HANYA DIA YANG TERSALIB YANG DAPAT MENOLONG

Oleh: Pdt. Dr. Andreas Anangguru Yewangoe


HANYA DIA YANG TERSALIB YANG DAPAT MENOLONG“. Tentu saja ucapan yang terdengar paradoksal ini berasal dari Dietrich Bonhoeffer, seorang teolog dan pendeta yang digantung oleh Hitler menjelang berakhirnya Perang Dunia II di tahun 1945. Pertanyaan yang secara spontan menyeruak adalah, bagaimana mungkin Ia menolong sementara Ia sendiri tidak mampu menolong Dirinya sendiri? Tetapi memang begitu yang dikatakan sebagaimana terekam dalam buku (tepatnya kumpulan surat-surat) yang ditulis dari penjara berjudul: Widerstand Und Ergebung.
Untuk dapat memahami ucapan ini kita harus menelaah sikap gereja-gereja di Jerman di era fasisme Hitler dengan partai Nazinya. Dalam kebangkrutan ekonomi pada waktu itu, Hitler yang merebut kekuasaan karena tingginya golput dalam pemilu pada waktu itu membutuhkan Lebensraum, artinya ruang yang lebih luas untuk hidup. Maka ia menginvasi Polandia. Belanda diduduki dalam perang singkat. Alhasil, seluruh Eropa terlibat dalam peperangan besar yang belakangan dilabeli sebagai, Perang Dunia II. Kaum Yahudi ditengarai sebagai penyebab kebangkrutan ekonomi. Maka mereka harus dikurung dalam ghetto untuk pada akhirnya dikirim ke kamp-kamp konsentrasi. Auschwitz telah menjadi ikon tidak terlupakan betapa ganasnya manusia membinasakan manusia lainnya. Enam juta orang Yahudi mati sebagai korban dalam dapur-dapur pembakaran yang mengerikan ini. Bangsa Jerman menganggap dirinya Aria yang unggul, Deutschland über alles.

Lalu diajukanlah pertanyaan yang terus bergaung secara abadi: Di manakah gereja? Jauh lebih dalam lagi, di manakah Allah? Tentu kita mengharapkan jawaban positip tentang gereja yaitu suara kenabian akan diserukan. Allah akan membela yang lemah. Dan seterusnya. Ternyata tidak. Gereja memihak dan mengidentikkan diri dengan kepongahan ras Jerman. Die deutsche Christen, orang Kristen Jerman dengan bangga muncul di mana-mana di seluruh Jerman. Kekristenan identik dengan keariaan Jerman. Itu berarti absennya sikap kritis kepada penguasa. Dan Allah? Allah seakan-akan membisu dan berdiam diri.

Dalam keadaan seperti ini tampillah kelompok kecil orang Kristen yang kritis terhadap penguasa yang kejam ini. Mereka dikenal sebagai Die bekennende Kirche (Gereja Yang Mengaku). Kelompok kecil sekali melawan arus besar yang mendewa-dewakan Hitler dan memberhalakan Allah. Mereka menerbitkan “Barmen Declaration” yang menohok Sang Penguasa. Sudah tentu mereka mempertaruhkan nyawa mereka sendiri. Salah seorangnya adalah Dietrich Bonhoeffer.

Apa yang melatarbelakangi pemikiran Bonhoeffer sebagaimana dikutip di atas? Ia melihat bahwa Allah yang dianut bangsa Jerman waktu itu adalah Allah Yang Aristokrat. Allah yang haus akan korban-korban, yang tidak segan-segan membalas dendam. Allah yang seperti ini tidak akan peduli dengan nasib dunia. Justru Allah seperti ini digandrungi manusia sehingga tidak segan-segan memberhalakannya. Martin Luther di abad ke-16 pernah berbicara tentang Theologia Gloriae dan Theologia Crucis yang saling berhadapan satu sama lain. Gereja di era itu lebih suka menonjolkan kemuliaan ketimbang kehinaan di dalam Dia yang tersalib. Gereja lebih sering tampil sebagai yang dilayani ketimbang melayani. Itulah alasannya mengapa gereja lebih mudah menjadi gereja yang aristokrat ketimbang sebagai gereja yang tersalib. Tersalib berarti penderitaan. Itu kehinaan. Sikap dan perilaku aristokrat inilah yang terefleksi dalam kehidupan gereja menghadapi kekuasaan Hitler. Allah aristokrat seperti ini tidak akan mau menolong.

Saya kira jelas mengapa Dietrich Bonhoeffer menyerukan kembali, “Hanya Dia Yang Tersaliblah Yang Mampu Menolong”. Elie Wiesel, satu dari sekian juta orang yang luput dari dapur pembakaran Hitler dalam novelnya berjudul “Nacht” (Malam) sementara menyaksikan eksekusi terhadap seorang anak yang sudah kurus kering dihukum gantung mendengar “bisikan”, Dimanakah Allah? Sejenak kemudian ia mendengar bisikan yang sama: “Itu Allah sedang tergantung di tiang gantungan”.

Itulah SALIB. Yang oleh dunia tidak difahami. Bahkan diejek dan dicemooh. Tetapi justru dari sanalah mengalir enerji yang menguatkan dan menghidupkan. Mengapa? KARENA DIA SENDIRILAH YANG TERGANTUNG DI SALIB ITU. BUKAN JIN KAFIR ATAU BERHALA. Andai Salib merupakan akhir, maka akan berakhir pula Umat-Nya. Sejarah membuktikan bahwa tidak demikian. Umat Tuhan tetap eksis bahkan tersebar ke seluruh dunia.

Bonhoeffer menegaskan: “Those who have found God in the cross of Jesus Christ know how wonderfully God hides Himself in this world and how He is closet precisely when we believe Him to be most distant”. [Mereka yang telah menemukan Allah di salib Yesus tahu betapa mengherankannya Allah menyembunyikan Dirinya di dalam dunia ini dan betapa Ia begitu dekat justru ketika kita yakin bahwa Ia begitu jauh dari kita].

Itulah SALIB yang disalahfahami. Justru ia (salib itu) adalah tanda kedekatan Allah dengan kita. Namun Dia Yang Tersalib itu bukanlah pemaksa kepada siapapun untuk menerima enerji kehidupan dari-Nya. Ia ramah dan lembut. Saya kutip lagi Bonhoeffer: “Yesus sendiri tidak mencoba untuk menobatkan dua pencuri di salib; Dia menunggu sampai salah seorang dari mereka menoleh pada-Nya”. Itulah SALIB. Maka siapapun anda, entahkah pernah menghujat Salib atau bersikap tidak peduli, Yesus akan menunggu sampai anda menoleh pada-Nya. Ia akan tersenyum ketika anda menoleh dan enerji kehidupan akan mengalir dari-Nya untuk anda

PHP Dev Cloud Hosting

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

14 Komentar

  1. Ping-balik: myastropink
  2. Ping-balik: mooie blote borsten
  3. Ping-balik: check my site
  4. Ping-balik: ks quik
  5. Ping-balik: dee88
  6. Ping-balik: sa gaming
  7. Ping-balik: exhaustare
  8. Ping-balik: F1 shakes