Istri Boleh Melawan Suami, Ini Alasan Teologisnya


Oleh : Pdt. DR. Mesakh A. P Dethan, MTh., MA.


Banyak perempuan bersuami yang menderita dalam pernikahannya, namun mampu menyembunyikannya dari dunia luar, sehingga nampak kehidupann rumah tangganya baik-baik saja.

Hinaan, kata-kata kasar, bahkan sampai kepada kekerasan fisik banyak kali dialami oleh para istri, tetapi karena saking cintanya pada suami atau takut ditinggalkan suami maka mereka hanya memendamnya dan menerima itu sebagai “nasib” yang harus dipikul. Mereka lebih memilih memendam perasaan dan “rela berkorban” demi “keutuhan” rumah tangganya.

Apakah benar atas nama cinta dan pengorbanan seorang istri harus rela menerima nasib dan menderita karena perlakuan suaminya atau pasangannnya.

Banyak istri yang mengatasnamakan cinta dan pengorbanan hanya bersikap pasrah dengan keadaan dan melakukan hal-hal yang tidak masuk akal, termasuk mentolerir perilaku buruk suaminya hanya demi menjaga agar suaminya tidak meninggalkannya dan menuruti semua kemauannya.

Padahal dalam sebuah kehidupan berumah tangga baik istri maupun suami sama-sama diberi kesempatan untuk belajar membangun sebuah rumah tangga di atas dasar konsep cinta dan pengorbanan yang benar, bukan konsep cinta dan pengorbanan yang semu alias palsu, dimana yang satu menderita dan yang lain menikmati penderitaan; dimana yang satu terus menerus berkorban perasaan dan yang lain menari-nari di atas penderitaan orang lain.

Rumah tangga adalah sarana terbaik baik seorang istri untuk menjadi “penolong” dan mentor yang baik bagi suaminya atau sebaliknya suami terhadap istrinya. Penolong dan mentor dalam hal apa?

Penolong dan mentor dalam hal mengikis semua sifat, sikap dan perbuatan buruk dan egois dari suami. Si suami bisa saja berasal dari orang tua yang amat memanjakannya, dan selalu mentolerir sifat jeleknya sehingga ia menjadi orang yang egois, hanya mau menang sendiri.

Untuk itulah dibutuhkan keberanian dari sang istri, dengan kekuatan cinta yang dimilikinya ia bisa memakainya untuk mengembalikan suaminya kepada jalan yang benar, Hal ini bisa juga berlaku sebaliknya istrilah yang yang mungkin bersikap egois dan hanya mau menang sendiri, maka suamilah yang berperan membangun dan mengarahkan kepada hal yang positif.

Istri hendaknya berani berkata tidak untuk semua sifat jelek yang ditunjukkan suaminya. Istri mestinya berani bersuara ketika suaminya hanya berteman dengan teman-temannya yang hanya membawa aura negatif dan pengaruh buruk bagi karakter suaminya.

Bukannya diam demi menyenangkan suaminya. Atau sebaliknya istri berani berkata tidak ketika suami melarang istrinya untuk kegiatan-kegitan yang positif misalnya aktif di gereja, mengikuti koor atau paduan suara perempuan gerejawi dan lain sebagainya. Istri memiliki kebebasan untuk menjadi dirinya sendiri, apalagi kegiatan-kegiatan itu sifatnya kerohanian, sehingga mengapa harus dikekang oleh sang suami?

Jadi janganlah istri mengalah dan tunduk hanya demi menuruti dan menyenangkan keinginan suaminya. Ini namanya mengembangkan cinta yang tidak sehat atau membina rumah tangga yang sakit.

Jadi istri boleh melawan suaminya dan tidak tunduk kepada suaminya sepangjang suaminya menunjukan sifat dan perilaku yang tidak mendukung untuk pengembangan konsep rumah tangga yang benar dan sehat yang didasarkan kepada cinta kasih sejati.

Dalam bacaan alkitab Efesus 5:21-24 memang disebutkan bahwa istri hendaknya tunduk kepada suaminya. Namun ketundukan itu tidak dalam relasi kuasa, relasi atas bawahan, relasi tuan dan hamba, tetapi ketundukan itu didasarkan kepada relasi dengan Yesus Kristus. Yesus menjadi model dimana baik suami maupun istri untuk membangun relasi yang benar dalam rumah tangga mereka.

“22 Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, 23 karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. 24 Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu.”

Jadi ukuran ketundukan ada pada Kristus sebagai model atau patron bagi mahligai rumah tangga suami dan istri. Karena dalam teks Efesus 5:21-24 Rasul Paulus sebetulnya membuat sebuah perbandingan antara pola hidup Kristus, yang kepadanya jemaat tunduk dan pola hidup para suami, yang kepadanya istri harus tunduk.

Perbandingan itu dinampakan dalam relasi Kristus dan Gereja yang menjadi cerminan bagi relasi suami dan istri. Seumpama Kristus adalah mempelai laki-laki bagi Gereja dan Kepala Gereja, maka suami juga adalah mempelai laki-laki dan kepala bagi istrinya.

Jikalau Kristus telah berkorban dan menebus Gereja dari kuasa kematian, maka suami juga harus berkorban dan mati-matian untuk mencintai istrinya.

Sebagaimana Kristus berkorban dan bertindak menunjukkan kasih dalam bentuknya yang nyata, demikian juga juga suami juga tidak hanya manis dalam ucapan saja tetapi buruk dalam tindakan, tetapi benar-benar mampu menunjukkan dalam perbuatan nyata.

Jadi intinya teks itu mau mengatakan bahwa tindakan kasih dan pengorbanan Kristus itu hendaklah menjadi cerminan bagi relasi suami dan istri. Jika suami dipandang sebagai kepala, pengertian kepala dalam arti seorang kepala yang mengasihi istrinya seperti dirinya sendiri.

Perlambangan ini berakar dalam Perjanjian Lama, yang kerap berkata tentang Israel sebagai isteri Yahwe, Hos 1:2; Yes 1:21-26; Yer 2:2; 3:1,6-12; 23; Yes 50:1; 54:6-7.

Suami mendapat rekpek, rasa hormat dan sikap tunduk sang istri sama seperti Kristus yang mendapat rasa hormat dan sikap tunduk jemaat. Mengapa Jemaat tunduk kepada Kristus, karena Kristus mengasihi Jemaatnya, ia menyelamatkan mereka dengan darahnya sebagai ketaatannya kepada kehendak Bapa Pencipta.

Semua tindakanNya Yesus dimengerti sebagai pemenuhan terhadap kehendak Tuhan (Mat. 3:15) yang senantiasa menjadi cerminan kehidupan jemaat dalam segala aspek, termasuk dalam relasi suami istri. Dalam ketaatan pada Bapa Yesus telah menuntaskan karya keselamatan bagi Jemaatnya atau umatnya.

Pola inilah yang mendorong mengapa Istri tunduk kepada suami, karena suami juga mengasihi istrinya (Ef 5:25) dan suami berbuat kebaikan bagi istrinya. Kristus mengasih jemaat sama seperti suami mengasihi istrinya.

Kristus berkorban bagi jemaat, demikian juga suami berkorban bagi istrinya. Kristus menyerahkan nyawanya demi jemaat, demikian suami mempertaruhkan segalanya bagi istrinya. Lautan api diseberangi dan jurang maut dilangkahi demi istrinya. Wao romantis, hahah.

Inilah makna sesungguhnya dari teks ini bahwa istri tunduk dalam hubungan dengan pengertian jemaat yang tunduk kepada Kristus, yang melandaskan seluruh karyanya pada kehendak Bapa di Sorga.

Dalam terang itu seluruh sikap etis seorang istri mendapatkan tempatnya yang tepat. Istri tunduk karena ada alasan yang sangat mendasar. Karena istri telah mendapat kasih dan kebaikan dari suaminya, maka istri juga membalasnya dengan sejumlah kewajibannya kepada suami yang dikasihinya dengan berbuat kasih (Tit 2:4), menunjukan sikap hormat (ayat Ef 5:33; 1Pet 3:1-2), memberi bantuannya atau menjadi penolong bagi suaminya (Kej 2:18), menjaga kesucian (Tit 2:5; 1Pet 3:2), menunjukkan kelemah lembutan dan ketenangan (1Pet 3:4), dan menjadi seorang ibu yang baik (Tit 2:4) dan pengatur rumah tangga yang baik (1Tim 2:15; 5:14; Tit 2:5)

Artikel ini telah tayang di pos-kupang.com dengan judul Renungan Kristen Protestan,Senin,11 November 2019 : Istri Boleh Melawan Suami,Ini Alasan Teologisnya, https://kupang.tribunnews.com/2019/11/11/renungan-kristen-protestansenin11-november-2019-istri-boleh-melawan-suamiini-alasan-teologisnya?page=3.
Editor: Rosalina Woso

PHP Dev Cloud Hosting

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

5 Komentar

  1. Ping-balik: pgroyalbet
  2. Ping-balik: live nude women