar di dalam perbedaan warga bangsa bisa hidup secara damai dan ikut mendukung pembangunan nasional.

Wawasan teologi yang terbuka melahirkan sikap toleran terhadap perbedaan-perbedaan. Bukan hanya berbeda dalam aqidah namun juga berbeda dalam hal suku, ras, golongan serta variabel identitas lainnya. Dialog lintas agama juga harus terus dilakukan dalam rangka merawat sikap toleran. Dialog yang dimaksudkan bukan dalam hal prinsip-prinsip teologi yang sifatnya privasi demi mencari siapa yang paling benar atau dalam perspektif menang-kalah, namun dalam urusan publik. Berbeda hal ketika terjadi dialog keagamaan dalam urusan akademik maka tentu segala hal bisa didiskusikan termasuk hal-hal yang prinsip tadi, hal ini karena orang yang hadir dan yang melakukan dialog/debat adalah yang sudah memiliki kematangan emosional, kecerdasan akademik, kedewasaan serta memiliki sikap keagamaan yang terbuka dan haus akan ilmu pengetahuan.

Istilah kerukunan umat beragama identik dengan istilah toleransi. Istilah toleransi menunjukkan pada arti saling memahami, saling mengerti, dan saling membuka diri dalam bingkai persaudaraan. Bila pemaknaan ini dijadikan pegangan, maka ”toleransi” dan “kerukunan” adalah sesuatu yang ideal dan didambakan oleh masyarakat manusia. Dalam konteks ke-Indonesiaan, kerukunan beragama berarti kebersamaan antara umat beragama dengan Pemerintah dalam rangka suksesnya pembangunan nasional dan menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Ibnu Rusyidi & Siti Zoleha, 2018). Menguatkan pendapat di atas, maka  Artis (2011) menjelaskan kerukunan antar umat beragama dapat diwujudkan dengan :

  1. Saling tenggang rasa, saling menghargai, toleransi antar umat beragama
  2. Tidak memaksakan seseoang untuk memeluk agama tertentu
  3. Umat beragama diberi kebebasan beribadah sesuai dengan agama masing-masing
  4. Masing-masing agama taat pada agamanya dan peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah

Jika poin-poin di atas dipahami secara baik oleh semua pemeluk agama maka tentu kedamaian hidup dengan mudah dinikmati secara bersama dalam keragaman identitas.

Bahaya Paham Radikalisme & Intoleransi Bagi Keutuhan NKRI

Memasuki era reformasi, peran negara melemah karena demokrasi memberikan ruang ekspresi dan dijamin Undang-Undang sehingga bisa disusupi agenda-agenda radikalis dan separatis. Semua orang dengan berbagai organisasi bebas menyampaikan pendapat di muka umum, bebas berserikat dan melakukan kritik kepada pemerintah. Kondisi inilah yang bisa menjadi celah masuk bagi kelompok radikalis/fatalis/fundamentalis agama untuk meracuni pikiran generasi muda lewat berbagai metode dan saluran. Saluran yang sangat efektif satu di antaranya adalah melalui teknologi informasi terutama media sosial yang menjadi corong merebaknya paham-paham tersebut. Kita tidak harus terlalu jauh melakukan riset besar untuk mengetahui gejala itu, bagi kita yang sering berselancar di dunia maya media sosial banyak didapati bertebaran paham-paham radikal dan kecenderungan wacana untuk memisahkan diri dengan NKRI serta mengajak kepada kegiatan radikalis bahkan juga mungkin komunisme.

Berita-berita profokatif juga menjamur di internet, demikian juga komentar-komentar nitizen di media sosial banyak di antaranya yang telah masuk kategori ujaran kebencian, diksriminasi SARA serta tidak mencerminkan toleransi sebagai sesama warga bangsa. Bukti dari itu semua adalah banyak kasus yang ditangani pihak berwajib dan berujung di jeruji besi karena ujaran kebencian, penodaan agama, penghinaan suku, menyebarkan konten porno dan lain sebagainya. Perlu diketahui bahwa teknologi informasi hanyalah alat pertanda kemajuan suatu zaman, sehingga efek baik dan buruk dari penggunaannya adalah tergantung manusia yang menggunakan. Manusia yang menggunakan tentu harus memiliki pola pikir yang baik dan terhindar dari terpapar radikalisme dan intoleran apalagi sampai terorisme.

Rina Hermawati dkk (2016) mengutip Studi yang dilakukan Centre of Strategic and International Studies (CSIS) pada tahun 2012, menyatakan bahwa toleransi beragama orang Indonesia tergolong rendah. Dalam survei CSIS, sebanyak 59,5 persen responden tidak berkeberatan bertetangga dengan orang beragama lain. Sekitar 33,7 persen lainnya menjawab sebaliknya. Penelitian ini dilakukan pada Februari 2012 di 23 provinsi dan melibatkan 2.213 responden. Saat ditanya soal pembangunan rumah ibadah agama lain di lingkungannya, sebanyak 68,2 persen responden menyatakan lebih baik hal itu tidak dilakukan. Hanya 22,1 persen yang tidak berkeberatan. Hasil survei juga menunjukkan kecenderungan intoleransi ada pada kelompok masyarakat dalam semua kategori pendidikan. Sekitar 20 persen masyarakat berpendidikan sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas, menyatakan tak keberatan dengan pembangunan rumah ibadah agama lain di lingkungannya. Adapun pada masyarakat dengan pendidikan di atas SMA, hanya sekitar 38,1 persen yang menyatakan setuju. Data ini menggambarkan kekhawatiran masa depan Indonesia jika benih-benih intoleran perlahan nampak dalam kehidupan warga bangsa. Mengapa demikian? Saat stabilitas negara terganggu dengan konflik horizontal berdasarkan SARA maka secara otomatis pembangunan nasional akan terganggu juga demikia maka tujuan pembangunan nasional dan tujuan negara akan semakin sulit tercapai bahkan berpotensi melenyapkan nama “Indonesia” dari peta dunia.

Gejala lain yang ikut memperkeruh suasana adalah pesta demokrasi baik itu Pilpres, Pileg, pemilukada serta pilkades yang mengangkat isu agama sebagai bahan kampanye politik. Inilah yang sering disebut sebagai “Politik Identitas”. Di satu sisi politik identitas itu wajar-wajar saja, namun kadang-kadang sudah melampaui batas-batas logika akal sehat dan cukup mengkhawatirkan. Gejala pemilih emosional yang kuantitasnya lebih banyak dari pemilih emosional dimanfaatkan oleh oknum elit politik untuk meraih keuntungan politik dengan mengobok-obok nalar publik dengan berbagai intrik.

Beberapa hal yang patut diantisipasi adalah sebagai berikut.

Pertama, terkait dengan anak-anak kita yang sekolah/kuliah serta yang kerja di luar Alor terutama di kota-kota besar harus dimonitor pergaulannya karena jika terpapar radikalis dan suatu saat balik Alor untuk mengabdi maka bisa saja menyebarkan paham yang telah didapat di rantauan.

Kedua,  institusi pendidikan (rumah, sekolah dan kampus) harus mengantisipasi gerakan bawah tanah & cuci otak penyebaran paham radikalis dan intoleran melalui organisasi tertentu berlabel agama agar pelajar mahasiswa tidak mudah terprovokasi. Termasuk di dalamnya berkaitan dengan kurikulum dan sistem pendidikan yang mampu mengakomodir pendidikan keagamaan yang toleran/damai dalam rangka menangkal paham radikalisme dan intoleran.

Ketiga, aparat lingkungan RT/RW perlu mengantisipasi dan waspada terhadap orang-orang baru yang ada di wilayahnya. Masyarakat juga perlu aktif menginformasikan kepada aparat pemerintah terdekat terkait keberadaan orang baru di wilayahnya agar orang baru melaporkan keberadaannya dengan menunjukkan identitas yang jelas.

Keempat, pengangguran dan masalah ekonomi menjadi salah satu faktor yang membuat masyarakat mudah goyah jika ditawari hal-hal yang sifatnya materi. Jika kondisi ekonomi rakyat baik maka tentu mereka akan menolak tawaran pragmatis tersebut, demikian juga jika banyak rakyat yang menganggur maka akan memicu stres dan dapat melakukan apa saja termasuk bergabung dengan organisasi berpaham radikal dan intoleran.

Kelima, peran guru-guru agama dan tokoh agama (teolog) dalam membina umatnya untuk memahami ajaran agama secara mendalam dan luas sehingga pertahanan pemahaman keagamaan menjadi penting untuk membendung paham radikalis dan intoleran.

Keenam, penyelesaian konflik di masyarakat Alor selain dengan pendekatan humanis dalam ajaran agama, juga perlu sinergis dengan konsensus budaya yang mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat Alor secara turun-temurun. Tentu tindakan preventif juga bisa disinergiskan dengan  konsensus adatiah yang ada di Alor.

Rekomendasi & Penutup

Mengakhiri catatan ini maka beberapa rekomendasi yang bisa disampaikan adalah sebagai berikut.

  1. Volunter untuk penanaman ideologi di sekolah dan kampus serta institusi pendidikan lainnya.
  2. Bijak berselancar di internet khususnya media sosial
  3. Mengantisipasi keluarga yang baru pulang dari perantauan baik sebagai pekerja atau menuntut ilmu.
  4. Deteksi dini dengan melaporkan ke aparat setempat terkait orang-orang baru yang ada di sekitar lingkungan tempat tinggal.
  5. Pendidikan di dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat
  6. Pemerintah menyelesaikan problem ekonomi masyarakat terutama masalah pengentasan kemiskinan, pengangguran dan lain sebagainya.
  7. Peran tokoh-tokoh agama dalam memberikan pemahaman agama yang sesuai dengan nilai-nilai agama resmi yang dianut.
  8. Menindak tegas oknum-oknum yang menghasut dan mempromosikan paham radikal kepada masyarakat sesuai Undang-undang yang berlaku.
  9. Kurikulum & sistem pendidikan perlu dibenahi dalam urusan pencegahan pamah radikalis, intoleran dan separatisme.
  10. Mendukung anak-anak muda untuk berprestasi dalam berbagai bidang.
  11. Mensinergikan konsep humanisme agama dan konsensus budaya/adatiah dalam masyarakat Alor yang terus dilestarikan.
  12. Mengajak anak-anak kita untuk saat sekolah bergelut di OSIS/OSIM, kepramukaan dan kegiatan ekstrakurikuler lainnya serta saat menjadi mahasiswa masuk berproses serius di organisasi Cipayung Plus dalam memperkuat wawasan kebangsaan.

Demikian beberapa gagasan yang bisa didiskusikan dalam forum yang bermartabat ini. Sedamai apa pun kondisi di Alor serta serukun apa pun itu kita harus tetap waspada dan lebih mementingkan tindakan preventif ketimbang kuratif sehingga kerukunan yang selama ini kita banggakan terus dilestarikan. Mohon maaf atas segala kekurangan/kekhilafan. Semoga bermanfaat.

Daftar Pustaka

Artis, 2011. Kerukunan & Toleransi Antar Umat Beraga. Media Ilmiah Komunikasi Umat Beraga Volume 3 Nomor 1. Januari-Juni 2011. Fakultas Dakwah & Ilmu Komunikasi UIN Suska Riau.

Hermawati Rina dkk, 2016. Toleransi Antar Umat Beragama di Kota Bandung. UMBARA Indonesia Journal of Anthropology Volume 1 (2) Desember 2016. Universitas Padjadjaran. Bandung.  

Musa Ali Masykur, 2011. Nasionalisme di Persimpangan, Pergumulan NU dan Paham Kebangsaan Indonesia. Erlangga. Jakarta.

Nafis M. Wahyuni, 2014. Cak Nur, Sang Guru Bangsa Biografi Pemikiran Prof. Dr. Nurcholish Madjid. Kompas. Jakarta.

Nasir Rahmad, 2019. Pendidikan & Politik Dalam 1 Narasi. Perennial Institute. Ruteng.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Rusyidi Ibnu & Siti Zoleha, 2018. Makna Kerukunan Antar Umat Beragama Dalam Konteks Keislaman dan keindonesiaan. Al-Afkar Journal of Islamic Studies Vol. 1 No.1 Januari 2018. Fakultas Agama Islam Universitas Wiralodra.

Vardey Lucinda, 2014. Ibu Teresa a Simple Path Jalan Sederhana, Action… Compassion… Peace. Kompas Gramedia. Jakarta

PHP Dev Cloud Hosting

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

12 Komentar

  1. Ping-balik: cat888
  2. Ping-balik: w69
  3. Ping-balik: OBENGBET
  4. Ping-balik: Volnewmer
  5. Ping-balik: free chat
  6. Ping-balik: live chat