Sebuah buku, segelas kopi dan sebentuk asbak kosong tak tertata. Persis saat kebuntuan menggerogotiku. Sebatang rokok belum kubakar. Sedangkan telinga menempel pada suara-suara parau. Dengan bantuan speaker. Dari frekuensi lebih dari 90 megahertz, suara-suara itu memecahkan kebengongan di malam kelam di bulan Oktober 2018.
Malam ini, hari kesepuluh bulan Rosario dalam tradisi Kristiani. Juga bulan bahasa. Hari Kesaktian Pancasila dan hari batik. Ditambah hari tentara dalam kelender nasional.
Butir-Butir Pasir di Laut. Begitu narator menceritakan adegan sandiwara. Ya, judul yang menghantar imajinasi dan ingatan. Tentang nyanyian nenek moyangku seorang pelaut. Juga tak menafikan nyanyian versi lain: nenek moyangku seorang pendaki, pejalan kaki dan pengembara.
Dikisahkan seorang pemuda bernama Kamal, dalam adegan itu. Latarnya suatu sore, di tepi kali dan kampung. Bersama dialek khas Medan, Sumatra Utara.
Kamal bekerja pada salah satu kantor, dan akan dipromosikan menjadi kepala cabang. Tapi ia harus pindah ke Indonesia timur. Tepatnya di Tual, bagian tenggara Maluku.
“Aku tidak tahu itu. Belum pernah Aku keluar negeri,” kata kawan si Kamal.
Sejak beberapa waktu lalu kamal menyendiri di tepi kali. Menikmati sepoi sore-sore.
“Kenapa pulak lah kau ini. Itu di Indonesia,” jawab Kamal.
“Belum pernah kudengar itu di Medan sini, Kamal.”
“Alamak! Itu di Indonesia timur sana.”
“O, ya?”
“Ya, iyalaaah!”
“Dengan bus ya ke sana?”
“Tidaklah. Dengan kapal.”
Demikian dialog singkat dua teteman ini. Tual dalam telinga, dalam suara frekuensi radio. Juga bagiku, Tual tersimpan dalam ingatan.
Tual dulunya ibu kota Maluku Tenggara. Tapi setelah pusat adminitratif dipindahkan ke Langgur, ia menjadi daerah otonom, dan terbentuk pada 10 Juli 2007, sesuai Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual di Maluku.
Kota ini punya lima kecamatan—Pulau Dullah Utara, Pulau Dullah Selatan, Pulau Tayando-Tom, Pulau Kur dan Kecamatan Kur Selatan.
Orang-orang biasa bilang Tual itu Raja Ampat-nya Maluku. Setidaknya terdapat 66 pulau di Kota Tual. Tiga belas di antaranya sudah berpenghuni.
Kawanku pernah bercerita, di sana destinasi wisatanya mantap-mantap. Pantai Panjang dengan tawaran pasir halusnya, bagai tepung. Putih lagi. Juga bisa menikmati senja yang berpendar manja dari balik bahu bukit.
Ada Gua Hawang, Bukit Doa Masbait, pulau Baer, pulau Adranan, air terjun Harangur dan Hoko. Bahkan pemerintah setempat menghelat Festival Pesona Meti Kei tiap Oktober. Dimulai tiga tahun lalu.
Jika dilihat di peta buta, kawasan Kepulauan Kei-Tual memang berada di antara pulau Ambon dan wilayah-wilayah selatan kepala burung, Papua Barat.
Tual berada di sekitar Kepulauan Kei, Tanimbar, laut Banda, Arafuru di Maluku.
Menyebut nama Maluku, ingatanku nun jauh ke awal abad kelima belas. Ketika itu, daerah rempah-rempah ini didatangi bangsa Portugis.
Jejak sauh Portugis meletakkan pengaruhnya pada Timor, Flores dan Maluku, selepas menaklukkan Kerajaan Malaka.
Portugal. Ya, negara asal pesepak bola Cristiano Ronaldo dos Santos Aveiro, Luís Carlos Almeida da Cunha atau dikenal dengan Nani, dan Pepe yang punya nama lengkap Képler Laveran Lima Ferreira.
Maluku, Tual, Tanimbar, Kepualuan Kei, jua buatku terkenang pada nama-nama kawan semasa kuliah di Jayapura. Nama-nama kawan dengan fam berakhiran “n”, seperti Dumatubun, Ohoilulin, Ohoiwutun, Ruban, Rahawarin, Rahawadan, dan Renyaan.
Tiba-tiba telepon selulerku bergetar. Hatiku juga mendebar. Kalau-kalau yang menelepon adalah de Rosari. Dia adalah gadis black sweet dari pulau seberang. Tanimbar tepatnya. Pulau yang punya tradisi tenun ikatnya menyerupai budaya tenunan di tanah air beta.
Tanah air dengan ratusan pulau yang diwakili ibu pulaunya: Flobamora. Membentang dari Selat Sape hingga Atapupu, Rote-Ndao, Sabu hingga Alor.
Demikian ingatan malam bersama radioku. Satu suara berjuta kenangan, kenangan akan si nona manis di jantung Abepura.
Lalu merebut perhatiannya di tengah ketenangan Pantai Pasir II. Sembari memandang lautan Tabi berkarang teguh. Kami menatap ombak yang mengamuk, menghempas karang yang tenang. Basah.
Bila menatap langit biru pengukir relung hati, berdecak dalam nada dan kata tanpa koma, itulah Tual yang muncul dalam ingatan.
Kamal dalam gelombang radio tadi, hanya sebuah drama, yang menghantar ingatanku mengarungi lautan Banda, bersama selendang tanda mata si nona.(*)
Timo RM
12 Komentar