Corona ko ganas sampe


Nabire, Bumiofinavandu.Id – Bertahun-tahun aku meninggalkan engkau hai Raja Surga dan Dunia. Sejak baju putihku terlepas dan aku melepaskannya. Aku tak sedikitpun menepi dan menyepi sejenak untuk ada bersamamu. 


Hanya tinta berbekas jejak yang tercoret pada catatan kaki diary-ku. Itu pun hanya di kulit. Belum masuk ke kedalaman paling dalam. Bahkan hingga ke ujung dunia aku melanglang buana pun, aku terus berpaling dari baitmu.

Maka ketika engkau datang sebagai raja dan wafat, saat itu pun betapa aku tak berdaya menyembahmu yang bertahta dalam kalbu.

Bagai rusa di padang ilalang yang merindukan air sungai, begitu juga jiwaku. Merindu pada cumbu tak berakhir. Di sayap-sayap cintaMu, aku hangat melebihi peronda malam yang berdiang di perapian.

Salib-salib kecil dalam jejakku belum seberapa dengan milikMu. Di sini aku termenung, bertolak lebih dalam pada jalan penuh duri dan jurang. Via Dolorosa.

Ruang Jeda, Rabu, 16 April 2014, malam

Yang paling saya rindukan ketika tiba pekan paskah adalah ritus penghormatan salib (Jumat Agung). Pada nada sedih dan lagu ini.

Imam: Lihat kayu salib, dst.
Lalu umat menjawab sambil berlutut: marilah kita sembah, dst.

Di situ terkadang air mata tatumpah. Apalagi suara lirih yg pas mantap begitu. Maka seturut pesan St. Agustinus, qui bene qantat bis orat (siapa yg bernyanyi baik berdoa dua kali). Mungkin saja lebih dari dua kali doanya.

Selain itu pada renungan tentang kematian dan malam paskah. Hingga kebangkitan. Bahwa pusat semuanya paskah–kebangkitan.

Selamat pesta paskah bagi keluarga, sahabat, teman dan umat beriman. Aleluia.

Dua potongan tulisan di atas sa ambil dari facebook. Itu postingan saya beberapa tahun silam. Sa ambil kembali karena memang muncul dalam notifikasi “memori”.

Postingan pertama sa kasi judul “Catatan Paskah 2014“. Di-posting 17 April 2014 Lalu postingan kedua tanpa judul. Ditulis 16 April 2017 tapi di-posting keesokan harinya.

Setelah saya baca kembali, saya merefleksikannya. Terasa “asyik” saja. Bukan sok religius e.

Entahlah, ketika itu suasana batin saya seperti apa. Konteksnya memang saat paskah—pesta kebangkitan Yesus Kristus, yang oleh umat Kristiani diimani sebagai firman Tuhan yang menjelma menjadi manusia (daging) dan bangkit pada hari ketiga—sebagaimana diucapkan dalam setiap syahadat panjang dan syahadat pendek.

Sepertinya itu tentang kerinduan; pada sebuah perayaan apa yang disebut misa—makan hostia, mengakui dosa dan berkomitmen untuk berubah. Minimal memperbaiki ketidakbaikan. Itu saja.

Kerinduan itu muncul pula pada Paskah 2020. Tapi paskah tahun ini diperhadapkan dengan bencana global. Pandemi virus corona atau coronavirus disease 2019 (covid-19), yang menggerogoti ribuan nyawa manusia di dunia; yang mencemaskan penduduk bumi, yang mengakibatkan sejumlah manusia kehilangan pekerjaan, kehilangan pendapatan, dan kehilangan relasi antarsesama lantaran karantina mandiri, jaga jarak dan lockdown—yang oleh banyak orang diplesetkan menjadi lap daun, lauk daun, lauk pauk daun-daun, download, de el el.

Untung ada youtube dan sejumlah fasilitas digital lainnya, sehingga umat beriman di seantero jagat dapat mengikuti misa/ibadat yang disiarkan secara live.

Pekan suci—mulai dari Minggu Palma sampai Minggu Paskah—dirayakan dengan jumlah umat terbatas di kapela, gereja atau katedral hingga basilika-basilika dan Vatikan. Tapi “diikuti” atau ditonton ratusan hingga ribuan orang di tempat berbeda.

Tahun ini juga sa tidak melihat berita perayaan Semana Santa atau Pekan Suci yang sudah berusia 500-an tahun di Larantuka, Flores Timur. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang meriah; kidmat. Tahun ini memang beda. Sunyi.

Ihwal mengikuti misa di youtube, apakah umat yang nonton adalah umat Krstiani, atau malah berbarengan dengan umat berkeyakinan lain? Ataukah mengikutinya dengan serius atau tidak? Saya kira itu perkara kemudian.

Tapi saya meyakini bahwa umat beriman Kristiani, terutama Katolik, dengan khusyuk mengambil bagian dalam ibadat, baik ekaristi atau misa, maupun jalan salib dan adorasi (penyembahan sakramen mahakudus).

Di media sosial, berseliweran unggahan foto umat-umat yang mengikuti misa live streaming di youtube, sedangkan umat yang kebetulan tidak punya data internet, atau bahkan tidak memiliki akses internet, tidak mengikuti misa sama sekali. Mereka beribadat dalam rumah atau dimana pun mereka berada. Ibadat keluarga.

Sisi positif dari live streaming adalah iman semakin tebal. Artinya ada keyakinan akan kehadiran Tuhan yang bangkit, meski tidak berdiri, berlutut, duduk, dan tunduk di depan altar gereja dan bernyanyi bersama umat lain dan imam yang memimpin misa.

Kecuali itu, tak ada lagi jarak atau sekat-sekat stasi, paroki, dekenat, keuskupan, provinsi, negara, bahkan benua meski dianjurkan agar umat hanya mengikuti live streaming di paroki masing-masing. Youtube membuat jarak antara Merauke dan Sabang begitu dekat, atau Wamena dengan Vatikan. Misa di Merauke, bisa saja ditonton atau diikuti umat di Manggarai, atau Jayapura dengan Jawa Barat.

Di sisi lain, sa tidak tahu apakah umat mengikutinya sambil kantuk, sambil ngobrol, sambil online, sambil ngopi, dan sambil-sambil yang lainnya, sehingga menjadi “sambilan”. Lagi-lagi, itu kembali kepada pribadi-pribadi.

Paskah tahun ini yang trada koor di gereja, trada nyanyian meriah, tra terdengar Aleluya Haendel di malam paskah, membuat kerinduan juga membuncah.

Bagi umat Katolik dengan label “napas” atau natal-paskah (karena hanya ke gereja saat natal dan paskah) seperti saya, ketidakhadiran di gereja karena virus corona ini adalah pukulan telak, sekaligus kerinduan mahaberat.

Disebut pukulan telak karena kesempatan untuk merayakannya di gereja tra bisa dan tra terbiasa mengikuti semacam streaming itu. Lalu sontak menjadi kerinduan karena sudah lama menantikannya. Barangkali ini yang disebut “pengalaman akan misteri Allah” seperti yang dikemukakan Tom Jacob SJ (2002: 226) dalam bukunya Paham Allah Dalam Filsafat, Agama-Agama dan Teologi. Tapi memang kerinduan itu bagaikan rusa di padang sabana Nusa Tenggara yang merindukan air sungai. Semacam rindu tak bertepi. Ehem!!

Apalagi dalam Lima Perintah Gereja disebutkan bahwa mengaku dan sambut hostia sekurang-kurangnya satu kali setahun (paskah) dan menerima sakramen pengakuan saat menjelang paskah.

Tapi begitulah. Semua karena corona. “Corona ko ganas sampe,” kata sa pu kawan suatu ketika.

Tapi Pesan Paus Fransiskus dalam kotbahnya pada malam Paskah, Sabtu, 11 April 2020 di Vatikan yang disiarkan live dalam channel Vatikan, sepertinya membangkitkan semangat dan harapan baru; harus punya harapan dan keberanian menghadapi pandemi corona. Selamat pesta paskah basodara semua.(Red,lomes.id-JPR17420) 


PHP Dev Cloud Hosting

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

6 Komentar

  1. Ping-balik: sex trẻ em
  2. Ping-balik: scuba in phuket
  3. Ping-balik: slot99