Rumuskan RUU DOB Papua tidak sesuai mekanisme perumusan Perundang-Undangan

Gedung DPR RI – Bumiofinavandu/Istimewa.

“Baleg DPR RI Gunakan Hak Inisiatif Sahkan RUU DOB Papua Sementara Rakyat Papua Gunakan Kewenangan “Aspirasi Masyarakat Papua” sesuai Pasal 76 ayat (2) UU Nomor 2 Tahun 2021 junto Pasal 18 huruf h, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 Menolak  RUU DOB Papua” hal tersebut dinilai panitia Kerja Baleg DPR RI rumuskan RUU DOB Papua tidak sesuai mekanisme perumusan Perundang-Undangan”

Nabire, Bumiofinavandu  – Wakil Ketua Panja Ahmad Baidowi menegaskan ada tiga RUU untuk DOB di Papua yang disetujui menjadi RUU inisiatif DPR yakni RUU Tentang Propinsi Papua Selatan, Papua Tengah dan Papua Pegunungan Tengah (Baca : https://www.antaranews.com/berita/2806189/panja-setujui-ruu-3-dob-di-papua-jadi-usul-inisiatif-dpr). Atas dasar RUU Inisiatif DPR maka berdasarkan  mekanisme pembuatan UU di DPR RI yang terdiri dari 15 (lima belas) tahapan perumusan RUU terhitung dari usulan RUU sampai disahkan menjadi UU (Baca : https://www.dpr.go.id/dokhumas/publication/Infografis-Proses-Pembuatan-UU-di-DPR-RI.pdf) maka tahapan perumusah RUU DOB Papua baru ada di tahapan ke delapan yaitu “Rapat Paripurna untuk memutuskan RUU usulan Inisiatif DPR”.

Bacaan Lainnya

Artinya sampai saat ini RUU Tentang Propinsi Papua Selatan, Papua Tengah dan Papua Pegunungan Tengah belum sah menjadi undang-undang.

Diatas fakta itu, apabila dilihat dari keterangan dalam Video LIVE STREAMING – BALEG DPR RI RAPAT PLENO RUU PAPUA sebagaimana dalam link video https://www.youtube.com/watch?v=z9BI8yzo96I secara tegas Yan Permenas Mandenas mewakili Fraksi Gerindra menegaskan bahwa dasar pengusulan RUU DOB Papua didasarkan pada kewenangan DPR sesuai ketentuan “Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dapat melakukan pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota menjadi daerah otonom untuk mempercepat pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan publik, dan kesejahteraan masyarakat, serta mengangkat harkat dan martabat Orang Asli Papua dengan memperhatikan aspek politik, administratif, hukum, kesatuan social budaya, kesiapan sumber daya manusia, infrastruktur dasar, kemampuan ekonomi, perkembangan pada masa yang akan datang, dan/atau aspirasi masyarakat Papua” sebagaimana diatur pada pasal 76 ayat (2), UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua. 

Selain itu, berdasarkan pada ketentuan “Pembentukan daerah otonom dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini dan ditetapkan dengan Undang-Undang” sebagaimana diatur pada pasal 76 ayat (5), UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua.

Sesuai dengan dasar hokum perumusan RUU DOB Papua oleh DPR yang berpatokan pada pasal 76 ayat (5), UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua diatas maka selanjutnya akan dilihat efektifitas Baleg DPR mengimplementasikannya dalam Perumus RUU DOB Papua.

Pertama berdasarkan kalimat “sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini” artinya mengarah pada UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua sehingga dalam perumusan RUU DOB Papua Baleg DPR RI tidak bisa hanya berpatokan pada pasal 76 ayat (2), UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua saja namun wajib menerapkan ketentuan “Pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/ kota menjadi provinsi-provinsi dan kabupaten/kota dapat dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia, kemampuan ekonomi, dan perkembangan pada masa yang akan dating” sebagaimana diatur pada pasal 76 ayat (1), UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua.

Kedua, dengan mengacu pada kalimat “ditetapkan dengan Undang-Undang” dalam redaksi pasal 76 ayat (5), UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua diatas secara langsung mengarah pada “Tata cara pembahasan dan pengesahan rancangan undang-undang mengenai pembentukan daerah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan dan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat” sebagimana diatur pada Pasal 96 ayat (3), Peraturan Pemerintah Nomor 106 tahun 2021 Tentang Kewenangan Dan Kelembagaan Pelaksanaan Kebijakan Otonomi Khusus Provinsi Papua. Atas dasar kalimat  “dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan” dalam redaksi Pasal 96 ayat (3), Peraturan Pemerintah Nomor 106 tahun 2021 Tentang Kewenangan Dan Kelembagaan Pelaksanaan Kebijakan Otonomi Khusus Provinsi Papua diatas maka jelas-jelas mengarah pada ketentuan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dengan demikian maka dalam perumusan RUU DOB Papua Baleg DPR RI wajib mengikuti mekanisme sesuai ketentuan Pasal 16 dan Pasal 18, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagai berikut :

Pasal 16

Perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam Prolegnas

Pasal 18

Dalam penyusunan Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, penyusunan daftar Rancangan Undang Undang didasarkan atas:

a. Perintah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Perintah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Perintah Undang-Undang lainnya;

d. Sistem perencanaan pembangunan nasional;

e. Rencana pembangunan jangka panjang nasional;

f.  Rencana pembangunan jangka menengah;

g. Rencana kerja pemerintah dan rencana strategis DPR;dan

h. Aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat.

Berdasarkan uraian diatas secara hokum dapat disimpulkan bahwa perumusan RUU DOB Papua dilakukan hanya berdasarkan inisiatif anggota DPR saja sesuai ketentuan pada pasal 76 ayat (2), UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua dan mengabaikan Aspirasi Masyarakat Papua serta tidak berkordinasi dan berkordinasi dengan MRP dan DPRP sesuai perintah pasal 76 ayat (1), UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua. Atas dasar fakta itu membuktikan bahwa Baleg DPR RI dalam merumuskan RUU Tentang Propinsi Papua Selatan, Papua Tengah dan Papua Pegunungan Tengah tidak sesuai dengan Mekanisme Perumusan Perundang-Undangan yang berlaku di Indonesia.

Mengingat perintah Pasal pasal 76 ayat (5), UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua junto Pasal 96 ayat (3), Peraturan Pemerintah Nomor 106 tahun 2021 Tentang Kewenangan Dan Kelembagaan Pelaksanaan Kebijakan Otonomi Khusus Provinsi Papua yang jelas-jelas mengidupkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sehingga dalam perumusan kebijakan RUU DOB Papua wajib mengikuti standar perumusan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dengan mengacu pada kalimat “aspirasi masyarakat Papua” sebagaimana diatur pada pasal 76 ayat (2), UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua serta ketentuan “Dalam penyusunan Prolegnas, penyusunan daftar Rancangan Undang Undang didasarkan atas aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat” sebagaimana diatur pada Pasal 18 huruf h, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan semestinya Baleg DPR RI dalam merumuskan RUU DOB Papua mengunakan metode sesuai ketentuan “Pembentukan daerah provinsi dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut Aspirasi sebagian besar masyarakat setempat dalam bentuk Keputusan BPD untuk Desa dan Forum Komunikasi Kelurahan atau nama lain untuk Kelurahan di wilayah yang menjadi calon cakupan wilayah provinsi atau kabupaten/kota yang akan dimekarkan selanjutnya akan dijadikan Dokumen aspirasi Masyarakat”  sebagaimana diatur pada Pasal 14 huruf a dan huruf d angka 1, Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, Dan Penggabungan Daerah.

Untuk diketahui bahwa akibat Baleg DPR RI Perumus DOB Papua tidak menjaring aspirasi masyarakat papua sesuai perintah kalimat “aspirasi masyarakat Papua” sebagaimana diatur pada pasal 76 ayat (2) UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua  dan perintah ketentuan Pasal 18 huruf h, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan  dengan metode penjaringan pendapat sesuai ketentuan Pasal 14 huruf a dan huruf d angka 1, Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, Dan Penggabungan Daerah maka masyarakat papua mengunakan mekanisme demokrasi yang dijamin dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum menyalurkan aspirasinya dengan cara melakukan Aksi Demostrasi Damai dengan Tuntutan Menolak RUU DOB Papua yang didorong secara sepihak oleh Baleg DPR RI mengunakan pendekatan hak inisiatif. Aksi Demostrasi Penolakan RUU DOB Papua digelar oleh rakyat papua di Jayapura dan Manokwari pada tanggal 8 Maret 2022, Wamena pada tanggal 10 Maret 2022, Paniai pada tanggal 14 Maret 2022, Yahokimo pada tanggal 15 Maret 2022, Lani Jaya pada tanggal 30 Maret 2022, Nabire pada tanggal 31 Maret 2022 dan di Sorong, Merauke, Kaimana dan Jayapura pada tanggal 1 April 2022. Pada prinsipnya semua asrpirasi penolakan RUU DOB Papua yang didorong secara sepihak oleh Baleg DPR RI telah diserahkan ke DPRD dan DPRP.

Berdasarkan uraian panjang diatas sudah dapat disimpulkan bahwa RUU Tentang Propinsi Papua Selatan, Papua Tengah dan Papua Pegunungan Tengah yang ditetapkan Panja menjadi RUU menggunakan inisiatif DPR dirumuskan secara sepihak dan tidak sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat papua sebab masyarakat papua di Jayapura, Manokwari, Wamena, Paniai, Yahokimo, Lani Jaya, Nabire, Sorong, Merauke, Timika, Kaimana dan lain sebagainya dengan mengunakan kewenangan perumusan kebijakan DOB yang dijamin dalam UU Nomor 2 Tahun 2021 Tentang Perubahan UU Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua Junto PP Nomor 106 tahun 2021 Tentang Kewenangan Dan Kelembagaan Pelaksanaan Kebijakan Otonomi Khusus Provinsi Papua Junto Undang Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan junto Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, Dan Penggabungan Daerah menyatakan menolak RUU DOB Papua.

Atas dasar kesimpulan diatas, Lembaga Bantuan Hukum Papua (LBH Papua) mengunakan kewenangan terkait “Setiap orang, kelompok, organisasi politik,organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan,dan pemajuanhak asasi manusia” sebagaimana diatur pada Pasal 100, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dalam rangka menegakkan perintah ketentuan Pemekaran daerah ditujukan untuk mengangkat harkat dan martabat OAP sesuai ketentuan Pasal 93 ayat (2) huruf d, PP Nomor 106 Tahun 2021 tentang Tentang Kewenangan Dan Kelembagaan Pelaksanaan Kebijakan Otonomi Khusus Provinsi Papua menegaskan kepada :

1.    Presiden Republik Indonesia segera perintahkan ketua DPR RI batalkan kebijakan RUU Pemekaran Propinsi Propinsi di Papua sebab Perumusannya Tanpa Mengakomodir Aspirasi Masyarakat Papua sesuai Perintah Pasal 72 ayat (2) dan Pasal 76 ayat (5), UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan UU Nomor 21 Tahun 2001 junto Pasal 18 huruf h, UU Nomor 15 Tahun 2019;

2.    Ketua DPR RI segera perintahkan Panja batalkan kebijakan RUU Pemekaran Propinsi Propinsi di Papua sebab Perumusannya Tanpa Mengakomodir Aspirasi Masyarakat Papua sesuai Perintah Pasal 72 ayat (2) dan Pasal 76 ayat (5), UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan UU Nomor 21 Tahun 2001 junto Pasal 18 huruf h, UU Nomor 15 Tahun 2019;

3.    Panja dan Baleg DPR RI Perumus RUU DOB Papua wajib menghargai dan menerima Aspirasi Penolakan RUU DOB Papua yang disampaikan Masyarakat Papua mengunakan kewenangan Pasal 76 ayat (5), UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan UU Nomor 21 Tahun 2001 junto Pasal 18 huruf h, UU Nomor 15 Tahun 2019 yang dinyatakan melalui Aksi Demostrasi Tolak RUU DOB Papua;

4.    Ketua Majelis Rakyat Papua Propinsi Papua dan Papua Barat serta Ketua DPR Papua dan DPR Papua Barat segera serahkan Aspirasi Rakyat Papua Tentang Penolakan RUU DOB Papua kepada Presiden Republik Indonesia, Ketua DPR RI dan Panja Perumus RUU DOB Papua.

Demikian siaran pers ini dibuat, semoga dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Atas perhatiannya disampaikan terima kasih.

Jayapura, 13 April 2022, Lembaga Bantuan Hukum Papua

[Siaran Pers Nomor : 005 / SP-LBH Papua / IV / 2022]

PHP Dev Cloud Hosting

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

12 Komentar

  1. Ping-balik: imovane
  2. Ping-balik: Taxi To Koh Chang
  3. Ping-balik: 86kub
  4. Ping-balik: disposable
  5. Ping-balik: sistem filtrare aer