Bumi sebagai rumah bersama yang rusak (bagian 2/3)

Salah seorang anak asli Kota Jayapura, Papua ketika melihat sampah yang mengotori lautnya pada 1 Agustus 2020 – De Lomes. 
Paus Fransiskus mengambil contoh, paru-paru dunia yang kaya dengan keanekaragaman hayati, yaitu wilayah Amazon dan cekungan sungai Kongo, atau tempat-tempat air bawah tanah yang luas dan gunung es. Bagi Paus Fransiskus, manusia itu tahu betapa penting semuanya itu bagi seluruh planet ini dan bagi masa depan dari kelangsungan hidup manusia.

Namun, ketika seluruh hutan tropis ini dibakar, ditebang dan dibongkar menjadi lahan pertanian berskala besar, beberapa spesies tak terhitung jumlahnya punah dan seringkali lahan itu berubah menjadi gersang dan tak tersentuh lagi.
Namun di sisi lain, alih fungsi hutan asli menjadi perkebunan, biasanya monokultur, jarang dianalisis secara memadai. Namun alih fungsi ini dapat berdampak serius terhadap keanekaragaman hayati yang tidak mampu bertahan bersama spesies baru yang dibudidayakan.
Demikian pula, lahan-lahan basah yang diubah menjadi lahan budidaya, akan kehilangan keanekaragaman hayati yang sebelumnya sangat kaya. Di beberapa daerah pesisir hilangnya ekosistem yang ditopang oleh hutan bakau, mengkhawatirkan.
Di sisi lain, lautan bukan hanya mengandung bagian terbesar air di planet ini, melainkan juga sebagian besar aneka macam makhluk hidup, yang banyak masih belum kita kenal, dan yang terancam karena berbagai sebab.
Kehidupan di sungai, danau, laut dan samudera, yang memberi makan sebagian besar penduduk dunia, terpengaruh oleh penangkapan ikan yang tak terkendali, yang menyebabkan pengikisan drastis spesies tertentu. Bentuk penangkapan ikan secara selektif, yang membuang sebagian besar jenis ikan yang tertangkap, masih terus berlanjut.
Organisme laut yang kurang kita perhatikan, seperti beberapa jenis plankton menjadi terancam; padahal ini merupakan komponen yang sangat penting dalam rantai makanan di laut. Species yang menjadi makanan kita, juga bergantung pada mereka akhirnya ikut punah (baca: Paus Fransiskus, Ensiklik Laudato Si’ hal. 29).
Dalam lautan tropis kita juga menemukan terumbu karang yang sebanding dengan hutan besar di daratan, karena memberi tempat kepada sekitar satu juta spesies, termasuk ikan, kepiting, moluska, spons, alga, dan lain-lain.
Disadari investasi penelitian yang berskala besar yang perlu dilaksanakan untuk memahami secara baik perilaku ekosistem dan menganalisis secara memadai bagi berbagai variabel dari dampak setiap modifikasi penting terhadap lingkungan. Karena semua makhluk terkait, masing-masing harus dihargai dengan kasih sayang dan kekaguman, sebab sebagai makhluk hidup kita semua saling bergantung.
Setiap daerah bertanggung jawab untuk memelihara keluarga ini, maka harus mengadakan inventarisasi rinci pelbagai spesies yang ada di situ, dengan tujuan untuk mengembangkan program dan strategi perlindungan, dengan konservasi khusus untuk beberapa spesies yang terancam punah.
Penurunan kualitas hidup manusia dan kemerosotan sosial
Penurunan kualitas hidup manusia dan kemerosotan sosial terjadi dalam seluruh dinamika kehidupan manusia sebagai bagian dari makhluk dunia ini, yang berhak juga untuk hidup bahagia dan memiliki martabat “citra Allah”. Sehingga pada dasarnya manusia harus mempertimbangkan tentang kerusakan lingkungan hidup, model pembangunan saat ini, dan budaya membuang sampah yang nyatanya berpengaruh dalam seluruh kelangsungan hidup manusia itu sendiri.
Paus mengambil contoh, misalnya pertumbuhan banyak kota secara berlebihan dan tidak lagi terkendali sehingga tidak sehat lagi untuk tinggal di tempat seperti itu, bagi Paus tidak hanya karena polusi yang disebabkan oleh emisi gas beracun, tetapi juga sebagai akibat dari tata kota yang kurang baik, masalah transportasi yang kurang memadai, polusi visual dan kebisingan.
Seperti nyata sekarang ini, hubungan nyata dan langsung dengan orang lain diganti dengan jenis komunikasi internet yang sebenarnya membuat hubungan komunikasi itu bukan lagi komunikasi mendalam dari hati ke hati, melainkan sebatas pembicaraan biasa-biasa saja.
Namun perlu diingat bahwa, Media saat ini memungkinkan kita untuk berkomunikasi dan berbagi pengetahuan dan perasaan; namun, kadang-kadang juga menghalangi kita untuk berhubungan secara langsung dengan kesusahan, kecemasan, sukacita orang lain dan dengan kompleksitas pengalaman pribadinya. Itulah sebabnya kita seharusnya tidak terkejut bahwa bersama-sama dengan tawaran luar biasa media ini, berkembang ketidakpuasan mendalam dan muram dalam hubungan antar pribadi, atau perasaan terisolasi yang berbahaya.(baca: Paus Fransiskus, Ensiklik Laudato Si’, hal. 33-34).
Ketimpangan global
Lingkungan manusia dan lingkungan alam merosot nilainya secara bersama-sama, dan dari hal ini manusia tidak dapat secara benar untuk menangani persoalan lingkungan alam jika tidak memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan kemerosotan manusia dan masyarakat.
Pada dasarnya kerusakan lingkungan dan kemerosotan masyarakat lebih berdampak kepada orang-orang miskin yang ada di bumi ini: Paus mengambil contoh, menipisnya cadangan ikan di laut merugikan masyarakat nelayan kecil yang tanpa sarana dan menangani persoalan tersebut atau pencemaran air yang berdampak pada orang-orang miskin yang tidak dapat membeli air dalam kemasan.
Dari semua ketimpangan ini, yang lebih parahnya angka kematian yang kian meningkat terjadi di kalangan orang-orang miskin.
Dalam kehidupan manusia seringkali tidak ada paham yang jelas terhadap permasalahan orang-orang miskin. Yang sebenarnya mereka juga merupakan penduduk yang menetap di bumi ini, dan mereka miliaran orang. Seringkali mereka dibicarakan dalam pertemuan nasional dan internasional, akan tetapi pembicaraannya hanya bersifat formal belaka, tanpa ada aksi nyata. Bila dilihat dalam kenyataannya orang-orang miskin seringkali mendapat tempat yang terakhir dalam aksi nyata tersebut.
Memecahkan persoalan tersebut, memang boleh dikatakan ada usaha dari para ahli untuk memecahkan persoalannya dan sampai berpikir jauh bagaimana dunia ini bisa berubah tetapi ada pihak lain yang hanya mengusulkan penurunan tingkat kelahiran dengan berbagai aturan yang ditetapkan.
Bagi Paus Fransiskus, menyalahkan pertumbuhan penduduk, dengan menekankan jumlah kelahiran merupakan cara yang mengelak dari permasalahan yang sedang dihadapi sekarang ini. Namun demikian, perhatian tentu harus ditujukan pada ketidakseimbangan kepadatan penduduk, baik pada tingkat nasional maupun global, karena tambahan konsumsi akan menyebabkan situasi regional yang berbelit, disebabkan oleh kombinasi masalah yang menyangkut antara lain pencemaran lingkungan, transportasi, pengolahan limbah, hilangnya sumber daya, dan kualitas hidup.
Di lain pihak, ketimpangan yang terjadi di kalangan orang-orang miskin, ada ketimpangan yang berdampak untuk negara-negara seluruhnya; itulah yang memaksa manusia untuk berpikir tentang suatu etika hubungan internasional.
Paus mengajak manusia seluruhnya, untuk memperhatikan penggunaan ruang lingkungan di bumi ini, untuk menyimpan limbah-limbah gas yang sudah terlalu banyak ada di dua abad terakhir ini dan telah menciptakan masalah yang mempengaruhi seluruh negara di bumi ini.
Ketimpangan lain yang terjadi yakni; hutang luar negeri pada negara-negara miskin telah menjadi alat kontrol, tetapi hal yang sama tidak terjadi dengan permasalahan ekologi, atau singkatnya “hutang ekologis”.(Red, De Lomes)
Penulis: Sdr. Vredigando Engelberto Namsa, OFM, biarawan Fransiskan Provinsi Fransiskus Duta Damai Papua, Tinggal di Papua

PHP Dev Cloud Hosting

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

14 Komentar

  1. Ping-balik: ks pod
  2. Ping-balik: Study in Africa
  3. Ping-balik: next
  4. Ping-balik: slot99
  5. Ping-balik: JPEG ownership