Mungkinkah manusia itu mendefinisikan Tuhan

Oleh. Abdy Busthan 

Berpikir tentang Tuhan, memikirkan Tuhan, dan Tuhan itu sendiri, adalah tiga hal yang berbeda. Ketiga hal ini selalu menjadi multispekulatif dan multiperspektif, tatkala entitas Tuhan mulai diperbincangkan.
Ketika seorang ‘berpikir tentang Tuhan’, maka orang tersebut sedang menggunakan akal budinya untuk mempertimbangkan ‘objek’ Tuhan dalam pikirannya. Sementara ‘memikirkan Tuhan’, lebih kepada upaya untuk menyimpulkan objek Tuhan yang dipertimbangkan melalui akal budi tadi. Sedangkan “Tuhan” sendiri, merupakan objek yang dimasukkan untuk kepentingan dalam “berpikir” serta dalam “memikirkan” tadi. 
Sehingga, dapat dipahami bahwa Tuhan yang dipikirkan manusia, dengan cara ia memikirkannya, tidak akan sama dengan Tuhan itu sendiri (Busthan Abdy, 2018:21). Dalam karya filsafat yang sangat populer, berjudul “Elements of Philosophy” (2004), Profesor Louis Kattsoff menulis.. “ketika Perang Dunia ke-II berkecamuk, ada suatu ungkapan populer yang berbunyi bahwa, di dalam lubang-lubang perlindungan, tidak ada penganut untuk kaum ateisme”.. 
Makna yang dikandung dari ungkapan diatas, kiranya menyebutkan bahwa apabila seseorang terjebak dalam situasi yang membahayakan jiwanya, tentu ia akan mengakui adanya Tuhan. Dalam keadaan seperti inilah, maka orang-orang mulai merasakan betapa pentingnya Tuhan. Dan sebagai konsekuensinya, orang itu harus mengakui adanya Tuhan. 
Nah, pada titik ini, seperti apa yang sudah diungkapkan Kattsoff di atas, Tuhan tidak dimaknai sebagaimana adanya, tetapi Dia hanya merupakan suatu entitas yang dipercayai hanya sebatas “pemenuhan kebutuhan” seseorang saja. 
Dimana ketika seseorang membutuhkan perlindungan dari bahaya yang mengancam jiwanya, maka disitulah Tuhan dihadirkan. Jika tidak, Tuhan itu tidak dihadirkan. Apa yang diungkapkan Kattsoff diatas cukuplah sederhana. Namun sesungguhnya, hal itu dapatlah digunakan sebagai petunjuk penting, bahwa dewasa ini masalah-masalah keagamaan, kian lama, kian menarik perhatian. 
Kebanyakan orang di didik untuk mempercayai pertanyaan-pertanyaan keagamaan tertentu yang bersifat hakiki. Apabila ada orang yang bertanya: “Percayakah Anda kepada Tuhan?”, maka kemungkinan besar orang akan menjawab “iya, saya percaya”. Namun, apabila selanjutnya ditanyakan lagi: “Mengapa Anda bisa mempercayai Tuhan?”, maka tentunya akan lebih sukar memberikan jawaban pasti, sebab pertanyaan ini menuntut bahan-bahan bukti. 
Agama dan Tuhan dalam berbagai literatur dunia, baik dulu maupun sekarang, banyak sekali pemikiran dan pembahasan mengenai Tuhan. Ada sekian banyak analisis-analisis hebat, dan tentunya kita pun menghargainya. Tetapi berpikir saja, membicarakan saja, belumlah tentu tercakup di dalamnya unsur percaya kepada-Nya. 
“Bukan setiap orang yang berseru ‘Tuhan’, ‘Tuhan’, akan masuk ke dalam Kerajaan Surga, melainkan yang melakukan kehendak Bapa-Ku”, demikian Yesus Orang Nazaret itu pernah mengatakannya. Dalam perkembangan peradaban manusia, kita juga sering menemui berbagai persepsi tentang Tuhan. 
Tetapi persepsi-persepsi itu tidak dapat diidentikkan dengan Tuhan itu sendiri. Maka kesalahpahaman sering muncul, andaikata pada satu saat persepsi mengenai Tuhan berubah, maka kita menyangka Tuhan sendirilah yang berubah. 
Lalu tampillah orang-orang yang mengklaim dirinya sebagai “Pembela Tuhan”. Memikirkan Tuhan adalah kita menaruh kepercayaan kepada-Nya. Dalam tradisi teologi Kristen, hal ini disebut iman. Iman adalah menggantungkan diri kepada yang dipercayai itu. Nasib kita tergantung pada Yang Dipercayai itu. Hal itu sudah pasti sangat jelas dalam agama, yang selama ini dianggap sebagai “tempat” Tuhan dalam menyatakan Diri-Nya. 
Tentu saja, harus sangat diwaspadai kecenderungan yang selalu mengindentikkan “agama” dengan “Tuhan”. Jadi, percaya kepada agama identik dengan percaya kepada Tuhan. Padahal, sebagaimana dikatakan Aloysius Pieres, teolog dari Sri Lanka, bahwa agama itu selalu bersifat ambivalen: membebaskan dan memperbudak sekaligus. 
Alhasil, ketika kita mengidentikkan agama dengan entitas Tuhan ini, maka sesungguhnya kita sudah merendahkan derajat Tuhan yang hakekat-Nya jauh melampaui agama-agama. Mengidentikkan agama dengan Tuhan (hal ini sampai sekarang masih terus dilakukan!), selalu dapat menimbulkan sikap “kediktatoran” yang jauh lebih kejam, sebagaimana telah kita lihat di dalam sejarah umat manusia.
Merumuskan Tuhan? Adapun tentang Tuhan sendiri, tentulah tidak mudah kita merumuskannya. Siapakah Dia sesungguhnya? Adalah pertanyaan dasar yang terus-menerus diajukan umat manusia. Adakah Ia seorang Pribadi yang bisa bercakap-cakap dengan manusia, ataukah Ia seorang yang jauh di atas sana, yang singgasana-Nya terdiri dari cahaya yang gilang-gemilang sehingga sulit dijangkau manusia? Ataukah Tuhan hanyalah sekadar prinsip yang memang mesti ada agar makhluk yang bernama manusia itu dijamin keberadaannya dan tidak sesat jalan, dan kalau sesat akan diberi hukuman? Imanuel Kant misalnya berbicara tentang postulat di sini. 
Kita memang tidak bisa mengatakan Tuhan ada atau tidak ada, kata Kant, sebab untuk mengatakan ini, Ia harus tunduk kepada struktur-struktur berpikir yang dikondisikan oleh ruang dan waktu. Dalam kaitan ini, saya teringat sebuah buku yang ditulis oleh Pendeta Hendrikse di Negeri Belanda, Ik Geloof in God die Niet Bestaat (2012) [Aku percaya kepada Allah yang tidak ada]. 
Judulnya menarik bukan? Dan sekaligus juga kontroversial, sebab yang menulisnya adalah seorang pendeta yang masih aktif. Tetapi itulah salah satu cara diantara cara-cara lainnya yang dipunyai manusia untuk “merumuskan” siapa Tuhan itu. Karen Armstrong, seorang perempuan pemikir dan mantan biarawati tetapi kemudian menjadi Guru Besar Ilmu Teologi Agama, menulis buku yang berjudul Sejarah Tuhan [aslinya: The History of God]. Buku ini menarik. Tetapi pertanyaan segera muncul, apakah Tuhan mempunyai sejarah? Ya, jika Tuhan itu mempunyai sejarah, maka sebenarnya kita terlampau memberi bobot yang sangat berat kepada ilmu sejarah, sebab “mampu” menempatkan Tuhan di bawah kategori-kategori ilmu sejarah. 
Ternyata buku itu memang tidak berbicara tentang sejarah Tuhan, tetapi tentang sejarah agama-agama, atau mungkin lebih baik, sejarah persepsi tentang Tuhan di sepanjang peradaban manusia. Paul Tillich, teolog dan filsuf Amerika keturunan Jerman pernah berada dalam ketegangan yang tidak terselesaikan antara yang disebut pemikiran “khairotik” (dari kata Kairos) dan “kesekarangan yang kekal” (eternal now). 
Menurut A.S.L Woudenberg, dalam bukunya “Kairos en het Eeuwige Nu” (1993), yaitu suatu penelitian tentang relasi antara kemasakinian dengan kemasadepanan dalam teologi Paul Tillich tentang sejarah, memang ada kesadaran sejarah padanya yang dasarnya terletak pada “The Unconditioned”. Tetapi kesadaran tentang sejarah itu ketika dikaitkan dengan kesekarangan kekal yang juga merupakan pandangan Tillich ini, lalu tidak terselesaikan. 
Saya kira kita biarkan saja persoalan ini terbuka. Saya kembali kepada soal sejarah Tuhan. Saya kira sangat jelas Tuhan melampaui sejarah. Ia tidak mungkin ditundukkan ke bawah hukum-hukum dan kategori-kategori sejarah. Namun demikian, Dia secara sukarela masuk kedalam sejarah bersama manusia seperti kenyataan ini: “Firman itu telah menjadi daging dan berkemah di antara kita” (Yohanes 1:14). 
Itulah rahasia Inkarnasi yang tidak terselami, namun merupakan anugerah yang tidak ternilai bagi manusia berdosa ini. 
PHP Dev Cloud Hosting

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

191 Komentar

  1. Hi there! This is my first visit to your blog! We are a group of
    volunteers and starting a new project in a community in the same niche.

    Your blog provided us valuable information to work on. You have done a wonderful job!

  2. Link pyramid, tier 1, tier 2, tier 3
    Primary – 500 references with inclusion within compositions on article domains

    Tier 2 – 3000 URL +Redirect connections

    Level 3 – 20000 connections combination, feedback, entries

    Implementing a link structure is beneficial for web crawlers.

    Require:

    One link to the platform.

    Search Terms.

    Correct when 1 key phrase from the page heading.

    Note the extra feature!

    Essential! First-level references do not conflict with Secondary and 3rd-rank links

    A link pyramid is a tool for boosting the circulation and link profile of a internet domain or online community