“Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia segera awasi Proses Pemeriksaan Perkara Nomor : PDM-42/JPR/Eku.2/08/2021 Di Pengadilan Negeri Klas Ia Jayapura”
Nabire, Bumiofinavandu – Praktek Kriminalisasi Terhadap Aktifis Papua pasca aksi demostrasi anti rasisme pada tanggal 19 Agustus 2019 dan 29 Agustus 2019 di Jayapura mengunakan Pasal Makar dialami oleh AGUS KOSSAY, BUCHTAR TABUNI, HENGKI HILAPOK, ALEXANDER GOBAY, IRWANUS UROPMABIN dan FERY KOMBO, FRANIS WASINI alias FRANS dan VIKTOR FREDRIK YEIMO. Pada prakteknya proses hokum terhadap para aktivis Papua yang menjadi Korban Kriminalisasi mengunakan Pasal Makar sudah dan sedang diperiksa pada Pengadilan Negeri yang berbeda-beda. AGUS KOSSAY, BUCHTAR TABUNI, HENGKI HILAPOK, ALEXANDER GOBAY, IRWANUS UROPMABIN dan FERY KOMBO diperiksa dan divonis di Pengadilan Negeri Balikpapan. Sementara FRANIS WASINI alias FRANS dan VIKTOR FREDRIK YEIMO diperiksa di Pengadilan Negeri Klas Ia Jayapura.
Sampai saat ini, terhadap AGUS KOSSAY, BUCHTAR TABUNI, HENGKI HILAPOK, ALEXANDER GOBAY, IRWANUS UROPMABIN dan FERY KOMBO, FRANIS WASINI alias FRANS sudah diperiksa dan mendapatkan vonis yang berbeda dimana AGUS KOSSAY, BUCHTAR TABUNI, HENGKI HILAPOK, ALEXANDER GOBAY, IRWANUS UROPMABIN dan FERY KOMBO divonis tidak lebih dari satu tahun. Terhadap FRANIS WASINI alias FRANS berdasarkan Putusan Nomor 27/PID/2022/PT JAP majelis hakim Pengadilan Tinggi Jayapura memutuskan : “Menyatakan Terdakwa FRANIS WASINI alias FRANS tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan Penuntut Umum dan Membebaskan Terdakwa oleh karena itu dari dakwaan Penuntut Umum”. Melalui putusan FRANIS WASINI alias FRANS yang divonis Bebas diatas secara langsung membuktukan bahwa AGUS KOSSAY, BUCHTAR TABUNI, HENGKI HILAPOK, ALEXANDER GOBAY, IRWANUS UROPMABIN dan FERY KOMBO, FRANIS WASINI alias FRANS dan VIKTOR FREDRIK YEIMO yang tuduh mengunakan Pasal Makar pasca aksi demostrasi anti rasisme pada tanggal 19 Agustus 2019 dan 29 Agustus 2019 di Jayapura merupakan Fakta Kriminalisasi Pasal Makar mengunakan Sistim Peradilan Pidana yang dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum terhadap Aktifis Papua.
Fakta Kriminalisasi Pasal Makar mengunakan Sistim Peradilan Pidana terhadap Aktifis Papua secara teori juga dibenarkan juga oleh penjelasan R Soesilo terkait Pasal 106 dalam buku KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal yang menegaskan bahwa : aanslag atau makar adalah penyerangan. Sekalipun pada Pasal 87 KUHP menyebutkan “Makar (aanslag) sesuatu perbuatan dianggap ada, apabila niat si pembuat kejahatan sudah ternyata dengan dimulainya melakukan perbuatan itu” namun dalam penjelasannya R. Soesilo menyebutkan bahwa perbuatan-perbuatan persiapan tidak masuk dalam pengertian makar. Yang masuk dalam pengertian ini hanyalah perbuatan-perbuatan pelaksanaan. Artinya orang harus sudah mulai dengan melakukan perbuatan pelaksana pada kejahatan itu, kalau belum dimulai atau orang baru melakukan perbuatan persiapan saja untuk memulai berbuat, kejahatan itu tidak dapat dihukum. Lebih jauh R Soesilo menjelaskan, perbuatan itu sudah boleh dikatan sebagai perbuatan pelaksanaan apabila orang telah mulai melakukan suatu anasir atau elemen dari peristiwa pidana, jika orang belum memulai dengan melakukan suatu anasir atau elemen ini, maka perbuatannya itu masih harus dipandang sebagai perbuatan persiapan. Diatas fakta aksi demostrasi anti rasisme pada tanggal 19 Agustus 2019 dan 29 Agustus 2019 di Jayapura merupakan bagian langsung dari implementasi ketentuan Pasal 28E ayat (3) Undang Undang Dasar 1945 junto Pasal 1 ayat (1), Undang Undang Nomor 09 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum junto Undang Undang Nomor 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnik sehingga jelas-jelas tidak masuk dalam kualifikasi Makar.
Dengan adanya putusan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jayapura yang “Menyatakan Terdakwa FRANIS WASINI alias FRANS tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan Penuntut Umum dan Membebaskannya yang mampu menunjukan Fakta adanya Praktek Kriminalisasi Pasal Makar mengunakan Sistim Peradilan Pidana yang dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum terhadap Aktifis Papua diatas maka muncul pertanyaan tersendiri terkait “untuk apa Majelis Hakim Pengadilan Negeri Klas Ia Jayapura masih melakukan penuntutan terhadap Terdakwa VIKTOR FREDRIK YEIMO ?.
Untuk diketahui bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 76 ayat (1) dan ayat (2), KUHP ditegaskan bahwa:
(1) Kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi, orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap. Dalam artian hakim Indonesia, termasuk juga hakim pengadilan swapraja dan adat, di tempat-tempat yang mempunyai pengadilan-pengadilan tersebut.
(2) Jika putusan yang menjadi tetap itu berasal dari hakim lain, maka terhadap orang itu dan karena tindak pidana itu pula, tidak boleh diadakan penuntutan dalam hal: 1. putusan berupa pembebasan dari tuduhan atau lepas dari tuntutan hukum; 2. putusan berupa pemidanaan dan telah dijalani seluruhnya atau telah diberi ampun atau wewenang untuk menjalankannya telah hapus karena daluwarsa maka semestinya praktek penuntutan terhadap Terdakwa VIKTOR FREDRIK YEIMO dihentikan sebab atas peritiwa aksi demostrasi anti rasisme pada tanggal 19 Agustus 2019 dan 29 Agustus 2019 di Jayapura, Pengadilan telah memeriksa dan memvonis AGUS KOSSAY, BUCHTAR TABUNI, HENGKI HILAPOK, ALEXANDER GOBAY, IRWANUS UROPMABIN, FERY KOMBO dan FRANIS WASINI alias FRANS.
Melalui fakta Majelis Hakim Pengadilan Negeri Klas Ia Jayapura masih menuntut Terdakwa VIKTOR FREDRIK YEIMO maka secara jelas-jelas menunjukan praktek yang bertentangan dengan tujuan dari perumusan Pasal 76 KUHP yaitu:
- Jangan sampai pemerintah berulangulang membicarakan tentang peristiwa yang sama itu juga, sehingga dalam satu peristiwa ada beberapa putusan yang rupa-rupa yang akan mengurangkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintahnya.
- Sekali orang sebagai terdakwa harus diberi ketenangan hati, janganlah orang dibiarkan terus menerus dengan perasaan terancam oleh bahaya penuntutan kembali dalam peristiwa yang sekali telah diputus (R Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-komentarnya lengkap Pasal demi Pasal, Politeia, Bogor, 1980, Hlm. 90).
Berpegang pada Putusan Nomor 27/PID/2022/PT JAP dan Pendapat R Soesilo terkait Pasal 76 ayat (2) angka 1, KUHP maka majelis hakim pemeriksa perkara Terdakwa VIKTOR FREDRIK YEIMO semestinya tidak boleh mengadakan tuntutan terhadap Terdakwa VIKTOR FREDRIK YEIMO demi melindungi Hak Asasi Manusia Terdakwa VIKTOR FREDRIK YEIMO dan menghentikan Praktek Kriminalisasi Pasal Makar mengunakan Sistim Peradilan Pidana terhadap Aktivis Papua yang sudah sering dipraktekan oleh Aparat Penegak Hukum di Papua selama ini maka kami Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua selaku kuasa hukum Viktor F Yeimo menegaskan kepada :
1. Majelis Hakim Pemeriksa Terdakwa VIKTOR FREDRIK YEIMO segera menghentikan Praket Kriminalisasi Pasal Makar Terhadap Terdakwa VIKTOR FREDRIK YEIMO;
2. Ketua Pengadilan Negeri Klas Ia Jayapura Segera Hentikan Proses Penuntutan Terhadap Peristiwa Hukum Yang Sudah Berkekuatan Hukum Tetap Sebagaimana Dalam Putusan Nomor : 27/PID/2022/PT JAP;
3. Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia Segera Mengawasi Proses Pemeriksaan Perkara Nomor : PDM-42/JPR/Eku.2/08/2021 terhadap Terdakwa VIKTOR FREDRIK YEIMO di Pengadilan Negeri Klas Ia Jayapura.[*]
Siaran pers Nomor : 001/SP-KPHHP/I/2023, Koalisi Penegak Hukum Dan Ham Papua. Jayapura, 19 Januari 2023.
LBH Papua, PAHAM Papua, AlDP, PBH Cenderawasi, KPKC Sinode Tanah Papua, SKP Fransiskan Jayapura, Elsham Papua, Walhi Papua, Yadupa Papua dan lain-lain)
Dapatkan update berita Bumiofinavandu.com dengan bergabung di Telegram. Caranya muda, Anda harus menginstall aplikasi Telegram terlebih dulu di Android/Ponsel lalu klik https://t.me/wartabumiofinabirepapuatengah lalu join. Atau dapatkan juga di medsos (Facebook, Twitter, Instagram, Youtube, Tiktok) dengan nama akun Warta Bumiofi.