Sebuah laporan dan refleksi pastoral di Dekenat Kamuu Mapia, Keuskupan Timika, Papua
Pada Desember 2019, kasus pneumonia misterius pertama kali dilaporkan di Wuhan, Provinsi Hubei. Kasus ini belum diketahui pasti tetapi dikaitkan dengan pasar ikan di Wuhan (Cina) karena dari tanggal 18 sampai 29 ditemukan 5 pasien, kemudian berkembang pesat dengan dilaporkan penambahan kasus pada 3 Januari 2020, 44 orang.
Penularan penyakit ini begitu cepat dan terkena dampaknya di hampir semua negara. Untuk pertama kali penyakit ini dinamakan “2019 novel Coronavirus (2019-nCoV)” tetapi oleh WHO dinamakan “Coronavirus Disease 2019 (Covid-19).
Covid-19 pertama kali dilaporkan di Indonesia, 2 Maret 2020 dengan terkonfirmasi positif 2 pasien. Dilaporkan bahwa Indonesia sudah terserang Covid-19, maka pemerintah mulai ambil kebijakan untuk menutup semua akses, termasuk semua rumah peribadatan dan toko-toko, kantor-kantor, pasar-pasar dan sekolah yang berpeluang melibatkan kerumunan.
Maka hal ini juga berdampak sangat serius bagi pelayanan pastoral, karena pelayanan pastoral melibatkan banyak orang dan bersifat kerumunan (komunitas).
Pelayanan pastoral di Paroki Sta. Maria Immaculata Moanemani, Dekenat Kamuu Mapia, Keuskupan Timika mengalami dampak yang sangat serius akibat virus ini.
Dampak tersebut menimbulkan dilema bagi para imam dalam mengambil kebijakan pastoral, umat takut meninggalkan rumah karena keamanan fasilitas tidak terjamin, penolakan terhadap kebijakan pemberlakukan new normal, dan muncul konsep bahwa orang Papua tidak terkena virus corona.
Keempat point tersebut akan diuraikan sebagai berikut:
Dilema para imam dalam mengambil kebijakan pastoral
Pada Maret 2020, Pastor Marthen Kuayo, Pr selaku Administrator Keuskupan Timika mengeluarkan surat edaran kepada seluruh dekenat dan paroki di Keuskupan Timika.
Isi surat edaran tertanggal 4 Maret 2020 yaitu dalam liturgi perayaan hari Minggu tidak diadakan beberapa bagian liturgi, seperti ditiadakan (air berkat, jabat tangan, dan berkat anak), untuk mencegah penularan virus corona.
Kemudian tanggal 22 Maret 2020, Pastor Marthen Kuayo, Pr mengeluarkan lagi surat edaran karena kasus Covid-19 semakin meningkat di seluruh Indonesia. Maka diputuskan dalam surat edaran tersebut untuk menutup peribadatan (misa dan ibadat sabda) pada hari Minggu dan perayaan Paskah.
Kebijakan ini mengikuti instruksi pemerintah sebagai tanggap darurat atas penyebaran virus corona.
Ketika surat edaran ini diterima setiap paroki, maka setiap pastor paroki meneruskan surat edaran tersebut dengan berbagai kebijakan pastoralnya masing-masing.
Tiap paroki memulai sosialisasi virus Corona kepada umatnya. Ada beberapa paroki yang melaksanakan dengan lancar tanpa ada halangan, tetapi ada beberapa paroki yang mendapat tantangan.
Tantangan yang dihadapi, umumnya umat menolak instruksi pemerintah yang telah mengimbau menutup menutup rumah peribadatan.
Mereka tetap bertekad melaksanakan misa hari Minggu dan perayaan Paskah. Karena mereka berpikir “jika tidak sembahyang berarti melawan Tuhan, maka Tuhan marah dan penyakit virus Corona akan datang dan menyerang kita.”
Sedangkan umat lainnya mengatakan, “Tuhan di atas segala-galanya, kita menyembah Tuhan bukan menyembah virus Corona.”
Pendapat dan pemikiran seperti ini membuat para pastor paroki dilematis– mau taat pada pimpinan atau mendengarkan desakan umat, sebab tekanan dari umat kepada para pastor paroki dengan muncul anggapan-anggapan bahwa para pastor takut terhadap virus Corona dan tidak percaya kepada Tuhan.
Hal ini membuat para pastor paroki merasa bingung dan pusing memikirkan cara pandang umat yang keliru terhadap mereka. Para pastor memikirkan tentang keselamatan hidup mereka (umat) tetapi mereka tidak memikirkan itu, sebab mereka hanya mengandalkan iman dan mengabaikan akal budi.
Memang hal ini benar tetapi dalam menghadapi situasi virus corona membutuhkan akan budi yang sehat, dengan mematuhi protokol kesehatan dan pemerintah.
Umat takut meninggalkan rumah karena keamanan fasilitas tidak terjamin
Virus corona tidak hanya berdampak pada masalah kesehatan tetapi juga berdampak pada seluruh sistem kehidupan.
Virus ini dianalogikan seperti “sebuah mobil yang kecelakaan di jalan tol, yang menyebabkan kecelakan beruntun”, artinya virus corona bukan hanya bermasalah pada kesehatan saja tetapi juga beruntun pada seluruh bidang lainnya, salah satunya bidang ekonomi.
Ekonomi berkaitan dengan masalah pangan. Oleh karena itu, setiap manusia didorong untuk berusaha mempertahankan kelangsungan hidupnya dengan usahanya sendiri.
Berkaitan dengan itu, ada keluhan beberapa umat di Paroki Sta. Maria Immaculata Moanemani, bahwa mereka mengalami kecurian pada masa pandemik virus corona ini.
Bukan hanya rumah umat tetapi juga fasilitas pastoran (Paroki Maria Menerima Kabar Gembira Bomomani) mengalami kecurian, misalnya lampu-lampu, profil air, dll.
Tindakan pencurian ini terdorong karena kebutuhan ekonomi, karena orang tidak bekerja, hanya di rumah saja, sedangkan kebutuhan ekonomi merupakan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi setiap hari.
Oleh karena itu, situasi ini juga berdampak pada kehadiran umat pada hari Minggu untuk beribadah karena mereka takut meninggalkan rumah, sebab pencuri merajalela dan mengambil kesempatan pada waktu-waktu seperti itu.
Hal ini seperti sudah dikatakan pada di awal, bahwa virus corona berdampak di seluruh bidang kehidupan.
Boleh dikatakan virus corona menciptakan masalah di atas masalah. Hal ini berpengaruh sangat besar bagi seluruh bidang kehidupan.
Penolakan terhadap kebijakan new normal
Bomomani, Selasa, 2 Juni 2020, seluruh timpas (tim pastoral) mengadakan pertemuan dekenat dengan membahas beberapa agenda, salah satunya adalah pemberlakuan new normal.
Pembahasan ini sepenuhnya dipimpin oleh Dekan Kammu-Mapia, Bapak Hengky Kogou. Isi pembahasan Bapak Dekan (Hengky Kogou) mengatakan:
“Pandemik virus corona tetap ada, seperti hujan yang turun terus-menerus orang tidak tinggal begitu saja, kalau satu dua hari oke, tetapi lebih dari itu orang juga perlu keluar, perlu mencari sesuatu atau makan.
Oleh karena itu, kita tidak diam saja, kita perlu buat sesuatu, yaitu mengenai ibadat dan misa di paroki kita, kita perlu buka pintu gereja dan langkah-langkah apa yang perlu kita lakukan.
Selain itu, juga sudah keluarkan suatu istilah new normal. Untuk itu, saya minta dari para pastor bagaimana solusinya?”
Beberapa sharing dan tanggapan dari para pastor paroki bahwa mereka mengalami dilema, bahkan ada umat yang mengatakan pastor takut virus corona.
Para pastor cukup mendapat tekanan serius dari umat terkait kebijakan yang dikeluarkan administrator keuskupan, tetapi para pastor di Keuskupan Timika, khususnya Dekenat Kamuu-Mapia tetap taat pada pimpinan dan berpegang teguh pada instruksi pemerintah terkait protokol kesehatan.
Dari sharing dan tanggapan dalam pertemuan dekenat tersebut maka diambil kebijakan sebagai berikut :
“Disetujui akan dilakukan new normal tetapi dikembalikan ke setiap paroki untuk melakukan (hal-hal) teknisnya masing-masing dengan melakukan pertemuan dengan para dewan dan pewarta, tetapi perlu dikoordinasi dengan pihak pemerintah untuk mengikuti protokol yang diberlakukan.
New normal bukan suatu kebebasan atau kelonggaran tetapi penuh dengan persyaratan-persyaratan sesuai dengan protokol kesehatan dan pemerintah. Kemudian juga akan keluarkan surat edaran bersama sebagai keputusan bersama.
New normal diberlakukan Minggu 14 Juni 2020, dan teksnisnya dikembalikan ke paroki masing-masing.”
Keputusan dari kebijakan ini, mulai dilaksanakan tiap paroki untuk mengadakan pertemuan dengan para dewannya.
Pada umumnya seluruh paroki di Dekenat-Kamuu Mapia menjalankan itu. Namun dalam praktiknya ketaatan pada protokol kesehatan di beberapa paroki tidak sepenuhnya dibuat, karena umat belum mampu atau siap menerima cara hidup baru ala new normal.
Misalnya di dalam gereja mereka bisa menjaga jarak karena sudah diatur kursi sesuai anjuran protokol kesehatan, tetapi setelah keluar dari gereja mereka berkumpul seperti biasa dan tidak menjaga jarak.
Khusus di Paroki Santa Maria Immaculata Moanemani, pemberlakuan pew normal sudah dilaksanakan meskipun ada beberapa umat yang belum memahami dan takut menerima penerapan protokol kesehatan.
Misalnya ada umat yang mau di-thermoscanner tetapi tidak mau dan langsung pulang ke rumah.
Selain itu, kehadiran umat dalam misa hari Minggu juga tidak seperti biasanya mulai berkurang meskipun sudah diberlakukan misa hari Minggu 3 kali, mengingat untuk mengatur jarak duduk di dalam gereja.
Ada dampak dari new normal dan sikap-sikap yang ditunjukkan umat, bahwa mereka belum siap dan tidak mau new normal diberlakukan.
Muncul konsep bahwa orang Papua tidak terkena (kebal) virus corona
Konsep yang berkembang di kalangan masyarakat bahwa “orang Papua tidak terkena virus corona karena virus corona itu penyakit dari luar. Kami orang Papua, kulit hitam tidak terkena yang terkena adalah orang luar atau orang pendatang.”
Pernyataan-pernyataan ini sebenarnya sangat keliru dan cara berpikir yang salah. Cara berpikir seperti ini adalah cara berpikir etnis yang merasa bahwa mereka adalah etnis yang terkuat dan terbaik.
Konsep ini sebenarnya pula berkembang dari antropologi budaya yang begitu kuat di kalangan masyarakat kecil.
Jika kita melihat sepintas wilayah Papua adalah wilayah yang beraneka ragam budaya yang mempunyai keunikan masing-masing.
Keunikan masing-masing itu memberikan dasar filosofi kepercayaan yang kuat bahwa etnis mereka sangat kuat dan tidak sama dengan kelompok lainya.
Hal ini juga mendorong cara berpikir mereka untuk mengembangkan konsep bahwa orang Papua tidak terkena virus corona karena mereka kuat.
Beberapa catatan mengenai pernyataan di atas, berpengaruh pada cara berpikir mereka tentang hebohnya virus vorona tersebut.
Khusus di Paroki Sta. Maria Immaculata Moanemani sejauh yang teramati dan terpantau ada beberapa umat yang belum memahami virus corona.
Mereka termakan oleh pernyataan yang berkembang di atas, dan membuat mereka tidak taat pada protokol kesehatan.
Mereka merasa tidak ada masalah dan tidak terkena (tertular virus), sehingga apa yang telah diberlakukan dalam misa hari Minggu, ada yang menerima dan mengikuti tetapi ada yang menolak dengan tidak mau datang.
Situasi yang seperti ini memang sulit dan membutuhkan waktu sosialisasi dan pendampingan yang rutin, agar umat perlahan-lahan memahami dan menerima cara hidup baru ini.
Kita tidak tahu kapan virus corona berakhir, tetapi sejauh yang dapat dibuat oleh kebijakan pastoral setempat adalah sosialisasi kepada umat.
Langkah-langkah positif dalam mengembangkan pastoral di tengah pandemik virus corona
Beberapa hal yang perlu dikembangkan dan dipertahankan dalam pengembangan pastoral di masa pandemi virus corona :
Tetap menjalankan protokol kesehatan dalam misa hari Minggu dengan jaga jarak, pakai masker dan cuci tangan
Senantiasa melakukan sosialisasi kepada umat tentang virus corona
Memberikan katekese iman kepada umat agar tidak termakan provokasi dan konsep yang salah tentang virus corona.
Memberikan kesadaran kepada umat agar tetap kerja dari rumah dengan memperhatikan kebutuhan ekonomi.
Beberapa hal ini, kiranya menjadi poin penting yang dapat dikembangkan dalam pelayanan pastoral.
Sumber:
1. Data dari laporan Pertemuan-Pertemuan Dekenat dan Timpas di Dekenat Kamuu-Mapia Keuskupan Timika
2. Living dan pengamatan langsung secara observasi.
3. Refleksi pastoral dengan pendekatan antropologi budaya
Penulis: Matius Yerikho, OFM, mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur Abepura, Papua.
Tulisan ini sebelumnya diterbitkan oleh Lomes.Id
11 Komentar