Oleh Ketua Poksus DPR Papua, John NR Gobai
Nabire, BumiofiNavandu – Dalam beberapa tahun belakangan ini, telah terjadi pembungkaman demokrasi di Tanah Papua, hal ini dilakukan dengan cara-cara yang klasik antara lain; melarang dilakukan aksi masa, mimbar bebas, mengamankan alat peraga demo serta adanya pelarangan masuknya wartawan asing. Praktek ini telah berlangsung lama, sejak tahun 1969 saat diumumkan hasil PEPERA hingga saat ini, yang diprotes adalah adanya pembungkaman terhadap hak demokrasi orang tidak secara bebas nyatakan pendapatnya. Kemarin tanggal 16 Agustus 2021, Rombongan Pendeta Benny Giyai dilarang masuk untuk berdoa di DPRP.
Pemahaman lokal dan regulasi
Dalam kebiasaan masyarakat ada ungkapan ‘’Ko marah sudah sa tidak mati mo” kalimat sederhana ini mengandung makna, orang bebas berbicara tentang masalah yang mereka alami, sehingga tidak tersimpan dalam hati terus agar mereka bisa tenang, agar orang bisa mengungkapkan perasaannya, karena yang namanya berbicara atau berdebat tidak akan membuat orang terluka atau meninggal, kecuali jika orang berbicara atau berdebat dengan memegang alat tajam kemungkinan terjadi tindakkan fisik yang menyebabkan orang terluka atau meninggal.
Bersamaan dengan reformasi, Indonesia mengeluarkan sebuah, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun I998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, dengan pertimbangan, bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang Undang Dasar 1945 dan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia.
kemerdekaan setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum merupakan perwujudan demokrasi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, untuk membangun negara demokrasi yang menyelenggarakan keadilan sosial dan menjamin hak asasi manusia diperlukan adanya suasana yang aman, tertib,dan damai.
Dalam pelaksanaanya Indonesia masih melakukan pembungkaman, hal itu dapat dilihat dari UU No 9 Tahun 1998 Pasal l0;
(1) Penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 wajib diberitahukan secara tertulis kepada Polri.
(2) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan oleh yang bersangkutan. pemimpin, alau penanggungjawab kelompok.
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selambat-lambatnya 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sebelum kegiatan dimulai telah diterima oleh Polri setempat.
(4) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi kegiatan ilmiah di dalam kampus dan kegiatan keagamaan.Pembungkaman demokrasi yang saya maksudkan adalah dapat dilihat di Pasal 13 (1) UU No 9 tahun 1998, Setelah menerima surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 11 Polri wajib, ayat 1 :a) segera rnemberikan surat tanda terima pemberitahuan;
b) berkoordinasi dengan penanggung jawab penyampaian pendapat di mukaumum;
c) berkoordinasi dengan pimpinan instansi/lembaga yang akan menjadi tujuan penyampaian pendapat;
d) mempersiapkan pengamanan tempat, lokasi. dan rute.
2. Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum. Polri bertanggungjawab memberikan perlindungan keamanan terhadap pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum.
3. Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, Polri bertanggung jawab menyelenggarakan pengamanan untuk menjamin keamanan dan ketertiban umum sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Tataran Pelaksanaan
Masih segar dalam ingatan kita adalah adanya penangkapan terhadap Para Aktivis Papua di Tanah Papua, jika kita lihat dari apa yang mereka lakukan tentunya tidak ada yang salah, mereka mempunyai hak untuk berserikat dan mengeluarkan pendapat, namun mereka selalu berhadapan dengan aparat keamanan, selama hal ini tidak dipahami dalam konteks HAM, maka pembungkaman demokrasi terus akan terjadi di Tanah Papua.
Pemerintah dan TNI/POLRI mestinya memahami bahwa tidak pernah ada cerita dalam sejarah dunia bahwa sebuah negara terbentuk karena demontrasi atau aksi lainnya. Disatu sisi, dapat dikatakan bahwa dengan aksi damai atau mimbar bebas yang dilakukan oleh orang papua dapat meruntuhkan Negara Indonesia,sehingga pengungkapan ekspresi orang papua tidak perlu ditanggapi berlebihan atau ditanggapi dengan kekerasan yang pada gilirannya akan menimbulkan penggaran HAM.
Pembungkaman demokrasi di Papua itu biasa terjadi dengan alasan belum dikeluarkannya Surat Tanda Terirna Pemberitahuan (STTP), sehingga aksi damai atau mimbar bebas harus dibubarkan,polisi juga selalu tidak ingin pembubaran oleh nya di dokumentasi oleh pers, sehingga jika Polisi ingin membubarkan masa mereka juga akan menyerang pers dan merampas kameranya agar upaya paksa mereka membungkam demokrasi di Papua tidak diketahui oleh publik.
ini jelas bertentangan dengan peraturan padahal ini adalah kewajiban POLRI mengeluarkan STTP sesuai dengan pasal 11 adalah sebuah kewajiban Polri, bukan ditulis Polisi berhak membubarkan jika STTP belum dikeluarkan tetapi justru wajib mengeluarkan jika sudah ada permohonan, ini yang saya maksudkan ada upaya pembungkaman demokrasi di Papua.
Menurut, Yulia Suganda dalam Analisis Konflik dan Rekomendasi Kebijakan mengenai Papua, FES,2008, Indonesia telah mengamankan keanggotaannya di Dewan Hak Asasi Manusia PBB dan Dewan Keamanan PBB, dan juga menyetujui Perjanjian Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik (The International Covenant on Civil and Political Rights) dan Konvenan Internasional mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (The International Convenant on Economic, Social and Cultural Rights) pada tahun 2006.
Pada kenyataannya,kasus Papua memperlihatkan terbatasnya ruang yang diberikan untuk melaksanakan hak-hak tersebut. Pendekatan keamanan dirasakan sangat kuat di tempat-tempat publik yang mempengaruhi tingkat kebebasan berekspresi.
Penutup
Menurut saya ruang ekspresi bagi masyarakat di Papua mesti dibuka agar mereka dapat mengekspresikan perasaan mereka, sehingga tindakan melarang masyarakat melakukan aksi dengan maklumat kapolda atau kapolri adalah sebuah upaya yang membatasi Hak Asasi Manusia, kita semua tentu ketahui bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum di jamin oleh konstitusi, sehingga perlu diberikan ruang demokrasi bagi masyarakat papua untuk dapat menyampaikan pendapat, sudah banyak contoh yang kita jumpai dan rasakan telah berujung pada terjadi kekerasan dan bentrok antara pendemo dengan pihak kepolisian dengan demikian juga kemudian Negara disebut menutup ruang demokrasi di Papua.
Misalnya jika masyarakat ingin melakukan unjuk rasa ke kantor DPR Papua, Kantor MRP atau Kantor Gubernur Papua serta Kantor Bupati/Walikota serta Kantor DPRD di Papua.
Tempat ini harus dibuka tidak perlu ada pihak yang melarang atau menghadang di jalan, dikantor kantor inilah tempatnya rakyat mengadu, tempat rakyat menyampaikan pendapatnya sehingga tidak perlu ada pihak yang melarang dengan alasan belum diterbitkan STTP, namun sebaliknya masyarakat ini justru harus difasilitasi untuk dapat melakukan aksi penyampaian aspirasi dan pendapat serta bertemu dengan pihak pihak terkait agar harapan atau aspirasinya dapat disampaikan disana.(Red, rilis diterima Bumofinavandu dari John NR Gobai pada Kamis, (19/08/2021)
10 Komentar