Puasa Kangen
anak cucunya telah membuatku sinting.
Mengapa engkau membiarkan ku terlarut di dalamnya.
Kangenku hinggap bak kupu-kupu di ubun-ubun.
2.Izinkan aku melepas kangen. Kangenku
Membuatku mengong, bisa- bisa aksara setia yang
Sedang berlabuh akan tenggelam.
3.Sayang, buatlah aku memiliki masa pra dan masa puasa kangen.
Biarlah masa pra kangen membuatku tobat kangen dan
masa puasa kangen membuatku terciduk sendiri.
4.Sayang kangen itu sinting.
Biarlah menjadi prasasti bila bertemu nanti, dan
cukup dikenang.
Sesunyi ini, aku menulis indah di matamu.
Bibirmu keluh menggugurkan anarki cinta.
Penaku menulis sajak sayang, yang kau robek.
Atas alasan alay kau membuang sajak sayang.
Sayang dalam sajaku, agar kau mengerti aksara cinta
tidak selalu alay, dan indah di matamu yang ku tulis adalah
sayang.
Beranda rumah….
Tempatku mengulurkan tangan di tengah rinai hujan
Membiarkan dingin menyapa cantikmu di relung sukma.
Biarlah rinai hujan di berandaku menghapus jejak dan peluh
Pada cantik indahmu. Sebenarnya di beranda rumah ku tentang
Penantian. Penantian kamu yang bersembunyi di balik rinai-rinai hujan selepas
Angelus.
Cerpen yang tandas kau baca, kini sunyi.
Tokoh- tokoh dalam cerpen itu kini mudik ke tema- tema
Yang kian rampung dibuat. Selepas mudik tiba, cerpen itu menitipkan salam
Perpisahan.
“padamu pemilikku, aku kangen kau belai. Tokoh- tokohku kini mudik
dan tema dalam ceritaku kini sunyi dan cengeng meminta jatah dibaca.
Segenap salam sayang dari kami keluarga besar cerpen kepadamu.”
Mungkin salam sayang ini takan tersampaikan, setelah pemilik cerpen
didapati tidur di pusara.
Penulis: Ewaldus Onesianus Kaur, siswa SMA Seminari Pius XII Kisol, Manggarai Timur, Flores, NTT
10 Komentar