Ilustrasi cincin perkawinan – pixabay.com |
Berbicara tentang persetubuhan (hubungan seks/badan) seringkali dipahami sebagai sesuatu yang tabu, kotor, porno, hot, vulgar, dan dilarang. Namun, berbicara tentang persetubuhan sesungguhnya adalah berbicara tentang bagaimana manusia mengungkapkan cintanya terhadap orang lain. Tepatnya, bagaimana suami mengungkapkan cintanya terhadap istrinya, dan istri mengungkapkan cintanya terhadap suaminya.
Oleh karena itu, persetubuhan merupakan sebuah aktivitas khas yang tidak bisa tidak dilakukan oleh suami istri. Persetubuhan merupakan ungkapan persatuan jiwa-raga dan pemberian diri yang total bagi suami istri.
Melalui persetubuhan, suami istri menjadi “satu daging” (bdk. Kej 2:24). Selain itu, persetubuhan bertujuan untuk melahirkan generasi baru (anak). Di sini, persetubuhan merupakan metode dasar reproduksi manusia.
Dengan demikian, suami istri hendaknya menyadari bahwa persetubuhan yang mereka lakukan adalah pelaksanaan dari perintah Allah, “Beranakcuculah dan bertambah banyak, penuhilah bumi … ” (Kej 1:28).
Dalam konteks inilah, ranjang atau tempat tidur merupakan salah satu hal yang sangat penting. Ranjang tidak hanya menjadi tempat untuk tidur bersama antara suami dan istri, tetapi juga merupakan tempat di mana suami istri saling mengungkapkan cinta dan memberi diri dalam dan melalui aktivitas persetubuhan.
Tulisan ini hendak menggali nilai luhur dari ranjang dalam konteks kehidupan suami istri. Pencaharian tulisan ini adalah apa itu Teologi Ranjang dan apa maknanya bagi suami istri?
Apa itu Teologi Ranjang?
Ranjang merupakan salah satu tempat penting dan khusus dalam kehidupan suami istri. Ranjang tidak hanya menjadi tempat untuk tidur bersama antara suami dan istri, tetapi juga merupakan tempat di mana suami mengungkapkan cintanya terhadap istrinya, dan istri mengungkapkan cintanya terhadap suaminya.
Ungkapan cinta yang paling khas antara suami istri dan terjadi di atas ranjang adalah melalui tindakan persetubuhan. Dengan kata lain, ranjang merupakan ungkapan persatuan jiwa-raga dan pemberian diri yang total bagi suami istri.
Di atas ranjang dan melalui persetubuhan, suami istri menjadi “satu daging” (bdk. Kej 2:24). Di atas ranjang terjadi “dua-tubuh-menjadi-satu” dengan tujuan untuk menciptakan manusia baru (anak).
Dengan kata lain, di atas ranjang selain terjadi “dua-tubuh-menjadi-satu” tetapi juga di atas ranjang sedang terjadi “dua-tubuh-menjadi-tiga”. Karena itu, tatkala berada di atas ranjang, suami istri hendaknya sadar betul bahwa mereka ingin melaksanakan perintah Allah, “Beranak-cucu dan bertambah banyaklah … ” (Kej 1:28).
Jadi, teologi ranjang adalah diskursus teologis tentang ranjang khususnya tatkala suami istri menjadi “satu daging”.
Istilah “Teologi Ranjang” hendak mengatakan bahwa dalam dan melalui aktivitas persetubuhan (di ranjang), suami istri mewujudkan tanda dan sarana keselamatan Allah di dunia ini. Sebab Allah telah memanggil dan mengikat mereka menjadi suami istri.
Makna ranjang bagi suami istri
Pertama, ranjang sebagai tempat penghayatan arti nupsial tubuh manusia (the nuptial meaning of the human body).
Apa yang dimaksudkan dengan arti nupsial tubuh manusia?
Menurut Yohanes Paulus II, arti nupsial tubuh manusia adalah “the body capacity of expressing love, that love in which the person becomes a gift and—by means of this gift—fulfills the meaning of his being and existence” (TOB: 16 Januari 1980).
Dengan kata lain, arti nupsial tubuh manusia memaksudkan sebuah kemampuan untuk mengekspresikan cinta kepada orang lain melalui tubuh. Di sini, tubuh manusia dilihat sebagai sebuah hadiah (gift) yang dipersembahkan kepada orang lain, dan pemberian diri ini membuat manusia mengalami kepenuhan esensi dan eksistensinya.
Dengan arti nupsial tubuh manusia, baik laki-laki, maupun perempuan menyadari bahwa ia dapat mengalami kepenuhan dirinya sebagai pribadi hanya melalui pemberian dirinya kepada yang lain secara total dan tulus. Ia menyadari bahwa panggilannya adalah ada untuk mencinta.
Bagi Yohanes Paulus II, “arti nupsial tubuh merupakan elemen fundamental pengalaman keberadaan manusia dalam dunia ini” (TOB: 16 Januari 1980).
Esensi manusia menjadi lengkap apabila ia ada untuk dan bagi orang lain. Ia mengatakan, “Man does not completely realize this essence. He realizes it only by existing ‘with someone”—and even more deeply and completely—by existing for someone (Manusia tidak sepenuhnya menyadari esensi dirinya. Ia menyadarinya hanya dengan ada ‘dengan seseorang’—dan bahkan lebih dalam dan sepenuhnya — melalui ada untuk seseorang) ” (TOB: 9 Januari 1980).
Pada tataran ini, gagasan Yohanes Paulus II tentang arti nupsial tubuh manusia hendak mengungkapkan bahwa manusia ada di dunia ini karena cinta, dan keberadaannya di dunia ini adalah ada untuk mencintai. Ia sulit membayangkan kehidupan manusia tanpa cinta.
Dalam Ensiklik Redemptor Hominis Yohanes Paulus II mengatakan, “Manusia tidak dapat hidup tanpa cinta. Hidup manusia menjadi tidak bermakna kalau cinta tidak dinyatakan kepadanya. Hidupnya pun tidak akan bermakna kalau ia tidak menjumpai cinta, kalau ia tidak mengalami dan menjadikan cinta itu miliknya” (RH 10).
Pertanyaannya adalah apa artinya ranjang sebagai tempat penghayatan arti nupsial tubuh manusia? Artinya adalah bahwa ranjang merupakan tempat perayaan dan pelaksanaan cinta.
Di atas ranjang, suami istri mengungkapkan dan merayakan saling memberikan diri mereka satu sama lain dalam tindakan persetubuhan.
Persetubuhan yang mereka lakukan merupakan ekspresi atau ungkapan dari cinta antara suami dan istri. Di atas ranjang, suami istri saling memberikan diri dan mau menerima pasangannya apa adanya; suami istri menyadari bahwa tubuhnya adalah hadiah berharga yang dipersembahkan untuk pasangannya.
Di atas ranjang, suami istri menyadari diri bahwa mereka adalah dua eksistensi manusia yang berbeda, namun keberbedaan tersebut diperuntukkan untuk saling melengkapi satu sama lain.
Keberbedaan yang mereka miliki memungkinkan terjadinya persekutuan pribadi-pribadi (communio personarum) dengan memberi diri dan menerima orang lain dalam cinta;
Kedua, ranjang sebagai tempat perayaan sakramental. Sakramen adalah tanda dan sarana kehadiran Allah di dunia ini. Bahwa yang namanya sakramen dalam hidup suami istri itu bukan hanya tatkala mereka menyatakan saling cinta dalam upacara peneguhan nikahnya, tetapi juga tatkala mereka bersatu-padu saling memberi diri di atas ranjang.
Selain itu, ranjang juga merupakan tempat pembaharuan janji perkawinan. Ranjang sebagai tempat pembaharuan janji perkawinan atau pernikahan hendak memaksudkan bahwa di atas ranjang, yaitu melalui aktivitas persetubuhan yang dilakukan oleh suami istri didengung kembali kata-kata janji pernikahan yang telah mereka ikrarkan tatkala mereka berjanji dalam perayaan sakramen perkawinan.
Tatkala suami istri menerima sakramen perkawinan, mereka berjanji untuk sehidup-semati dan saling mencintai selamanya dalam suka dan duka.
Dalam rumusan janji perkawinan dikatakan, “Di hadapan imam/diakon dan para saksi, saya … (nama), menyatakan dengan tulus ikhlas, bahwa … (nama pasangan) yang hadir di sini mulai sekarang ini menjadi istri (atau suami) saya. Saya berjanji setia kepadanya dalam untung dan malang, dan saya mau mencintai dan menghormatinya seumur hidup. Demikianlah janji saya demi Allah dan Injil suci ini”.
Persetubuhan merupakan momen yang mana mereka membaharui bahasa cinta yang mereka ikrarkan dalam janji perkawinan. Bahasa cinta dalam janji perkawinan dihadirkan kembali dan dibaharui setiap kali suami istri berhubungan seksual;
Ketiga, ranjang sebagai tempat suami istri saling membaktikan/memberikan diri. Ranjang sebagai tempat saling membaktikan/memberikan diri antara suami istri hendak mengatakan bahwa di atas ranjang suami istri memberikan tubuhnya satu sama lain kepada pasangannya, dan tubuh yang diberikan itu merupakan hadiah berharga dan terindah untuk pasangannya.
Pemberian diri ini bersifat total, artinya, tubuhnya diberikan seluruhnya kepada pasangannya, bahkan menganggap tubuhnya sendiri bukanlah miliknya tetapi kepunyaan pasangannya.
Rasul Paulus dengan sangat indah mengatakan, “Hendaklah suami memenuhi kewajibannya terhadap istrinya, demikian pula istri terhadap suaminya. Istri tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi suaminya, demikian pula suami tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi istrinya.” (I Kor 7:3-4).
Dalam surat apostolik Familiaris Consortio Yohanes Paulus II mengatakan bahwa satu-satunya “lingkungan” yang memungkinkan penyerahan diri dalam arti yang sepenuhnya itu, ialah pernikahan, yakni perjanjian cinta kasih antara suami istri yang dipilih secara bebas dan sadar (FC 11).
Dan dalam Surat Kepada Keluarga-Keluarga art. 12 Yohanes Paulus II mengatakan:
“Dalam hubungan seksual, suami dan istri dipanggil untuk secara bertanggung jawab meneguhkan pemberian diri timbal balik, yang telah mereka ikrarkan dalam perjanjian perkawinan .… Bagi pasangan suami istri, saat mengadakan hubungan seksual merupakan suatu ungkapan yang sangat khusus dari pemberian diri tadi. Pada saat itulah seorang pria dan seorang wanita dalam keberadaan kepriaan dan kewanitaannya, menjadi suatu pemberian diri timbal balik, yang satu bagi yang lainnya”.
Pemberian diri suami istri mencontohi pemberian diri Yesus Kristus kepada mempelai-Nya, yaitu Gereja. Ia menderita sengsara dan mati di salib karena cinta-Nya yang sangat mendalam akan mempelai-Nya.
Di sini, pemberian diri yang total itu berarti pengorbanan. Dengan demikian, hubungan seksual suami istri merupakan peringatan akan Yesus yang mengorbankan dan menyerahkan diri-Nya di salib.
Pada salib, Yesus telanjang dan memberikan cinta-Nya secara utuh kepada mempelai-Nya (Gereja). Dalam konteks ini, kayu salib adalah seperti ranjang pengantin bagi Kristus dan umat-Nya, karena di atas salib Dia rapuh dan memberikan diri-Nya seutuhnya bagi Gereja.
Yohanes Paulus II melihat bahwa pemberian diri suami istri berlangsung seumur hidup dan memiliki jalinan relasi yang erat dengan sifat tak terceraikannya perkawinan Katolik (indissolubilitas).
Dalam Surat kepada Keluarga-Keluarga art. 11 ia mengatakan, “Pada hakikatnya, pemberian diri seorang pribadi haruslah bersifat tetap dan tidak dapat ditarik kembali. Sifat tak dapat diceraikannya suatu perkawinan, pertama-tama berasal dari hakikat pemberian tersebut: pemberian seorang pribadi kepada pribadi lain.
Pemberian diri yang timbal balik ini mengungkapkan hakikat kasih suami istri. … Bila seorang laki-laki dan seorang wanita saling memberikan diri dan saling menerima dalam persatuan ‘satu daging’, semangat pemberian diri yang tulus akan menjadi bagian dari hidup mereka”.
Keempat, ranjang sebagai tempat suami istri “menciptakan” manusia baru. Ranjang sebagai tempat suami istri menciptakan manusia baru hendak mengatakan bahwa di atas ranjang terjadi “dua-tubuh-menjadi-satu” supaya kemudian “dua-tubuh-menjadi-tiga”.
Artinya, bahwa suami istri menyatu dalam persetubuhan dan kemudian menghasilkan anak. Anak (-anak) dari hasil persetubuhan tersebut meneguhkan cinta dan persatuan suami istri.
Dengan menciptakan manusia baru, suami istri berpartisipasi dalam karya Allah. Dengan kata lain, suami istri menjadi rekan kerja Allah (co-Creator).
Namun, meneruskan keturunan tidak hanya dalam arti kuantitas, tetapi juga dalam arti kualitas dengan mendidiknya secara bertanggung jawab. Oleh karena itu, sangat penting dan mendesak dilakukannya pendidikan terhadap anak (-anak) oleh orangtuanya.
Tugas mendidik anak merupakan kewajiban hakiki dari suami istri. Maka, orangtua merupakan pendidik pertama dan utama bagi anak (-anak).
Konsili Vatikan II dalam Gravissimum Educationis art. 3 mengatakan, “Karena orangtua telah menyalurkan kehidupan kepada anak-anak, maka terikat kewajiban amat berat untuk mendidik mereka. Oleh karena itu, orangtualah yang harus diakui sebagai pendidik mereka yang pertama dan utama.
Begitu pentinglah tugas mendidik itu, sehingga bila diabaikan, sangat sukar pula dapat dilengkapi. Sebab merupakan kewajiban orangtua: menciptakan lingkup keluarga, yang diliputi semangat bakti kepada Allah dan kasih sayang terhadap sesama sedemikian rupa, sehingga menunjang keutuhan pendidikan dan sosial anak-anak mereka. Maka, keluarga itulah lingkungan pendidikan pertama keutamaan-keutamaan sosial, yang dibutuhkan oleh setiap masyarakat”.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa ranjang merupakan tempat perwujudan cinta kasih antara suami istri. Di atas ranjang, mereka mengungkapkan cintanya satu sama lain dalam dan melalui aktivitas persetubuhan.
Di atas ranjang, mereka menghayati arti nupsial tubuhnya, membaharui janji perkawinannya, memberikan dirinya, dan berpartisipasi dalam karya penciptaan Allah untuk menciptakan manusia baru.(Red, de Lomes)
Penulis: RP Rikardus Nsalu SMM, biarawan Montfortan dan misionaris di Papua Nugini
14 Komentar