Petir dinihari dan waspada sebelum pergi

Ilustrasi - Pixabay

“Tiga puluh delapan menit dari pukul dua dinihari bukanlah waktu untuk bangun. Tapi mata saya setengah terbuka, dan perih saat terpaksa dibuka lebar-lebar”

Penyebabnya adalah kipas yang berhenti berputar, seng-seng atap yang “bersorak-sorai” dan angin yang bertiup begitu kencang.

Kantuk yang masih tersimpan, terpaksa mendadak pergi, setelah saya bangkit dan mengamati sekeliling kamar.
Sedari tadi hujan menyetopkan aksinya. Tiba-tiba…

“Rrrrtttttttt!!!!”

Suara ini mengencangkan denyut jantung. Saya terus mengamati sekeliling. Lalu duduk.

Peristiwa ini merupakan kali kedua setelah dua menit yang lalu menjadi mimpi buruk, yang membuat saya bangun lebih awal dari biasanya.

Saya semakin penasaran. Lemparan mata tertuju ke ventilasi, area kamar, plafon, dan pintu, tapi tak ada sesuatu di sini.

Lalu saya duduk lagi; menarik napas, membatin, dan kali ini saya menyebut nama Tuhan dengan hormat.

“Bapa di Surga jikalau boleh singkirkan benda ini dan biarkanku kembali tidur aman dan damai.”

Tiba-tiba, sekejap cahaya dari langit menyambar. Disusuli bunyi yang bergema.

“Ini sudah penyebabnya,” saya meyakinkan diri.

Saya mengintip keluar jendela di mata jalan area kompleks. Dari luar saya menemukan jawaban. Petir.

Apakah itu sang dewa petir, Dewa Zeus dari Yunani kuno atau Jupiter bapa para dewa dan Thor dalam film yang dibintangi Chris Hemsworth asal Australia itu?

Ups, lain padang lain ilalang: darat woleng tana poti woleng pong.

Tapi apa ada hubungan petir dengan kipas angin?

Cahaya kilat yang mengandung listrik di udara, disertai bunyi gemuruh karena pertemuan awan yang memiliki muatan listrik, baik yang bermuatan positif, maupun muatan negatif itu, bernama petir.

Saya pun melanjutkan penyelidikan terhadap kipas tadi.
Beruntung saja lampu sudah saya padamkan saat tidur pukul 12 malam. Saya tak membayangkan peristiwa selanjutnya jika lalai mematikan lampu.

Kebakaran? Bisa jadi iya karena sambaran cahaya listrik dapat menghantam apa saja yang bermuatan listrik.

Tak heran kalau terjadi kebakaran dan peralatan elektronik rusak saat disambangi sang petir.

Karenanya, mematikan alat elektronik saat hujan adalah langkah antisipatif. Menyitir iklan rokok: "matikan alat elektronik Anda atau petir mematikannya".

Hingga saya menulis cerita ini, nyamuk-nyamuk beterbangan tanpa karuan. Ngiung-ngiung. Mereka mengintai apa saja yang bisa dihisap.

Saya berhenti mengetik karena keringat bercucuran, sedangkan guntur terus menggema bagai sangkakala.

Meski kipas berhenti berputar, jarum jam tak mau kompromi.
Hingga jarum jam di angka 2.54 saya menyalakan kipas. Baling-baling itu, kipas itu, berputar lagi. Aleluya!

Sedangkan guntur terus bergemuruh hingga sang hujan turun lagi. Tiba pukul tiga.

Aroma debu tanah yang ditetes rintik hujan menyeruak.
Matahari juga mulai tampak. Berkas-berkas sinarnya memercik melalui dedaunan dan ventilasi. Hari baru.

Petir dinihari; tamu tak diundang itu, menyambar kipas yang berputar di plafon. Petir ini mengingatkan saya pada puluhan tahun silam, ketika seorang ibu tergeletak di sawah saat musim menanam padi.

Dia meninggal lantaran disambar petir. Dia sawah itu derai-derai air mata bercampur dengan lumpur sawah, hujan, dan bibit-bibit padi.

Di luar sana, tak kurang juga manusia dan binatang yang mati karena sambaran petir. Tanggal 7 April 2020, tiga pelajar di Purang, Manggarai, NTT, dilaporkan meninggal akibat disambar petir dan tiga brimob di Jawa Timur pada 17 Desember 2019, dan masih banyak lagi orang yang tewas usai disambar petir.

Di salah satu negara bagian di India, Andhra Pardesh, pada tahun 2017 terjadi 30 ribu kali sambaran petir sepanjang bulan Mei, dan pada 2018 dalam kurun waktu 13 jam terjadi 36.749 kali sambaran petir. Juni sampai September adalah musim penghujan di India. Menurut catatan resmi di India, periode 2005 sampai 2018, dua ribu orang tewas disambar petir.

Pada tahun 2019 Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) melaporkan daerah sebaran sambaran petir di Indonesia dalam radius 55 kilometer dari sensor. Pulau Kalimantan, Jawa, dan Sumatra adalah daerah dengan dominan sambaran petir, dan beberapa daerah di Pulau Sulawesi seperti Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan.

Provinsi DKI, Jabar dan Lampung adalah daerah dengan sambaran petir lebih dari 800 ribu (ditandai warna merah), sedangkan Bali, NTB, NTT, Maluku, Papua dan Papua Barat, yang ditandai warna putih kurang dari 200 ribu.

Selama ini lumrah diketahui bahwa petir menyambar benda-benda bermuatan listirk, pohon, bahkan manusia, ketika musim hujan dan berada di alam terbuka. Kejadian yang saya alami dinihari itu adalah peristiwa langka.

Ternyata petir juga bisa masuk melalui jendela. Dia bisa menghantam benda-benda yang bermuatan listrik. Kabel. komputer, televisi, dan pengisi daya baterai HP bias menjadi “penarik” si petir.

Aliran listrik dari benda-benda seperti di atas tadi seharusnya diputuskan saat musim hujan. Yah, sebelum mungkin pergi untuk selamanya.

Apalagi musim La Nina sekarang, musim hujan, banjir, longsor dan petir. Saya kira waspada lebih baik, sebagaimana selalu diperingatkan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika.

Menghindari keran-keran yang terbuat dari metal dan jendela ketika petir, berdiri dekat jendela saat hujan badai juga akan berbahaya.

Sekali lagi, menyitir iklan rokok, “matikan alat elektroniknu atau petir mematikannya” sebagai salah satu bentuk kewaspadaan tadi. Selain berdoa tentunya. Eaaaaa. (*)

PHP Dev Cloud Hosting

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

221 Komentar

  1. Thank you for some other informative blog. The place else may I am getting that type of information written in such a perfect manner?
    I have a venture that I am simply now running on, and I’ve been on the glance out for such info.

  2. Ping-balik: Terrorism