Memaknai pesan Pendeta Isaak Samuel Kijne

Pendeta Izaak Samuel Kijne ketika mengajar muridnya di Miei, sekitar Tahun 1920-an. – Bumiofinavandu/Dok Pribadi.

Oleh Y. C. Warinussy

TULISAN singkat ini, saya tulis dan sampaikan pemikiran sebagai Warga GKI dan salah satu anggota Komisi Keadilan, Perdamaian dan keutuhan Ciptaan (KPKC) Badan Pekerja Klasis GKI Manokwari.

Bacaan Lainnya

Kedatangan Pendeta Izaak Samuel Kijne di Miei, Teluk Wondama, Tanah Papua, pada tanggal 24 Oktober 1925, atau 96 Tahun yang lalu. Sesungguhnya bagai sebuah harapan semua orang Papua untuk meninggalkan kegelapan dan masuk kepada terang yang diinspirasi oleh ajaran Injil.

Itu terjadi pada tanggal 25 Oktober 1925, saat Pdt.Kijne bertemu dengan beberapa orang tua di kampung Miei dengan maksud hendak membuka sekolah peradaban. Para orang tua itu antara lain, Matirere Jakonias Sanggemi, Tuni Bernaard Karubuy, Kolor Kambumi Miei Sayori, Saweri Ayomi, Abraham Payabai Torey dan Mathinis Sawonggai Ramar.

Pendeta Kijne yang diutus oleh zending ketika itu dari Pulau Mansinam ke Miei di Teluk Wondama untuk membuka sekolah sebagai awal dikoyakkannya tabir kegelapan di Tanah Papua.

Sehingga Kijne datang ke sebuah tempat di kaki bukit Aitumieri dan meletakkan batu-batu berbentuk mimbar di tempat tersebut bersama para tua-tua Maniwak untuk berdoa dan menyerahkan seluruh pekerjaan pelayanan dan misi zendelig di tanah dan negeri ini.

Kemudian pada malam harinya, Kijne pergi dan berdoa di atas mimbar atau Mesbah yang telah disusun itu. Beberapa diantara tua Maniwak seperti Yakonias Sanggemi, Saweri Ayomi, Bernaard Karubuy dan Koko Kambumi Miei Sayori mendengar kata-kata Kijne yang mengatakan;

“Di atas tumpukan batu-batu ini, saya meletakkan peradaban orang Papua, sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi dan marifat, tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini. Bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri”.

Sejak itulah dimulailah proses pendidikan bagi orang-orang Papua dengan didirikannya Sekolah Guru berpola asrama di Miei. Dengan murid-muridnya yang berasal dari seluruh wilayah di Tanah Papua, yang ketika itu bernama Netherland Nieuw Guinea.

Kijne, bukan hanya sebagai seorang hambat Tuhan atau Pendeta tetapi sekaligus menjadi guru dan sekaligus sebagai pemimpin di sekolah guru itu. Dari Miei inilah Injil yang dibawa masuk dan mendarat pada hari Minggu pagi, 5 Februai 1855.

166 Tahun lalu, dipancarkan cahayanya ke seluruh persada Bumi Cenderawasih melalui para tamatan sekolah guru di Miei. Karena mereka kemudian mengajarkan pengetahuan serta Injil itu sendiri kepada bangsanya yaitu orang Papua di Tanah Papua dari pantai, lembah hingga pegunungan yang hingga kini telah berbuah lebat dan bertumbuh bahkan berkembang pesat.

Jadi peran Gereja yang diawali dengan kerja dari zending Belanda hingga berdirinya Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua.

Sesungguhnya telah diawali dengan pembukaan tabir peradaban orang Papua dari budaya kanibal dan pengayau serta bajak laut kepada budaya baru sebagai kaum terdidik yang mampu membangun Tanah airnya sendiri dengan pengetahuan yang dimiliki.

Kini 96 Tahun semenjak Kijne meletakkan peradaban baru orang Papua di Aitumieri, Orang Asli Papua telah maju menjadi pemimpin-pemimpin di Tanahnya sendiri. Diperlukan persatuan dan kesatuan diantara orang Papua sendiri untun bergandengan tangan membangun dan membawa generasi bangsa sendiri menerobos ketertinggalan dan memperoleh kebebasan dalam membangun bangsa dan tanah airnya sendiri secara demokratis dengan mengayomi prinsip-prinsip hak asasi manusia dan penghormatan hukum.

Akhirnya, Selamat merayakan HUT GKI Ke-65 Tahun di Tanah Papua. Tuhan Memberkati! Syalom.

(Penulis adalah warga GKI dan anggota KPKC Badan Pekerja Klasis GKI Manokwari)

PHP Dev Cloud Hosting

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar