Oleh Pdt. Dr. Mesakh A. P. Dethan, MTh., MA.
Apakah semua orang sama di mata Allah? Kita akan menjawab secara standar berpikir: “ya memang sama tidak ada perbedaan”. Tetapi praktek hidup kita tidak seperti itu.
Kita membeda-bedakan manusia yang satu dengan yang lain. Kita memberikan ukuran dan derajat yang berbeda-beda antara seorang dengan yang lain. Dan ukuran ini kita klaim sebagai yang berasal dari Allah dan yang paling benar.
Pertanyaan lain apakah ukuran cinta Tuhan kepada kita sama dengan ukuran cinta kita kepada sesama kita? Tuhan mengasih semua manusia tanpa ada perbedaan, tetapi ketika kita mengasihi sesama kita pasti ada perbedaan, karena bergantung seberapa dekatnya seseorang kepada kita.
Ukuran kedekatan akan menentukan kadar, jenis dan bentuk cinta kita kepada mereka, entah istri, anak, saudara, orang tua, teman, atau tetangga.
Bahaya dari kehidupan beragama adalah bahwa ketika kita mengklaim bahwa Tuhan Pencipta Semesta adalah milik kita semata.
Tuhan Allah yang tak terbatas kita batasi kita dalam ruangan kita sendiri, agama kita sendiri, aliran dan denominasi kita semata bahkan lebih celaka demi kepentingan dan memuaskan perasaan kita sendiri dan ego belaka.
Pertanyaannya adalah apakah dengan sikap seperti ini menunjukkan bahwa kita sungguh-sungguh beragama dan menyembah Tuhan Allah pencipta yang mengasihi semua manusia? Ataukah kita memang beragama tetapi tanpa kehadiran Tuhan Allah Pencipta?
Ada bahaya ketika rasa cinta kita kepada Tuhan, membangun hubungan yang erat dengan Tuhan melalui ibadah-ibadah, doa-doa dan penyembahan kepada Tuhan kemudian ditarik masuk kedalam pemikiran bahwa Tuhan Allah hanya milik kita dan Tuhan Allah hanya mengasihi kita dan manusia lainnya tidak. Ini pemikiran yang sempit, picik dan naif. Orang yang ada bersama-sama kita setiap hari kita sebut sebagai saudara seiman, dan di luar itu adalah kafir dan najis, haram.
Kalau Tuhan itu adil dan pengasihi penyanyang apakah benar bahwa selain kita yang menganggap diri paling benar, apakah Tuhan juga menciptakan manusia kafir, najis dan haram? Apakah di mata Tuhan ada terdapat jenis-jenis manusia, derajat-derajat manusia. Ataukah semuanya itu hanya pemikiran kita sendiri? Pergumulan semacam ini yang dialami Petrus ketika dia suruh bertemu dengan seorang kepala Pasukan berkebangsaan Italia sebagaimana dikisahkan dalam Kisah Para Rasul 10:1-48.
Meskipun telah menjadi pengikut Kristus yang telah mendapatkan mandat untuk mengabarkan Injil kepada segala makhluk (Matius 28:19-20), namun Petrus belum sepenuhnya terlepas dari paradigma lama yang dimilikinya. Paham dan idiologi Yahudi masih tertanam kuat dalam dirinya.
Sebagai seorang Yahudi Rasul Petrus tentu sangat taat dan patuh kepada aturan-aturan yang digarisan dalam Hukum Taurat termasuk tidak boleh makan daging binatang yang haram.
Dan seperti kebanyakan orang Yahudi ia juga yakin bahwa Israel adalah bangsa pilihan Allah, di luar Israel adalah kafir dan najis (sikap ini mendorong kepada kesombongan dan perendahan terhadap bangsa lain atau kepercayaan lain).
Sekalipun Petrus, rasul yang diberi kuasa pelayanan yang luar biasa (lihat Kisah 9:36-43), tapi ia juga manusia biasa yang mempunyai kelemahan. Pemahamannya tentang keselamatan yang dibawa Kristus adalah hanya milik orang Yahudi saja, karena diluar itu adalah kafir. Pemahaman inilah yang kemudian diterangi oleh Allah melalui penglihatan ketika ia hendak berdoa dan makan pada saat ia termenung, penglihatan itu berulang sampai 3 kali.
Peristiwa ini akhirnya mengubah paradigma Petrus tentang keselamatan dan mendorong dia untuk bersedia bertemu denga Kornelius, seorang kepala Pasukan di Kaisarea (Kisah 10:1-2).
Di Kaisarea ada seorang yang bernama Kornelius, seorang perwira pasukan yang disebut pasukan Italia. (Ayat 2: Ia saleh, ia serta seisi rumahnya takut akan Allah dan ia memberi banyak sedekah kepada umat Yahudi dan senantiasa berdoa kepada Allah.).
Dan sikap dan paradigma ini yang membuat gereja dikemudian menjadi gereja yang terbuka kepada semua bangsa di dunia. Apakah bangsa lain selain Yahudi adalah juga umat Allah terjawab melalui kisah 10 ini bahkan juga pada bagian-bagian lain dari seluruh kisah Para Rasul ini.
Dan ini menjadi pandangan teologis yang bersifat universal dari si penulisnya yakni Lukas. Menurut Udo Schnelle , (lihat Udo Schnelle, Einleitung in das Neue Testament, Vandenhoeck & Ruprecht, 5 Auflage, Göttingen, 2005, hlm. 305-322), inti pesan Kisah Rasul adalah pada Karya dan ajaran Yesus (Kis 1:1).
Pemilihan dan karunia Roh Kudus yang menghubungkan antara masa karya pelayanan Yesus dan Pekerjaan PI para rasul (Kisah 1:2). Amanat Agung untuk mengabarkan Injil keseluruh dunia diwujudkan oleh para saksi sebagai bentuk dari kelanjutan pewartaan Karya dan ajaran Yesus oleh gereja.
Pertanyaan sentral dalam Kisah adalah apakah gereja Kristen asal kafir bagian dari umat Allah atau tidak. Sejak awal pertanyaan tentang pemulihan Kerajaan Israel, yang bersifat particularistik justru dijawab oleh Yesus tentang janji karunia Roh Kudus bagi para murid, yang bersifat universalistik untuk PI ke seluruh dunia (lihat Kisah 1:6b).
Bagi Lukas melalui Karya Roh Kudus muncul gereja sebagai Israel sejati dari orang-orang Yahudi dan orang-orang Kafir. Hal ini bukan saja melegitimasi pemberitaan gereja, tetapi juga membuka pintu yang lebar bagi jemaat mula-mula bagi suatu gerakan oikumene.
Berawal dengan pertobatan sida-sida dari Etiopia (orang Kafir) dalam kisah 8:28-40, lalu Pertobatan Paulus (orang Yahudi radikal) dalam kisah 9:1-22; 22:3-21;26:9-20 untuk menegaskan maksud tersebut. Hal ini diperjelas dalam kisah Kornelius (orang Kafir) yang dipertemukan dengan Rasul Petrus (orang Yahudi) bahwa baik orang kafir maupun orang Yahudi masuk dalam rencana penyelamatan Allah.
Karunia Roh Kudus ternyata juga bagi orang Kafir (Kisah 10: 44) merupakan penggenapan akan janji Yesus dalam Kisah 1:5 dan menuntun seperti pada peristiwa keturunan Roh Kudus kepada suatu etape penting dalam rencana penyelamatan Allah. Ingatan pada kata-kata Yesus yang bangkit dalam Kisah 11:16 (band Kisah 1:5) memperjelas bahwa dalam pandangan Lukas sebagai penulis Kisah rasul bahwa karunia roh bagi orang kafir dan karya penyelamatan Allah yang bersifat universal cocok satu dengan yang lain. Juga akhirnya orang-orang Kristen Yahudi di Yerusalem dapat menerima pandangan bahwa orang-orang kafir juga diijinkan untuk mendapatkan keselamatan Allah (band Kisah 11:18).
Karya Allah dalam Kristus bukan hanya bagi suatu bangsa tetapi bagi seluruh suku bangsa di dunia. Allah bagi semua orang dan karena itu gereja sebagai wujud dan tanda-tanda kehadiran Allah juga harus terbuka bagi semua orang tanpa diskriminasi atau terjebak dalam pemikiran-pemikiran dan tindakan yang sempit.
Undangan Kornelius dan kesediaan Petrus kerumah Kornelius (orang kafir dan najis dalam pandangan Petrus) karena dituntun oleh Roh Kudus menghadirkan paradigma baru : “dihadapan Allah semua manusia adalah sama”.
Cara kita memandang orang lain tanpa kita sadari justru menciptakan jurang diantara kita. Petrus di mata Kornelius (sang perwira tinggi) adalah orang Yahudi atau manusia yang sementara dijajah oleh pemerintahnya (Kaiser Romawi). Kornelius dimata Petrus adalah bukan seorang kafir biasa, ia adalah musuh utama orang Yahudi karena bangsa Italia-Romawi sedang menjajah Israel.
Roh Kudus bekerja melalui cara yang mungkin tidak pernah kita pikirkan. Dalam contoh Petrus dan Kornelius, Roh Kudus juga datang kepada orang-orang yang bersunat maupun tidak bersunat, orang yang sudah mengenal Kristus maupun juga belum mengenal Kristus. Roh Kudus juga datang kepada Kornelius yang tidak bersunat, yang makan makanan haram dan yang menjajah Israel.
Hal ini membuka pikiran Petrus untuk memahami arti dari mimpinya dan berkata “Sesungguhnya aku telah mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang. Setiap orang dari bangsa manapun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepadaNya (Kisah 10:34). Membuka diri bagi karya dan tuntunan Roh Kudus (baik dalam kasus Kornelius yang Kafir maupun Petrus yang Yahudi) memampukan seseorang untuk berpikir positif dan merobohkan pemikiran yang dangkal dan sempit.
Roh Kudus dapat bekerja dalam diri kita jika kita juga membangun hubungan yang akrab dengan Tuhan (melalui doa dan ibadah). Melalui hubungan yang akrab dengan Tuhan, kita diajar untuk menerima cara kerja Tuhan, bahwa Ia akan bertindak bebas dan aktif, jauh seperti yang kita bayangkan dan pikirkan.
Dalam masyarakat yang majemuk yang terdiri dari berbagai macam suku dan latarbelakang sikap saling menghargai dan menghormati cenderung semakin terkikis. Ego kelompok, ego partai, ego suku, ego gereja, ego denominasi sering menjadi pemicu bagi pertentangan dan konflik dalam masyarakat.
Orang percaya yang melanjutkan Karya penyelamatan Kristus dan ajaran Kristus dalam dunia harus mampu melepaskan egonya yang menghambatnya menjadi gereja Tuhan yang sejati. Di dalam kemajemukan tersebut diperlukan pemahaman tentang Allah yang berkarya bagi semua. Dari tiga huruf EGO, sebetulnya cukup kita membuang satu huruf saja E dan pakailah GO.
Artinya apa? Artinya kita keluar dari cara berpikir sempit dan pergi kepada keluasaan berpikir; artinya dalam kehidupan ini kita memerlukan orang lain kita harus mampu berjalan bersama orang lain, bukan hanya mementingkan diri sendiri.
Tidak ada hak kita untuk menghakimi siapapun baik diri sendiri maupun orang lain, bahkan menolak untuk mengasihinya, karena kasih dan berkat-berkat Allah dinyatakan bagi semua manusia dan dunia ini.
Jadi apakah masih pantas kita menyebut “orang lain” kafir dan najis? (*)
Artikel ini telah tayang di pos-kupang.com dengan judul: Renungan Kristen Rabu 28 Agustus 2019 ‘Apakah Masih Pantas Kita Sebut “Orang Lain” Kafir dan Najis?’
Editor: maria anitoda
6 Komentar