Administrator Keuskupan Agung Merauke, Mgr. Petrus Canisius Mandagi, MSC foto bersama para imam dan umat dengan latar patung Yesus ketika memperingati ulang tahun masuknya misi MSC di Merauke, 2019 lalu – Foto/Getrudis |
Sekitar satu abad lalu, kira-kira dalam kurun waktu tahun 1913-1925, di Merauke muncul wabah penyakit yang sangat ganas. Wabah penyakit yang menular itu “menghantam” sebagian besar Tanah Anim, mulai dari kampung-kampung di pesisir pantai, sampai kampung-kampung sepanjang sungai di daerah pedalaman. Tidak pandang bulu, penyakit ini menyerang siapa saja, perempuan maupun laki-laki, tua maupun muda, kecil maupun besar dan saling menular.
Kematian menyusul kematian pun tak terhindarkan dan hampir setiap hari ada saja yang meninggal. Di kampung Borem/Bokem misalnya, dalam beberapa hari saja sudah ada sebelas orang yang dikuburkan akibat kebrutalan penyakit ini.
Melihat peristiwa yang mengerikan ini, Missi Katolik melalui kongregasi Misionaris Hati Kudus Yesus (MSC), yang pada waktu itu sedang menjalankan karya misinya di Tana Malind tidak tinggal diam. Misi melihat bahwa “pembunuhan massal” yang dilakukan oleh penyakit ini telah menjadikan suku Malind berada dalam bayang-bayang kepunahan, maka harus segera dilakukan tindakan penyelamatan dan pencegahan. Berbagai cara dan upaya pun mulai dilakukan oleh pihak Misi untuk mencegah penyebaran penyakit ini.
Awalnya Pastor John van de Kooy, MSC (Pater Kooy) melakukan pengobatan apa adanya di “rumah sakit” darurat yang dibuatnya. Tindakan pengobatan yang dilakukan Pater Kooy ternyata tidak begitu membuahkan hasil yang baik karena jenis obat yang diberikan tidak sesuai dengan penyakit yang diderita para pasien.
Hal ini tentu dapat dimaklumi karena sampai dengan saat itu penyakit mematikan ini belum diketahui dengan pasti jenisnya, sehingga persediaan obat pun tidak sesuai.
Ketidakberhasilan pengobatan awal ini semakin diperparah lagi dengan para pasien yang “kabur”/melarikan diri pada saat masa pengobatan sedang dilakukan. Untungnya, Pater Kooy dan Missi tidak patah semangat dan tetap mencari cara lain untuk bisa mencegah “pembunuhan massal” ini meskipun diliputi kebingungan. Korban terus berjatuhan dan semakin hari semakin banyak yang meninggal. Misi yang merasa bertanggung jawab penuh atas situasi di Tanah Anim tersebut mulai semakin bingung dan panik.
Setelah mempelajari pola penyebaran penyakit ini, Misi kemudian menilai bahwa penyakit ini merupakan penyakit kelamin yang menular melalui hubungan seks bebas dan juga praktik-praktik ritual adat “tertentu” yang kerap kali dilakukan oleh penduduk Malind.
Pater Vertenten dikenal sebagai seorang pelukis andal, dialah yang pertama melukis orang Malind asli, “Ha Anim”. Karya-karya agung berupa lukisan tersebut banyak dijumpai di buku-buku antropologi yang khusus membahas tentang suku bangsa Malind, baik dalam bahasa Belanda, Inggris, maupun bahasa Indonesia.
Pater Petrus Vertenten, MSC, sang pelukis “Ha-Anim” itu, kemudian memunculkan ide dan gagasan cemerlang untuk memecahkan kebingungan dan kepanikan Misi akan ancaman kepunahan penduduk di Pantai Selatan ini.
Idenya adalah “memisahkan penduduk yang sudah berstatus pasien dan yang masih sehat guna mencegah terjadinya penularan penyakit ini”. Caranya dengan membangun suatu unit permukiman baru yang diperuntukan khusus untuk menampung penduduk yang masih sehat.
Oleh Pater Vertenten sendiri, konsep ini dinamakan konsep “Kampung Teladan”. Konsep ini kemudian diterima dan mulai “dieksekusi” dan Misi menyerahkan tugas mulia ini di bawah komando Pater Vertenten.
Rumah-rumah di Kampung Teladan mulai dibangun menggunakan kayu yang diambil dari tepian Kali Maro (Saya belum begitu tahu persis dimana letak Kampung Teladan, tapi menurut perkiraan saya di dekat muara Kali Maro, mungkin di daerah RS sekarang atau di Gudang Arang).
Peraturan pun dibuat, untuk menjadi penghuni Kampung Teladan, calon penghuni tidak hanya harus sehat, tapi juga harus dapat memenuhi syarat lainnya. Calon penghuni harus mampu menanggalkan segala atribut dan perhiasan adat dan wajib menggunakan/menerima pakaian biasa selama menjadi penghuni.
Oleh para pasien syarat ini dinilai konyol dan memalukan, karena bagi mereka dengan menanggalkan pakaian adat dan menggantikannya dengan pakaian biasa, mereka bukan lagi Ha-Anim atau manusia sejati, melainkan “Puanim” atau pendatang, yang bukan lagi suku bangsa Malind.
Tapi apa mau dikata, demi menyelamatkan manusia Malind, Pater Vertenten tidak mau kompromi dengan hal itu, dia tetap konsisten dengan syarat yang dibuatnya, yang menjadi penghuni tetap wajib menanggalkan pakaian, atribut dan perhiasan adatnya, titik. Mau tidak mau para pasien tetap mengikuti peraturan tersebut, meskipun ada beberapa yang menolak dan memilih untuk “kabur”.
Syarat lainnya lagi adalah calon penghuni yang telah berstatus keluarga (suami, istri, anak) wajib menempati satu rumah tersendiri di dalam Kampung Teladan dan suami tidak diperkenankan untuk “keluyuran” keluar rumah tanpa sepengetahuan istri.
Oleh Pater, istri-istri diberi tugas khusus, yaitu, menjaga suami masing-masing untuk tidak berkeliaran di sekitar kampung, apalagi untuk keluar ke kampung asal. Para suami terpaksa “tapaku” dan “tahan kelas” dalam rumah saja.
Sementara para penduduk yang berstatus pasien dan berada di kampung-kampung tetap diberikan pelayanan kesehatan berupa pengobatan ala kadarnya oleh beberapa Misionaris yang dikomandoi Pater Kooy.
Selain melakukan pengobatan di rumahnya, Pater Kooy kadang menyambangi kampung-kampung untuk mencari pasien. Tapi karena terbatasnya akses, tenaga dan peralatan medis, maka pelayanan hanya dilakukan pada wilayah di pesisir pantai dekat Merauke dan beberapa wilayah di pedalaman yang masih dapat dijangkau.
Konsep Kampung Teladan yang mulai dirintis sekitar tahun 1915 dan berjalan bertahap sampai dengan tahun 1917 ini dinilai sangat berhasil karena mampu menekan laju penyebaran penyakit ini.
Pada tahun tersebut jumlah penghuni kampung teladan sebanyak 20 keluarga dan pada tahun berikutnya telah mencapai sekitar 100 keluarga. Dalam buku hariannya, Pater Vertenten menulis:
“Kemarin sudah 20 sekarang sudah bertambah menjadi 100. Syukur bagiMu Tuhan, terima kasih Hati Kudus Yesus, Terima Kasih Bunda Maria”.
Pater Vertenten kemudian menulis lagi: “Tidak ada keselamatan di luar kampung teladan”.
Rupanya Pater Vertenten “menjiplak” ungkapan sekaligus doktrin Gereja Katolik sebelum Konsili Vatikan II (konsili ini digelar 1962-1965), yakni, “Extra Ecclesiam Nulla Salus” atau di luar gereja tidak ada keselamatan.
Kampung Teladan terus dibangun dan dikembangkan karena jumlah penghuni yang terus mengalami peningkatan. Banyak kayu yang dibutuhkan. Para bruder (7 kedukaan) bersama para pemuda biasanya menebang pohon di Sarapuh dan Tanjung Matandi, kadang-kadang turun sampai di daerah Kondap dan Kuprik.
Mereka hanya menggunakan kapak untuk menebang dan sebuah rakit untuk mengangkut. Mereka biasanya jalan subuh, karena harus mengikuti arus air naik, kemudian kembali sore atau menjelang malam, mengikuti arus air turun (Itulah arus Kali Maro, mau coba lawan berarti bisa hanyut ikut arus dan itu berbahaya. Apalagi de pu arus air turun, salah-salah bisa tampias sampe di muara sana).
Ketika di Kampung Teladan sedang dilakukan perluasan pembangunan, muncul lagi satu masalah baru, yaitu meletusnya Perang Dunia (PD) I di Eropa. Meletusnya PD ini ternyata sangat berdampak langsung pada situasi di Merauke, terlebih khusus lagi bagi kelangsungan kehidupan di Kampung Teladan.
Para Misionaris (tenaga) baru tidak bisa datang, sumber derma dan dana tak ada lagi, bahan makanan tidak datang, ditambah lagi dengan beberapa tenaga yang terpaksa dipindahkan. Akhirnya Pater Vertenten tinggal sendirian untuk mengurus Kampung Teladan.
Beras sudah tidak mencukupi lagi untuk dapat menghidupi umat sekampung. Sagu menjadi pilihan utama sebagai bahan makanan, tapi pada waktu itu belum ditemukan metode untuk melestarikan sagu agar bisa bertahan lebih lama. Jadi, sekali pangkur, sekali makan dan habis. Besok lagi pangkur makan dan habis dan berlangsung terus-menerus.
Banyak hewan peliharaan/ternak juga yang mati karena tidak mendapatkan cukup makanan. Beberapa Misionaris kemudian mulai dirundung kegalauan dan putus asa. Mereka sudah mulai berpikir untuk pulang, karena bagi mereka sudah tak ada harapan lagi di Tanah Malind.
Tidak sampai di situ, pada saat yang bersamaan, sekitar tahun 1918 muncul lagi wabah baru. Sumber-sumber di Merauke menilai bahwa wabah penyakit yang membunuh orang Malind itu dibawa pihak Belanda (Misi) dan bukan karena kebiasaan adat orang Malind.
Patung Yesus di Merauke – Foto/Gerudis |
Setelah penulis menelisik lagi, ternyata yang dimaksud itu adalah flu spanyol, sedangkan penyakit seksual menular itu memang akibat dari perilaku adat oleh masyarakat Malind dan tidak kaitannya dengan Belanda (Misi).
Flu Spanyol tidak kalah mematikan. Tahun itu, 1918, rupanya menjadi tahun hitam bagi karya misi di Tanah Anim.
PENYAKIT INI PUN MULAI MELANDA MERAUKE. HAMPIR SETIAP HARI DAPAT DITEMUI DI JALAN-JALAN ORANG MENGANTARKAN JENAZAH KE KUBURAN, SEPEREMPAT PENDUDUK DI SETIAP KAMPUNG MENINGGAL AKIBAT PENYAKIT BARU INI. SEMUA PENGHUNI KAMPUNG TELADAN MELARIKAN DIRI TANPA BEKAS.
Pater Vertenten berkata: “inilah pukulan maut”. Pater Nollen menyambung: “Inilah kesudahannya, habis perkara. Lebih baik kita berangkat pulang”. Jawab Vertenten, “Walau seperempat mati, tiga perempat masih hidup. Sakit atau sehat pantang mundur.”
Sekitar tahun 1919 pimpinan kongregasi MSC di Langgur, Kepulauan Kei meminta Pater Vertenten untuk sementara waktu istirahat di Langgur, karena sudah “kerja” lebih dari delapan tahun tanpa listirahat.
Pater Vertenten kemudian menggunakan waktu istirahat tersebut dengan menuliskan beberapa tulisan terkait pengalamannya di Merauke. Salah satu tulisannya yang termasyur berjudul “Irian Selatan Mati Habis”.
Tulisan tersebut dikirimkan ke Jawa dan diterbitkan oleh Java-Post dan beberapa surat kabar lainnya. Tulisan tersebut ternyata memberikan kejutan bagi pemerintah pusat di Batavia.
Irian Selatan menjadi menjadi topik perbincangan, tidak hanya di Batavia melainkan sampai ke negeri Belanda dan dibahas dalam suatu sidang parlemen. Menteri yang membidangi masalah tersebut diminta untuk memberikan keterangan tentang situasi dan kondisi di Merauke dan bagaimana rencana Missi menyelamatkan suku bangsa Malind.
Menteri meminta bantuan kepada gubernur untuk meminta keterangan kepada Missi bagaimana kondisi terkini dan rencana misi ke depan. Setelah Misi memberikan keterangannya, tidak lagi terdengar kabar dari pemerintah, baik yang ada di Batavia maupun yang ada di Belanda. Semuanya bungkam, kira-kira satu tahun lamanya. Sementara kematian demi kematian berjalan terus di Merauke. Orang Malind semakin habis.
Melihat ini Pater Vertenten yang sudah kembali ke Merauke kemudian menulis lagi, kali ini cukup “keras” tulisannya. Judul tulisannya “Arah Etis Politik Luar Negeri Belanda ialah Sang Pembunuh Irian Selatan”.
Tulisan itu kemudian diterbitkan di Jawa dan juga di Negeri Belanda , tapi nihil tanggapan. Pemerintah bahkan tidak merespons sama sekali hampir setahun lamanya. Akhirnya pada awal 1920 barulah adanya tanggapan dari pemerintah, melalui suatu surat dari Dinas Kesehatan yang ditujukan kepada Prefek Apostolik MSC di Langgur.
Dalam surat tersebut pihak dinas kesehatan mengapresiasi gagasan Misi perihal “Kampung Teladan” dan meminta bantuan program dari Misi, karena pemerintah telah bersedia untuk membantu demi menyelamatkan Pantai Selatan dari ancaman kepunahan. Surat tersebut kemudian diteruskan kepada Vertenten di Merauke.
Dengan hati gembira, dia pun mulai menyusun program sesuai dengan permintaan pemerintah. Programnya sebagai berikut:
Kampung Teladan harus didirikan di Merauke, Kumbe, Okaba dan Wambi harus dilengkapi dengan fasilitas sekolah dengan wajib belajar bagi anak-anak;
Rumah-rumah pemuda (inisiasi) harus dihilangkan;
Orang sakit dilarang tinggal di Kampung Teladan;
Segera pemerintah mendatangkan dokter yang ahli
Untuk menunjang program tersebut, pater meminta pemerintah untuk dapat memberikan subsidi finansial. Pemerintah pun setuju dengan program pater dan bersedia memberikan subsidi selama kurun waktu 5 tahun. Seorang dokter pun dikirim langsung dari pusat, dokter Cnopius, seorang ahli penyakit kelamin.
Akhirnya dengan berjalannya waktu, dengan perawatan yang intensif, orang sakit pun semakin berkurang, baik yang diakibatkan oleh penyakit kelamin maupun flu spanyol.
Kematian demi kematian pun lenyap seketika. Akhirnya suku bangsa Malind dapat terselamatkan. Atas keberhasilan ini, Pater Vertenten kemudian diundang ke Batavia untuk memberikan ceramah dan membagikan pengalamannya.
Sekitar tahun 1926 Pastor Petrus Vertenten, mendapat perintah untuk ditugaskan di tempat tugas yang baru, di Afrika. Dari Irian pindah ke Afrika. Sebagai seorang imam (pastor) yang telah “berkaul kekal”; telah mengikrarkan tiga kaul—kaul ketaatan, kemiskinan dan kemurnian—perintah tersebut tetap harus dan wajib dilaksanakan.
Akhirnya, tahun 1926 Pater Vertenten meninggalkan Tanah Anim menuju Tanah Afrika. Oleh orang Malind, Pater Vertenten dijuluki sebagai Pastor Penyelamat Kaya-Kaya. Kaya dalam bahasa Malind berarti kawan atau teman.
Keuskupan Agung Merauke mengabadikan nama Vertenten pada sebuah gedung serba guna yang merupakan bekas gereja Katedral Merauke Pertama. Gedung Vertenten Sai, sedangkan konsep Kampung Teladan Vertenten kemungkinan dijadikan konsep pencegahan AIDS di Merauke oleh pihak Yasanto.
Semoga Pemda juga sudah mulai berpikir tentang bagaimana membuat satu monumen Pastor Vertenten sebagai suatu simbol atas kemuliaan karya dan jasanya bagi suku bangsa Malind diatas tanah leluhurnya.
Tulisan ini dipersembahkan untuk Kota Merauke, Tanah Hati Kudus Yesus yang genap berusia 117 tahun pada 12 Februari 2019. Dirgahayu Merauke, terima kasih atas cinta kasihmu sepanjang hidup. Tetaplah menjadi pengantar matahari ke penjuru Nusantara. Semoga Tuhan, Para Leluhur, Hati Kudus Yesus dan Santa Perawan Maria memberkati, menyertai, melindungi dan merahmati Tanah leluhur Malind dan segala makhluk yang hidup di dalamnya. Izakod Bekai, izakod Kai (Satu Hati, Satu Tujuan).(de Lomes)
Penulis : Marselino Yomkondo, Pemuda Merauke di Kota Jayapura
17 Komentar