Urgensi raperdasi tentang pengelolaan kehutanan di Provinsi Papua

Nabire, Bumiofinavandu – Pengelolaan Kehutanan di Papua pada Tahun 2008, Pemerintah Provinsi Papua mengesahkan Perdasus Nomor 21 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Papua. Namun pemerintah pusat disinyalir menolak Perdasus No 21 Tahun 2008 dengan alasan belum adanya pasal yang mengatur tentang ijin hasil hutan kayu masyarakat hukum adat dalam UU Nomor  41 Tahun 1999.

Hal ini ditandai dengan belum ditandatanganinya norma standar prosedur kriteria oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, sementara pengelolaan kehutanan di Papua tetap terus berjalan.

Bacaan Lainnya

Di Papua, stakeholder yang mengerjakan hutan dengan usaha kayu dapat digolongkan sebagai berikut; Pengusaha Pemegang HPH, Perusahaan Pengekspor, Pengusaha Pemegang Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK), Pengusaha Pemilik Saumil, Penggesek Kayu dan Masyarakat.

Pemegang HPH semuanya adalah Pengusaha non Papua yang berasal dan tinggal diluar Papua, sementara yang lain adalah orang non Papua dan Papua yang bertempat tinggal di Papua. Dalam hal tertentu Pemegang HPH selalu menjadi anak emas.
        

Regulasi

Sesuai dengan UU No 23 Tahun 2014, Pemerintah produksi telah diberikan kewenangan Pengelolaan Hutan yang mempunyai kemampuan produksi sampai dengan 6000M3. Untuk itu, perlu diatur sebuah regulasi di Provinsi Papua, karena tidak dapat disangkal bahwa masyarakat adat mengalami keterbatasan dalam permodalan dan peralatan untuk produksi. Masyarakat bermitra dengan industri lokal sekunder di Papua.

Selama ini, skema kemitraan yang terjadi antara masyarakat dan mitra industri sebagai berikut. Pertama, kayu dibayar langsung oleh pelaku usaha, (tunai). Kedua, masyarakat harus menunggu sampai dengan kayu terjual di pasar diluar Papua. Skema penjualan yang kedua merupakan skema yang rawan untuk terjadi kerugian ketika penjualan ini disebut kayu ilegal oleh penegak hukum. 

Dalam rangka itu maka diperlukan regulasi yang jelas dan tegas untuk menjadi payung hukum sebagai Mitra. Hal yang perlu diatur dalam regulasi kemitraan masyarakat adat atau penggesek kayu dengan pelaku usaha kayu dibawah 6000m3, antara lain terkait, harga beli, proses pembayaran dan sebagainya.

Sejak adanya Putusan MKRI 35, telah diterbitkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.83/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan perambahan hutan, tata batas kawasan (tenurial) dan keadilan bagi masyarakat setempat, yang berada di dalam atau di sekitar kawasan hutan dalam rangka kesejahteraan masyarakat dan pelestarian fungsi hutan.

Ruang lingkup peraturan ini meliputi: hutan desa, hutan kemasyarakatan dan hutan tanaman rakyat. Walaupun telah ada Permen LHK namun di Provinsi Papua belum ada regulasi yang mengatur tentang Perhutanan Sosial, pola kemitraan, sehingga kayu hasil masyarakat yang kemudian dijual oleh pelaku usaha masyarakat juga sering disebut ilegal loging.

Perizinan diatas tentunya dapat diakses oleh masyarakat adat Papua, karena hutan merupakan kekayaan masyarakat adat Papua. tentunya yang dibawah < 6000 M 3, sesuai dengan UU No 23 Tahun 2014, karena ini adalah kewenangan Provinsi. Oleh karena hutan di Papua, diperoleh sebagai warisan, Tuhan melalui nenek moyang, orang tua serta hari ini dimiliki oleh masyarakat Papua.

Masyarakat Papua memiliki kearifan lokal yang merupakan sebuah kebiasaan yang dipatuhi oleh warga, untuk itu dalam pengelolaan Hutan Alam karena terdapat dikampung sehingga diperlukan juga adanya peraturan Kampung.

Selain Kayu di kampung dapat juga masyarakat Papua Hasil hutan bukan kayu (HHBK). Adalah hasil hutan hayati baik nabati maupun hewani beserta produk turunan dan budidaya kecuali kayu yang berasal dari hutan. Pengertian lainnya dari hasil hutan bukan kayu yaitu segala sesuatu yang bersifat material (bukan kayu), yang diambil dari hutan untuk dimanfaatkan bagi kegiatan ekonomi dan peningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Hasil hutan bukan kayu pada umumnya merupakan hasil sampingan dari sebuah pohon, misalnya getah, daun, kulit, buah atau berupa tumbuhan-tumbuhan yang memiliki sifat khusus seperti rotan, bambu dan lain-lain.

Pemungutan hasil hutan bukan kayu pada umumnya merupakan kegiatan tradisionil dari masyarakat yang berada di sekitar hutan, bahkan di beberapa tempat, kegiatan pemungutan hasil hutan bukan kayu merupakan kegiatan utama sebagai sumber kehidupan masyarakat sehari-hari.

Hasil hutan bukan kayu telah lama diketahui menjadi komponen penting dari kehidupan masyarakat sekitar hutan. Bagi sebagian besar penduduk, hasil hutan bukan kayu merupakan salah satu sumber daya penting dibandingkan kayu. Banyak rumah tangga di sekitar kawasan hutan yang menggantungkan hidupnya, pada hasil hutan bukan kayu sebagai kebutuhan sampingan (subsistem) dan atau sebagai sumber pendapatan utama. Baik secara sendiri maupun dengan bekerjasama bersama pihak lain yang dapat mengembangkan Industri Primer Hasil Hutan Bukan Kayu (IPHHBK), berupa pengolahan bahan baku yang berasal dari hasil hutan bukan kayu yang dipungut langsung dari hutan, antara lain pengolahan rotan, sagu, nipah, bambu, kulit kayu, daun, karet, kakao, kopi, buah atau biji, dan getah.       
                                
Kesimpulan

Pemen LHK dan UU No 23 Tahun 2014  dan PP No 106 tahun 2021 dapat dibaca pada lampirannya, kewenangan kehutanan di Pemprov Papua. Regulasi tersebut diatas merupakan Regulasi, yang belum ditindaklanjuti di Papua dalam bidang kehutanan. Untuk itu, haruslah dipikirkan regulasi payungnya agar masyarakat adat pemilik hutan adat tetap untung dalam kemitraan usaha ini tentunya dengan tetap diawasi pelaksanaan kemitraannya. Manfaat ekonomi pengelolaan kehutanan untuk PAD Provinsi Papua maupun Kabupaten/Kota yang diberikan oleh pemegang HPH tidak ada apalagi manfaatnya bagi pemberdayaan Masyarakat Adat sebagai pemilik hutan.

Dengan kondisi yang dikemukakan diatas maka, masyarakat adat, pelaku usaha di papua dan pengusaha kayu masyarakat adat papua, mendorong regulasi, agar ada ruang kelola bagi  Masyarakat Adat, Kemitraan Masyarakat Adat Papua dengan Pelaku Usaha Non HPH di Papua, Kami melihat perlu adanya sebuah rumusan baru regulasi berupa Raperdasi tentang Pengelolaan Kehutanan di Papua.(*)

Oleh John NR Gobai.

*Penulis adalah anggota DPR Papua.

PHP Dev Cloud Hosting

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

13 Komentar

  1. Ping-balik: trustbet
  2. Ping-balik: Jaxx Liberty
  3. Ping-balik: you could look here
  4. Ping-balik: live webcams