Pixabay.com |
Akar terdalam kebutaan moral terletak pada pandangan tragis tentang sejarah. Konsep sejarah seperti ini menisbikan dan mengosongkan tanggung jawab manusia. Tanggung jawab diganti dengan keyakinan akan perjalanan sejarah yang niscaya.
Pandangan hidup tragis seperti ini dapat dijumpai di banyak kebudayaan, juga di kebudayaan Indian. Namun di Amerika Latin juga terhadap tradisi gerakan sosial yang cukup tua, yang diinspirasi oleh pandangan Kristen dan pandangan budaya asli.
Tradisi gerakan sosial ini mengubah fatalisme pandangan tentang dunia yang tragis menjadi praksis keadilan transformatif.
Dengan merujuk pada distingsi Paul Ricoeur atas pandangan hidup tragis dalam mitologi Yunani dan hermeneutika sejarah yang bersifat dramatis dalam mitos Adam, Dussel mencoba merekonstruksi horison ontologis dan antropologis dari pandangan hidup moral dan tragis-transendental.
Dussel memahami filsafat sebagai rasionalisasi tradisi mistis dan budaya. Dengan konsep filsafat seperti ini, ia memberikan pencerahan kepada sejarah filsafat Eropa, di dalamnya elemen-elemen semitis dan indoeropa telah membangun bermacam-macam sintesa (Enrique Dussel, “Transmodern and Intercultur, hal. 16).
Pencerahan filosofis yang dibangun Dussel membongkar ambiguitas etika yang dikembangkan Plato dan Aristoteles.
Di satu sisi, pertanyaan tentang keadilan dalam polis atau persoalan moral merupakan pusat perhatian filosofis kedua filsuf ini. Namun di sisi lain, pendasaran filosofis atas praksis moral tersebut bermuara pada interpretasi metafisis atas kosmos.
Tafsiran metafisis melahirkan pandangan bahwa tindakan moral bergantung pada pemahaman atas struktur dunia yang statis. Akibatnya, pengetahuan (theoria) mendapat prioritas di hadapan kebebasan kehendak (praksis moral).
Sebuah pandangan yang mengarah kepada absolutisasi eksistensi teoretis atau pengalaman akan yang ilahi.
Menurut Dussel, hubungan antara ontologi-ada-yang abadi dan etika kembali tampil di abad modern.
Dalam sejarah pemikiran Eropa modern, pengetahuan platonis akan keharmonisan kosmos yang statis lahir kembali dalam konsep tentang dialektika hukum-hukum sejarah yang bersisat niscaya seperti dialektika idealistis (Hegel) atau materialistis (Marx).
Kedua paradigma sejarah ini membebaskan manusia dari tanggung jawab moral serta menempatkannya sebagai penonton pasif di hadapan peristiwa sejarah (Enrique Dussel, Red, hal 41).
Benar bahwa modernitas ditandai dengan penekanan pada kebebasan manusia. Namun abad modern tetap melahirkan etos tragis serta gnostis (etos yang mengabsolutkan pengetahuan) yang bersikap apatis terhadap kekejaman ekspansionisme dan hegemoni kolonial Eropa.
Sejarah merealisasikan dirinya secara niscaya melawan keputusan bebas subjek. Sebuah filsafat sejarah yang melegitimasi indiferentisme moral serta bahkan masih mau menemukan “makna kemajuan” di balik puing-puing sejarah pembantaian massal.
Tidak mengherankan jika Wilhelm Friedrich Hegel membangun pembenaran filosofis atas kolonialisme.
Dussel berpandangan, tendensi akan modus eksistensi yang teralienasi dari dunia nyata hanya dapat diatasi jika moralitas secara ketat lahir dari kebebasan dan tanggung jawab pribadi serta hubungan interpersonal dipandang sebagai tujuan praksis hidup dalam dirinya.
Dari perspektif interpretasi filosofis atas tradisi Kristen-Yahudi, yakni cerita eksodus dan kritik sosial para nabi, Dussel mengembangkan aspek-aspek ontologis dan antropologis praksis moral yang berlandaskan respek terhadap yang lain.
Dalam konteks ini gambaran ideal tentang eksistensi para filsuf Yunani yang lebih mengutamakan hidup theoria di luar ruang (polis) hiruk-pikuk bios politikos, dipertentangkan dengan cara berada yang solider.
Cara hidup profetis tidak lari dari kebisingan politik. Ia membiarkan dirinya disentuh, dijamah dan ditantang oleh teriakan kaum miskin dalam perjuangan menggapai keadilan. Tuntutan profetis membuatnya tidak tunduk di hadapan arogansi kekuasaan.
Etika pembebasan tidak bersifat netral. Ia berpihak pada partai tertentu yakni pembebasan kaum miskin serta melegitimasi perjuangan melawan kekuasaan penindasan.
Etika pembebasan juga membongkar kesadaran ideologis yang melindungi status quo yang tidak adil.
Di sinilah letak letupan provokatif etika pembebasan yang tidak hanya menyelisik refleksi filosofis berdasarkan konsistensi teoretis semata, tapi menguji kualitasnya atas dasar kontribusi bagi pengentasan kemiskinan.(Red, de Lomes)
Penulis: Vredigando Engelberto Namsa, OFM, Biarawan Fransiskan Provinsi Fransiskus Duta Damai Papua, tinggal di Papua
8 Komentar