Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk karena terdiri 1.340 suku dan 17.504 pulau. Hal ini mengantarkan Indonesia menjadi negara yang homogen, multikultur, dan multietnis. Perbedaan adat, budaya, agama, ras, serta suku, menjadi suatu keistimewaan yang patut kita banggakan
Namun, dibalik indahnya kemajemukan ini, ada pula kekhawatiran yang sebenarnya telah melanda bangsa ini. Bayangkan saja, dengan jumlah suku yang begitu banyak, apakah yang akan terjadi jika masing–masing diantara kita terus mempertahankan adat, budaya, agama, serta ras kita masing-masing tanpa mau memperdulikan perbedaan dengan sesama? Lalu kita pun mempersalahkan kemajemukan dalam menjalani kehidupan bernegara ini? Tentu kekacauan akan terjadi di mana-mana, serta menimbulkan ancaman terhadap kedaulatan negara. Dalam kondisi seperti ini, kita dituntut memiliki sikap “nasionalisme”, yaitu sikap yang bisa menciptakan dan mempertahankan kedaulatan negara, agar perbedaan sekalipun tak akan mampu menyurutkan rasa persatuan dan kesatuan yang selama ini dibagun oleh pendahulu kita. Nasionalisme harus tumbuh di tengah masyarakat yang hidup dalam suatu wilayah—Indonesia—saat pola pikirnya mulai merosot, yakni dengan lebih mengedepankan adat, budaya agama, serta ras dalam kemajemukan.
Beranjak dari pemahaman ini, dalam konteks merosotnya paham nasionalis akhir–akhir ini, kita patut melihat kembali dasar negara Pancasila dengan tujuan pandangan hidup sebagai jalan terbaik dalam mengatasi merosotnya nasionalisme yang terjadi akibat munculnya persoalan-persoalan intoleran yang kini sedang kita hadapi bersama. persoalan intoleran yang mengganggu kedaulatan negara akhir–akhir ini sangat meresahkan masyarakat dalam wilayah NKRI. Mengapa terjadinya persoalan intoleran? Karena ada pihak yang surut akan toleransi, mengklaim kebenaran mutlak atas agama, ras, dan sukunya. Klaim itu jika terapkan dalam kehidupan bernegara—Indonesia—tentunya tidak patut mendapatkan posisi yang layak karena negara ini diawali dari kemajemukan yang telah dipersatukan oleh pendahulu kita.
Seperti diketahui bersama, akibat dari persoalan intoleran, telah mempertemukan kita pada banyak perdebatan, mulai dari tokoh agama, tokoh masyarakat, para politisi, akademisi, sampai pada para petani, nelayan, dan buruh. Perdebatan ini terjadi karena timbulnya keresahan akan ancaman kedaulatan negara. Setiap kalangan baik si miskin atau yang kaya, memimpikan kehidupan yang aman dan nyaman. Oleh sebab itu, wajar saja jika terjadi perdebatan pada setiap kalangan yang resah karena persoalan intoleran yang memang menganggu kedaulatan negara.
Sebenarnya intoleran bukan persoalan agama. Tetapi merupakan persoalan individu dalam memaknai keyakinan yang dianutnya sesuai dengan pemahaman yang dimiliki. Jika pemahaman individu ala kadarnya, maka dalam memaknai keyakinan yang dianutnya juga ala kadarnya.
Dengan kata lain, agama tidak menciptakan individu yang intoleran, tetapi individu menjadikan agama sebagai tameng dalam perilaku intoleran. Perbedaan perspektif inilah yang menimbulkan perpecahan bukan saja antara penganut agama yang berbeda tapi juga dalam penganut agama yang sama.
Harus diakui bahwa sikap nasionalisme pada akhir-akhir ini mulai menurun akibat fanatisme pemeluk agama. Masyarakat yang plural akan menjalankan kehidupannya berdasarkan pemahamannya, sehingga kita mengalami kesulitan untuk memaksakan kehendak atas penanaman sikap nasionalisme terhadap individu.
Lantas bagaimana cara mengatasi kemajemukan sehingga terhindar dari sikap intoleran? Seperti yang digambarkan sebelumnya (pada paragraf pertama), Pancasila sebagai jalan terbaik dalam mengatasi merosotnya nasionalisme yang terjadi akibat munculnya persoalan-persoalan intoleran yang kini sedang kita dihadapi bersama. pemahaman ini, dalam konteks merosotnya paham nasionalis akhir–akhir ini, kita patut melihat kembali dasar negara Pancasila dengan tujuan pandangan hidup sebagai jalan terbaik dalam mengatasi merosotnya nasionalisme yang terjadi akibat munculnya persoalan-persoalan intoleran yang kini sedang kita hadapi bersama.
Persoalan-persoalan intoleran yang mengganggu kedaulatan negara akhir–akhir ini sangat meresahkan masyarakat dalam wilayah NKRI. Mengapa terjadinya persoalan intoleran? Karena ada pihak yang surut akan toleransi, mengklaim kebenaran mutlak atas agama, ras, dan sukunya. Klaim itu jika terapkan dalam kehidupan bernegara—Indonesia—tentunya tidak patut mendapatkan posisi yang layak karena negara ini diawali dari kemajemukan yang telah dipersatukan oleh pendahulu kita.
Seperti yang diketahui bersama, akibat dari persoalan intoleran, telah mempertemukan kita pada banyak perdebatan, mulai dari tokoh agama, tokoh masyarakat, para politisi, akademisi, sampai pada para petani, nelayan, dan buruh. Perdebatan ini terjadi karena timbulnya keresahan akan ancaman kedaulatan negara. Setiap kalangan baik si miskin atau yang kaya, memimpikan kehidupan yang aman dan nyaman. Oleh sebab itu, wajar saja jika terjadi perdebatan pada setiap kalangan yang resah karena persoalan intoleran yang memang menganggu kedaulatan negara.
Sebenarnya intoleran bukan persoalan agama. Tetapi merupakan persoalan individu dalam memaknai keyakinan yang dianutnya sesuai dengan pemahaman yang dimiliki. Jika pemahaman individu ala kadarnya, maka dalam memaknai keyakinan yang dianutnya juga ala kadarnya.
Dengan kata lain, agama tidak menciptakan individu yang intoleran, tetapi individu menjadikan agama sebagai tameng dalam perilaku intoleran. Perbedaan perspektif inilah yang menimbulkan perpecahan bukan saja antara penganut agama yang berbeda tapi juga dalam penganut agama yang sama. Harus diakui bahwa sikap nasionalisme pada akhir-akhir ini mulai menurun akibat fanatisme pemeluk agama. Masyarakat yang plural akan menjalankan kehidupannya berdasarkan pemahamannya, sehingga kita mengalami kesulitan untuk memaksakan kehendak atas penanaman sikap nasionalisme terhadap individu. Pancasila lahir dari norma-norma sosial yang sejak lama tumbuh dalam kemajemukan bangsa, sehingga Pancasila harus selalu menjadi pegangan bersama saat terjadi krisis nasional dan ancaman terhadap eksistensi bangsa kita.
Lantas bagaimana cara mengatasi kemajemukan sehingga terhindar dari sikap intoleran? Seperti yang digambarkan sebelumnya (pada paragraf pertama), Pancasila sebagai jalan terbaik dalam mengatasi merosotnya nasionalisme yang terjadi akibat munculnya persoalan-persoalan intoleran yang kini sedang kita dihadapi bersama. Kenapa harus Pancasila? Karena Pancasila sudah merupakan pandangan hidup yang berakar kuat dalam kepribadian bangsa kita—Indonesia. Pancasila telah diterima sebagai dasar negara yang mengatur hidup ketatanegaraan. Hal ini tampak dalam sejarah bahwa, meskipun dituangkan dalam rumusan yang agak berbeda, namun dalam UUD yang pernah kita miliki yaitu dalam pembukaan UUD 1945, dalam Mukadimah UUD Sementara Republik Indonesia 1950, Pancasila tetap tercantum didalamnya, Pancasila lalu dikukuhkan dalam kehidupan konstitusional. Selain itu, Pancasila sebagai dasar negara Indonesia, juga mampu meretas kemajemukan. Katakan saja agama, dalam penjabaran sila pertama pada Pancasila yaitu percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, hormat dan menghormati serta bekerjasama antara pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup, maka jelas dalam penjabaran sila pertama mengatur tentang solusi atas perbedaan keyakinan agama tersebut.
Seyogyanya, kita tetap menjalankan kehidupan beragama sesuai dengan keyakinan yang kita miliki, tetapi tetap pula menjaga kerukunan antar umat beragama dengan cara menghadirkan sikap nasionalisme dan toleransi dalam kehidupan bernegara, karena sikap nasionalisme merupakan wujud nyata dari penjabaran sila pertama pada Pancasila. Sikap nasionalisme dan toleransi akan menghadirkan kenyamanan pada setiap pemeluk agama yang berbeda. Jika sebaliknya, kita menjalani kehidupan beragama tanpa mentolerir pemeluk agama lain, maka perbedaan agama menjadi alasan yang paling seksi terhadap sikap intoleran yang merujuk pada ganguan kedaulatan negara (DK)
3 Komentar