Oleh: Pdt. Dr. Andreas Anangguru Yewangoe
Apa sih salib itu? Tidak lain dari dua batang kayu yang disilangkan. Di era kekaisaran Romawi dulu dua potongan kayu bersilang yang disebut salib itu lazimnya dipakai sebagai sarana hukuman bagi penjahat kelas berat. Biasanya mereka yang dituduh melawan negara atau yang dicurigai sebagai pemberontak. Karena itu penguasa Romawi menerapkan hukuman ini hanya bagi penduduk jajahan yang bukan warga negara. Bagi orang Romawi sendiri dikenakan hukuman pancung. Sebagai demikian, peristiwa penghukuman kepada si terhukum salib adalah hal yang biasa saja. Memang bagi si terhukum sendiri hukuman macam ini merupakan penghinaan luar biasa. Begitu terhinanya sehingga bahkan di dalam kitab Torah kita temukan kalimat ini: “Terkutuklah dia yang tergantung pada salib.” Artinya dia tidak diterima baik oleh Allah maupun oleh bumi.
Ketika Yesus dihukum salib karena tuduhan berlapis, politik dan agamani, dengan segera kita faham bahwa itulah penghinaan dan kehinaan luar biasa. Karena itu banyak orang berkeyakinan bahwa Ia sedang dikutuk Allah. Maka pemberitaan tentang salib memang tidak difahami oleh dunia, baik orang Yahudi maupun orang Yunani. Mereka mencemooh pemberitaan macam itu sebagaimana kita ketahui dari surat-surat Paulus. Namun Paulus menegaskan bahwa cemoohan dari yang tidak percaya akan menuju kepada kebinasaan, sedangkan bagi yang percaya kepada keselamatan.
Kita tidak tahu persis sejak kapan para pengikut Yesus memakai simbol salib. Simbol kekristenan tertua yang dikenal dalam abad-abad pertama adalah ikan. Dalam bahasa Yunani ikan disebut ICHTHUS. Ternyata ini adalah akronim dari Iesous Christos, Theou Uios, Soter yang artinya, Yesus Kristus Anak Allah Juruselamat. Jadi kalau seseorang bertemu dengan seorang lainnya dan ingin mengetahui apakah dia seorang Kristen cukuplah dia menggambar ikan di lantai. Kalau yang bersangkutan juga menggambar ikan, maka jelaslah dia seorang Kristen. Namun demikian, pemakaian salib sebagai simbol sudah berabad-abad juga.
Dalam perjalanan sejarah kekristenan salib memang mengalami ambivalensi pemahaman. Salib pernah menjadi simbol keagungan paĺsu bahkan kepongahan. Kita teringat akan perang-perang salib di abad-abad pertengahan. Begitu juga seperti yang terjadi di Amerika Latin di era penaklukan oleh bangsa-bangsa Spanyol dan Portugis. Salib yang pongah itu tidak jarang menimbulkan salib-salib baru, artinya penderitaan bagi bangsa-bangsa asli di benua itu. Tetapi pada sebelah lain, salib juga adalah simbol kerendahan hati dan pelayanan. Orang mengidentikkan diri dengan pelayanan tanpa pamrih yang dilakoni Yesus bahkan hingga wafat di kayu salib. Itulah alasannya mengapa dalam berbagai lembaga pelayanan Kristen tanda salib selalu ditempatkan. Itu bukanlah upaya untuk menjebak seseorang yang sedang menderita agar menjadi Kristen. Ada makna terdalam dari penempatan salib sebagai kesediaan tanpa pamrih untuk melayani sesama tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, dan etnis. Demikianlah kita lihat bahwa salib yang semula dimaknai negatip telah memperoleh pemaknaan baru bagi pengabdian dan pelayanan tanpa pamrih itu.
Adanya “kehebohan” dalam hari-hari terakhir ini tentang diviralkannya ceramah Ustadz UAS tentu kita sesalkan. Sang Ustadz sendiri telah mengklarifikasi bahwa peristiwa itu terjadi di dalam ruang tertutup. Itu juga sudah berlangsung tiga tahun lalu. Dia, katanya tidak bermaksud merusak hubungan-hubungan yang ada. Karena itu yang dituntut adalah yang mengedarkannya. Mungkin penjelasan ini memadai. Saya sebagai pribadi tidak merasa perlu untuk menuntut yang bersangkutan dan/atau mengadukannya kepada yang berwajib. Iman Kristen tidak akan runtuh hanya karena sebuah ceramah. Iman Kristen sudah teruji selama berabad-abad. Tokh tidak runtuh. Ini disebabkan bukan karena kefasihan dan kepandaian serta ketrampilan kita membelanya, melainkan karena “Dia Yang Tergantung Pada Salib” itu melalui Rohnya Yang Kudus memeliharanya. Saya sendiri juga tidak setuju dengan UU Penghujatan (Blasphemy Law) yang sampai sekarang sudah memakan korban yang tidak perlu.
Kalau ada yang mau dituntut dari Sang Ustadz, maka tuntutan kita hanyalah tertuju kepada Suara Hatinya. Artinya, beliau sebagai pemimpin umat yang berpengaruh kok sampai hati menyampaikan informasi-informasi yang beliau sendiri tidak kuasai sehingga menimbulkan salah faham di kalangan jemaahnya tentang keyakinan teman sebangsa mereka. Ini, lambat atau cepat akan menimbulkan ketidakharmonisan dalam relasi sesama anak bangsa. Kita menghimbau agar hal seperti ini tidak terulang lagi. Kiranya Tuhan memberkati Sang Ustadz. Merdeka!