Dunia Pers Dalam Puja Pujian dan Caci Makian

Oleh : Kasra Scorpi 

Saat itu, penumpang seisi kapal nabi Nuh begitu bagalau (gelisah) dan mengalami kerusuhan hati karena sudah lama terombang-ambing dalam banjir besar dan mereka tidak mengetahui kapan air akan surut. 
Lalu nabi Nuh mengutus seekor burung dara melakukan pemantauan/liputan untuk mengetahui kondisi banjir. Burung darapun terbang berkeliling dan melihat ranting kayu pohon zaitun menyumbul di permukaan air, dipatuknya, lalu dibawanya kepada nabi Nuh. 
Nuhpun dengan memegang ranting zaitun itu mengabarkan kepada “publik” dalam kapal bahwa air telah surut, pohon zaitun telah kelihatan kembali, sehingga penumpang mulai bergembira dengan wajah cerah. Berita ini memberi harapan! 
Cerita banjir Nuh tersebut dianggap sebagai embrio penerbitan pers di muka bumi ini, dengan kantor berita kapal itu sendiri, pimred nabi Nuh, wartawan pencari berita burung dara dan sumber beritanya ranting zaitun. 
Lalu pada zaman kejayaan Romawi dibawah pimpinan Julius Caesar muncul media tulis berupa “acta diurna” berupa pengumuman pemerintah yang ditempel pada “forum romanum” di pusat kota. Penulis acta diurna disebut diurna. Kata diurna kemudian menjelma jadi jurnalis atau wartawan. Pada masa itu pers baru sebatas corong pemerintah! 
Pada masa berikutnya muncul mesin cetak dan badan-badan penerbitan media massa yang disebut dengan pers(Belanda), press(Inggris), press artinya cetak atau tekan. 
Di Indonesia pers berkembang pada awal abad ke-20. Ketika itu pers sangat berperan dalam membangkitkan semangat nasionalisme bagi anak bangsa untuk melawan penguasa. 
Dan tokoh-tokoh pejuang pada masa itu kebanyakan merupakan penulis-penulis dan wartawan handal di media massa, seperti Ki Hajar Dewantara yang menggemparkan pemerintah Hindia Belanda dengan tulisan berjudul “Andaikan Aku Seorang Belanda” yang menyindir pemerintah penjajah tidak bermoral. Tulisan itu dimuat dalam surat kabar De Expres, 13 Juli 1913. Pers melawan penguasa! 
Begitupun pada zaman berikutnya, pers tampil sebagai sarana perjuangan rakyat, walaupun pada suatu ketika mengalami dekadensi idealisme akibat kontrol pemerintah yang ketat. 
Secara kefungsian pers tampil sebagai media informasi, edukasi, inspeksi/sosial kontrol, rekreasi, dan sekarang telah memasuki dunia industri. 
Dalam kefungsian sebagai media informasi, pers mampu memperpendek jarak dan memperkecil bumi, dimana peristiwa yang terjadi berbagai belahan bumi dengan cepat diberitakan pers kepada masyarakat di pelosok dunia. Seperti berita Donald Trumph yang didemo warga kulit hitam karena dituding rasis dengan sekejap sampai kepada masyarakat di pedalaman Afrika Selatan. 
Sebagai pendidik masyarakat, pers menyiarkan berita-berita bersifat pengetahuan, teknologi, dakwah, untuk menambah wawasan pembaca/pemirsa. 
Sebagai fungsi inspeksi, pers tak luput dari berita-berita kritik maupun saran kepada penguasa maupun pihak lain agar kinerja mereka berjalan pada rel kebenaran. 
Dan yang tak kalah penting pers memberi hiburan sehingga dapat menimbulkan suasana rilek bagi masyarakat. 
Sekarang pers semakin jauh melangkah ke dunia industri/bisnis dan aspek komersial lainya, sehingga menjadi ladang ekonomi yang dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak. 
Karena begitu besarnya peranan pers, tidak mengherankan jika pers mendapat puja pujian. 
Tidak tanggung-tanggung, Mark Twin seorang penulis dan wartawan kawakan memuji pers dengan kata-kata, “hanya ada dua hal yang dapat membuat sesuatu terang benderang di muka bumi, pertama matahari di langit dan kedua pers di permukaan bumi”. 
Sang singa daratan Eropa, jendral “kancil”, Napoleon Bonaparte mengakui kehebatan pers dengan pernyataan, bahwa dia lebih takut kepada pena wartawan dari pada moncong meriam para serdadu. Luar biasa memang! 
Di negara demokrasi masyarakatnya menempatkan kebebasan pers sebagai syarat mutlak. “No democrate without free pers”, tidak ada demokrasi tanpa kebebasan pers. Pers merupakan kekuatan ke-4(the fourth estate) atau majlis ke-4(the fourth assembly), setelah legislatif, eksekutif, yudicatif. Peranya cukup menentukan di segmen politik, dalam pemilihan umum. 
Juga di Indonesia, kebebasan pers merupakan tuntunan masyarakat dan sejak era reformasi kebebasanya makin meluas, tanpa adanya bereidel seperti era sebelumnya. 
Sejak itu pers semakin hebat, namun dibalik kehebatan itu kebebasan pers yang berlebihan menimbulkan kecemasan, karena pers dapat menjadi “the black art journalism”, seni hitam para jurnalis, eperti yang pernah dikhawatirkan novelis Rudyard Kipling. 
Memang tidak salah juga kekhawatiran itu! Karena dalam keseharian sering kita mendengar kiritikan-kritikan dan caci-makian terhadap tukang kritik itu(pers), karena adanya pers yang menyebar berita bohong, berita fitnah, memprovokasi, memutarbalikan fakta, pengedar pornografi. 
Seiring dengan itu, muncul kata-kata berkonotasi negatif terhadap insan pers, semisal wartawan bodrek, wartawan tanpa surat kabar(wts), wartawan muntaber(muncul tanpa berita), wartawan pemeras, wartawan amplop, wartawan buzer bupati, dan sebagai-sebagainypa. 
Hal itu menyebabkan adanya wartawan yang dipersekusi oleh masyarakat dan ditangsikan akibat perbuatan kriminal. Prihatin juga kita! 
Di era reformasi ini, sekali lagi harus dikui bahwa kebebasan pers jauh lebih baik dari pada masa sebelum-sebelumnya, namun kebebasan itu juga menyeret pers ke degradasi idealisme. Disadari atau tidak media sering terjebak oleh kelompok kepentingan tertentu dengan melepas kenetralan dalam pemberitaan. Independensinya melemah, beritanya kerap kali menjadi barang dagangan pesanan kelompok tertentu. 
Masih akibat kebebasan yang meluas, orang semakin mudah mendirikan lembaga pers, sehingga media massa bertumbuhan bagaikan cendawan di musim hujan. Tak terkecuali media massa partisan yang tumbuh dimusim perhelatan politik. 
Melihat kenyataan yang dialami demikian, pers bagaikan pisau bermata dua, yang satu sisi dapat digunkan untuk kebaikan dan satu sisi lagi rentan digunakan untuk keburukan. Meminjam istilah budayawan Emha Ainun Najib, pisau dapat digunakan untuk mengupas mangga tetapi juga dapat digunakan untuk membunuh tetangga. Kemana pisau pers akan digunakan? 
Untuk itu, insan pers perlu merenung, melakukan introspeksi dan oto kritik, jangan hanya terpesona dengan kegiatan ekstrospeksi, yang hanya mengkritik orang lain. 
Dan lagi, insan pers adalah warga negara suatu bangsa yang memiliki hak dan kewajiban terhadap kemajuan dan survival bangsanya. 
Menghadapi kebebasan pers yang semakin bebas dan bablas, masyarakat harus diingatkan agar memfilter atau menyaring berita-berita yang bertebaran dimana-mana supaya tidak termakan hoax dan provokasi yang menyesatkan. 
Karena kenyataanya, hitam putih pers tetap saja menjadi sarapan menarik sehari-hari bagi banyak orang. 
Seperti halnya seorang berlagak kiay yang menonton tayangan goyang erotis penyanyi dankdut, sembari menghujat, mengumpat, menyebut haram jadah, memetik ayat kitab suci dan hadis segala, namun kepala dan kakinya tetap bergoyang-goyang pertanda menikmati. 
Begitupun saat menerima berita hoax dan menghasut dari media, beritanya dinikmti, diacungi jempol, disorak soraikan di akun media sosial milik sendiri.(https://dmagek.id)

Penulis adalah Pemimpin Redaksi dMagek.ID

PHP Dev Cloud Hosting

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

194 Komentar

  1. Ping-balik: heat press carousel
  2. Ping-balik: trustbet