Dia bukan “produk” instan. Bukan sekali jadi. Bukan pula tipikal santai. Tapi anak kandung sebuah proses mahapanjang.
Ditempa dari proses ke proses, untuk menjadi pribadi berkelas atau berintegritas. Dari jurnalistik hingga bakal hijrah ke politik.
Namanya Abraham You. Orang-orang di kampung biasa memanggil dengan nama Abeth. Kadang-kadang juga dipanggil Amoye. Dalam bahasa Paniai amoye artinya anak bungsu laki-laki.
Abeth dilahirkan dari keluarga bersahaja dan bahagia, dalam kelimpahan susu dan madu di tanah terjanji. Buah cinta sang guru dan pendidik di pedalaman Papua. Almarhum R.A. You dan Mama Apolonia Tekege.
Di wilayah adat Meepago, tepatnya di Epouto, Paniai, Provinsi Papua, 10 Mei 1990, anak ini lahir.
Dilahirkan ke dunia kala hutan-hutan Papua masih perawan, disambut suara riak cenderawasih, anak kesebelas dari dua belas bersaudara ini bertumbuh dan berkembang hingga menempuh pendidikan dasar.
Di Sekolah Dasar Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik (YPPK) St. Fransiskus Assisi Epouto, Distrik Yatamo, Paniai, ia mengenal aksara dan angka. Belajar terus hingga enam tahun lamanya.
Selepas SD, Abeth melanjutkan studi ke SMP Negeri 1 Paniai Timur, Enarotali hingga belajar lagi ke SMA Negeri 1 Nabire. Tepat di leher burung dalam peta pulau Papua.
Dengan mengambil jurusan bahasa dan sastra, Abeth terus belajar. Termasuk belajar menulis opini, cerita dan berita.
Ketekunan dan kelihaiannya lantas dipercayakan sekolah untuk menakhodai buletin sekolah, tahun 2006-2008. Namanya Buletin D’vice.
Kepercayaan ini berakhir hingga beliau lulus SMA tahun 2008.
Pengembaraan intelektualnya terus ditata, dieja, dijejak, diarungi, hingga kapal putih membawanya dan berlabuh di ibu kota Provinsi Papua, Kota Jayapura. Tepatnya Juni 2009.
Di Jayapura ia kuliah pada Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP) Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ), dengan spesialisasi jurusan arsitektur. Hingga diwisuda tahun 2014.
Pada suatu kesempatan, tahun 2012, di sudut kota yang dipimpin Wali Kota Benhur Tomi Mano ini, kami meneguk kopi. Bercerita dan bercanda.
Tapi saya terhenyak. Tergelitik. Dan tertarik untuk menarik saripati dari perbincangan kami.
Anak ini ternyata punya potensi dan visi, yang jarang dimiliki anak muda Papua lainnya. Horison berpikir dan pemahamannya kaya tentang Papua.
Sambil meneguk kopi arabika dari Moanemani, Dogiyai–sebuah dataran tinggi yang sejuk di sekitar Paniai–Abeth menceritakan cita-citanya.
“Pandanglah bintang tinggi di langit. Jangan pernah menyerah saat bekerja karena bekerja dapat memberimu arti kehidupan dan hidup akan hampa tanpanya. Bila kamu beruntung menemukan cinta, jangan sia-siakan itu.”
Kata tukilan dan nasihat Stephen Hawking ini rupanya menginspirasi Abeth. Ini sebenarnya nasihat Hawking pada anaknya suatu kesempatan.
“Bila kamu beruntung menemukan cinta, jangan sia-siakan itu.” Ya, cinta yang dimaksud ini, menurut Abeth adalah peluang. Peluang untuk melangkah lebih jauh. Bertolak lebih dalam.
Jurnalis pemberani
Berawal dari seorang blogger, Abeth memberanikan diri menjadi jurnalis.
Menulis tentang fakta, mengolah kata demi kata, berlatih mencermati keruntutan alur berita, mengecek kelogisan isi berita, kemudian menulis cerita, baik fiksi maupun non-fiksi.
Keseharian anak ini berkutat dengan banyak hal: ekonomi, politik, sosial, budaya, lingkungan, dan persoalan lainnya.
Hingga tahun 2011, ia menjadi jurnalis untuk Harian Papua Pos dan Majalah Selangkah, hingga 2015.
Tak berhenti di situ. Ia memberanikan diri untuk menjadi jurnalis pada Koran Jubi dan tabloidjubi.com pada paruh 2014.
Di kalangan jurnalis Papua, Amoye dikenal berani. Dia berani ‘mendobrak’ pintu raksasa melalui tulisan kritisnya. Tulisan-tulisannya jelas memihak masyarakat akar rumput–mereka yang teraniaya, diskriminasi, bahkan tersingkirkan oleh kebijakan pemerintah.
Tulisan-tulisan kritis itu, kadang dianiya oleh pihak penguasa daerah, seperti pemerintah, pengusaha dan aparat keamanan. Bagaimana tidak, kasus Paniai Berdarah, 8 Desember 2014, yang menewaskan empat pelajar SMA, di lapangan Karel Gobay, ditulisnya. Ketika itu dirinya berada di Enarotali.
Atas pemberitaannya, masalah itu mendunia. Penguasa pusing. Dalam waktu yang sangat singkat, para pimpinan negara Indonesia tiba di Paniai, dari tingkat provinsi hingga pemerintah pusat di Jakarta.
“Saat itu saya dibatasi mewawancarai ‘orang-orang’ itu, karena akan menanyakan sesuatu yang lebih tajam,” kenang Abeth.
Hingga kini mantan wakil ketua Himpunan Mahasiwa Jurusan (HMJ) Arsitektur USTJ ini masih konsisten dengan kematian empat siswa yang masih belum dipertanggungjawabkan secara prosefesional oleh negara.
“Perlu diakui bahwa pelaku penembakan empat pelajar itu adalah oknum TNI dan Polri,” katanya.
Terkait kasus ini, mantan Komisioner Komnas HAM RI, Natalius Pigai pernah mengatakan, semua tulisan Abeth You selalu membuat para petinggi di Jakarta kena jantungan.
“Kita di Jakarta sering jantungan karena berita kritis yang ditulis adikku Abeth,” kata Pigai seperti ditirukan Abeth You.
Naluri jurnalistik Amoye terus diasah. Intuisinya tajam. Ia berhasil menembus “rahasia” yang tak tersingkap.
Awal November 2016, kontributor satuharapan.com ini juga membongkar rahasia di balik operasi Taman Anggrek dan Taman Burung di Kabupaten Biak Numfor. Satwa-satwa di taman ini mati karena tak terurus.
Menurut dia, keberanian menyuarakan kebenaran dan kebohongan publik itu mutlak. Menyuarakan suara-suara kaum tak bersuara, atau mereka yang suaranya jarang didengar itu, mutlak dan perlu.
“Suara rakyat (petani atau nelayan), apalagi di pulau-pulau dan perkampungan terpencil, jarang sekali terdengar,” katanya.
Laki-laki Papua asli suku Mee ini mengaku kerap diintimidasi. Itu karena secara getol menyuarakan kasus-kasus yang tak terselesaikan. Misalnya Deiyai Berdarah, tepatnya 5 Agustus 2017 di Oneibo, Deiyai, Papua.
Kasus ini diberitakan secara konsisten dan kontinu pada laman tabloidjubi.com, sehingga ruang gerak meliputnya terbatas.
Abeth bahkan, melalui pemberitaannya, menduniakan kasus itu. Memang suara pena lebih tajam dari pedang, seperti kata Edward Bulwer-Lytton, penulis, pengkritik dan politikus dari Britania Raya (1802-1873).
“Tak cukup modal bisa menulis, jurnalis juga harus jadi analis. Jadi jurnalis itu tak cukup hanya berbekal bisa menulis. Menjadi jurnalis juga berarti menjadi analis dan peneliti,” ujarnya.
Kehadiran Abeth You dalam dunia jurnalistik, terutama di Papua, memberikan warna. Menuliskan fakta dan menceritakan peristiwa, untuk memberi informasi, mengedukasi, hingga memberikan hiburan kepada khalayak.
Satu hal yang ia miliki adalah Abeth harus suka dan mengetahui apa yang harus ditulis. Sehingga selalu mencerahkan masyarakat dan cerdas mengasah berbagai skill .
Abeth pernah menjadi peserta terbaik pada kegiatan Jurnalis Invesitasi berbasi Open Data di Jakarta dan mendapatkan fellouwship.
Pindah jalur
Jurnalis bersuara melalui pena dan kata-kata yang ditatanya. Utamanya kepada masyarakat.
Waktu berubah dan kita pun berubah di dalamnya. Begitu pepatah klasik tentang perkembangan manusia dan zamannya.
Anak pemberani ini pun membanting stir. Ia tergelitik berpolitik. Dari suara jurnalistik di ujung pena, ke suara-suara meja di meja sidang. Tepatnya anggota legislatif.
Abeth dikabarkan terdaftar sebagai calon tetap di Partai Golongan Karya (Golkar) di nomor urut empat pada daerah pemilihan (dapil ) I Kabupaten Paniai.
Keprihatinan atas keberadaan rakyat jelata yang tidak pernah berubah menjadikan Abeth banting stir. Seperti ketersediaan pasar layak di Enarotali.
Mama-mama di Enarotali, katanya, selalu saja menjual di atas tanah dan beralasakan kain atau plastik. Ia ingin menyuarakan mereka.
“Saya mau membawa rakyat Mee kembali ke akar budaya dan adatnya demi kesejahteraan bersama, serta dengan misi, turun bersama rakyat mencapai hidup yang berdaulat,” kata Abeth.
Mencari pengganti
Setiap orang bisa menjadi penulis. Namun tidak semuanya mampu meramu tulisan dengan lihai untuk disajikan ke publik.
Baginya, menulis tak melulu soal novel, cerita pendek (cerpen), atau puisi. Menulis berita juga pekerjaan mengolah kata. Bedanya, fakta adalah rohnya.
Abeth mengaku, masih kawan-kawan dan seniornya yang akan bersuara di ujung pena dan berita.
“Masih ada senior Victor Mambor, Dominggus Mampioper, Benny Mawel, Angela Flassy, Yuliana Lantipo, Arjuna Paddema, yang juga telah menyiapkan para penggantinya akan menjadi wartawan,” katanya sambil tersenyum.
Bagi dia, cara senior-senior tadi dalam mendidik sangat khas. Terutama oleh karena tiap jurnalis harus memahami masalah Papua sesungguhnya jika mau menulis tentang Papua.
“Masih ada Agus Pabika, Hengki Yeimo, David Sobolim, Yance Wenda, Alexander Gobai, Arnold Belau, Stevanus Yogi dan beberapa lainnya yang tak ingin sebutkan nama,” pesannya.(Red, de Lomes)
instrumental music