Samudra air mata ibu

Ilustrasi kampung di Kota Jayapura, Papua, yang berada di atas laut dengan latar belakang hutan bakau dan Jembatan Merah, Kampung Enggros – Dok Timoteus Rosario Marten

Pagiku datang tetes embun membasahi Tana Tabi di tujuh Januari

Terik mentari tembus kepala tatkala Raja Siang kian meninggi

Tiada senja lagi yang manis senyumnya tertampak dari balik Bukit Cycloop yang menawan hati

Duhai awan tebal kau selimuti langit dengan muram karamkan harap

Membentang sepanjang malam lantas tumpahkan amarah

Ibu kami dilinang air mata langit

Kau geram pada ibunda tak bersalah

Tanah air kita yang harum semerbak sejak sediakala

Basah sudah bumiku basah

Pohon-pohon yang tak berakar lagi tuk menancapkan air ke akar-akarnya perut bumi

Terpelanting sampai jauh kesana-kemari bagai perahu tanpa jangkar

Wahai kawan-kawan sezaman kenapa ibu bumi tak mampu lagi membendung air mata

Dia hamil dengan bencana tapi melahirkan ribuan anak-anak hari esok

Padahal dahulu kala tanah air kita tiada marah pada yang menjeda di tepi samudra

Wahai daun-daun bermadahlah ratap pada yang Empunya Dedaunan

Wahai bumi dimanakah serabut, tunjang, dan tunggangmu bila air mata langit

meneteskan geram tiada ampun

Sampai berapa lama lagi lagu ibuku tumpahkan air mata berkeruh menggenangkan cerita hingga pelosok kota

Entah sampai kapan lagi negeriku dibalut kemelut kiriman semesta

Di sini saban tahun anak-anak harapan bagai tiada lagi berharap

Pasrah sudah pada mama kota yang telanjang tak berdinding

Perahuku berlayar di samudra kehidupan

Di atas onggokan gelondongan yang terombang-ambing hendak bertepi

Jayapura, tana air kota, tana air beta, sa pu tana air abadi sebelum menuju eskatologi

Samudra air mata mengalir berhulu pelupuk mata bercampur sudah dengan air mata langit di tepi samudra teduh

Duka kota kita kataku sisakan puing-puing cerita lara esok atau lusa atau bahkan selamanya

Menyeduh lumpur menyerpih harapku bila aku tepekur

Terkubur dalam-dalam di lumpur yang membentur batu bata dan beton dunia kapitalis

Aduh, kemana lagi muara mata air kami kalau Muara Tami di tepi lautan teduh tak lagi ramah

Sedangkan Muara Tami tiada kan kembali menjernih sapanjang hayat

Port Numbay tanah air kami, tanah harapan kita, mama dari negeri yang dikenal sejak sedia kala

Ketar daku dikala gelombang samudra cetar ceter beriringan dengan si petir

Sampai di sini rintihan anak-anak harapan, kalau boleh sampai di sini saja air mata ibu melahirkan samudra air mata

Jangan lagi esok atau lusa duka seperti busa yang membuih tanpa pegangan seperti tongkat Nabi Musa [*]

Dapatkan update berita Bumiofinavandu.com dengan bergabung di Telegram. Caranya muda, Anda harus menginstall aplikasi Telegram terlebih dulu di Android/Ponsel lalu klik https://t.me/wartabumiofinabirepapuatengah lalu join. Atau dapatkan juga di medsos (Facebook, Twitter, Instagram, Youtube, Tiktok) dengan nama akun Warta Bumiofi.

PHP Dev Cloud Hosting

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

12 Komentar

  1. Does your blog have a contact page? I’m having trouble locating it but,
    I’d like to shoot you an e-mail. I’ve got some recommendations for your
    blog you might be interested in hearing. Either way,
    great blog and I look forward to seeing it improve over time.

  2. Ping-balik: sahabatqq