Ah hujan, kau datang saat hati bertuan//Dan menghabiskan malam dengan dingin dan angin//Titip saja salamku pada dia, penikmat keheningan//Dari ruang bertepi tempat kami menyepi.
Puisi ini—mungkin lebih tepat hanya permainan jemari dan seluler—saya tulis 1 Maret 2015. Ini coretan dari diari yang tercecer.
Saya tak mengingat persis konteksnya kala itu. Juga tidak berupaya mengingatnya setelah di-posting. Toh, tidak terlalu penting.
Namun demikian, ini adalah perwakilan suasana batin. Siapapun, apa yang tertulis, adalah metamorfosis dari suara batinnya yang tidak terlihat itu.
Atau pun realitas di luar diri yang dibawa masuk, direfleksikan, dan diekspresikan. Begitu.
Saya senang membacanya. Terutama ketika muncul pada notifikasi beranda. Ya, memori. Tentang hujan.
Hujan, selain gejala alam–titik air dari langit karena proses pendinginan–menyiratkan banyak makna bagi siapapun. Suara hujan juga dijadikan pengantar meditasi dan kontemplasi.
Ia bisa membangkitkan memori romantika masa lalu, masa kini, dan ekspektasi. Dua sejoli, saat kehujanan, bisa saja berhujan-hujanan atau basah-basahan, bila dilanda asmara.
Semakin lebat itu hujan, seakan dunia milik berdua. Tak peduli apakah nanti demam atau banjir (bukan air mata).
Barangkali basah-basahan tidak tanpa basah diludah. Cinta bukan soal ludah dan lidah. Tapi soal hati dan komitmen yang teguh, walau saat berbasah.
Selain memberi kesan romantis, sedih, nostalgia, hujan juga dapat menjadikan seseorang semakin puitis, bijaksana dan religius. Itu tadi, bermula dari hujan.
Dalam hujan ada puisi. Ada juga wejangan dan harapan. Ada ungkapan: “sedia payung sebelum hujan. Hujan emas di negeri orang hujan batu di negeri sendiri“.
Tak sedikit juga orang membenci hujan. Terutama karena ia penyebab banjir, kegelapan, longsor hingga kematian tragis.
Beberapa lokasi digenangi air akibat hujan deras di Jayapura, Senin sore, 15 Juli 2019. Lalu keesokan harinya, satu polisi tewas karena mobilnya dihantam pohon tumbang.
Angin dan hujan deras bikin orang trauma. Terutama karena kisah pilu banjir bandang 16 Maret 2019 di Kabupaten Jayapura, Papua, dan badai siklon tropis seroja pada pekan Paskah April 2021 di Bumi Flobamora, yang menewaskan 182 orang, 47 orang hilang, dan sejumlah harta benda.
Ihwal keganasan air bah yang menelan banyak korban. Ihwal ratapan dan litani duka: In memoriam para kerabat dan sanak famili. Kita mengheningkan cipta untuk dorang.
Bagi mereka yang pernah terluka atau sakit, hujan adalah teman kegalauan. “Hujan deras di luar, tapi hujan banjir di hati.” Eaaaa… (dilarang mengucap seperti pada acara Tukul Arwana). Hujan seakan sebagai pengganggu. Mau tidak mau, suka tidak suka, ia disebut penyebab kegundahan.
Kadang-kadang hujan juga menjadi berkat. Saat kau menanti air, gerah, berkeringat, apalagi saat kemarau panjang, hujanlah penyejuknya.
Saat berada di padang sabana, gersang, terik membakar kulit, kau pasti merindu rintik-rintiknya. Kuda meringkik-ringkik. Mencari mata air.
Bagai rusa merindukan air. Begitu jiwaku merindu kehadiran-Nya. Seperti kata Kitab Mazmur.
Kakimu yang berdebu, kasut berdekil, matamu yang kelilipan, hampir pasti membutuhkan hujan walau setitik. Meski “hujan jatuh ke pasir”.
Hujan juga menjadi kiasan pada saat-saat tertentu. Hujan air mata misalnya—seperti lagu Om Iwan Fals mengenang Bung Hatta.
“Hujan air mata dari pelosok negeri. Saat melepas engkau pergi…”
Hujan bahkan menjadi puisi. Kau bisa membacanya pada pembuka catatan ringan ini (berkedip-kedip sambil lempar senyuman).
Bahkan ada novel (2015) karya sastrawan Sapardi Djoko Damono dengan judul Hujan Bulan Juni–yang sudah difilmkan dan dibintangi Velove Vexia dan Adipati Dolken itu, dengan romantisme dan penantian panjang antara Manado, Solo, dan Jepang. Yang kemudian bertemu dalam waktu. Bak kidung Raja Salomo: semua indah pada waktunya.
Atau dalam November Rain-nya Guns N’ Roses:
“Karena tak ada yang abadi. Kita berdua tahu hati bisa berubah. Dan sulit menjaga. Lilin tetap menyala. Di musim hujan bulan November yang dingin.”
Masih banyak hal-hal puitis, dan karya sastra, atau tulisan apa saja, yang mungkin terinspirasi dari hujan atau terkait hujan. Celotehan ini misalnya.
Tentu tak bisa disebutkan satu per satu. Tengok saja etalase toko-toko buku, perpustakaan, dan internet.
Ada juga istilah hujan peluru— diberondong peluru, hujan caci maki, hujan rajaman, hujan abu, hujan batu, atau hujan tinju.
Hujan bisa dibenci, dirindu, dan ditolak karena dianggap sialan. Maka tiap suku bangsa punya semacam keyakinan dan tradisi menolak hujan. Itu dilakukan dengan jampi-jampi, sesajian dan rokok misalnya.
Semakin mengepul atau semakin asap membumbung ke langit, kemungkinan besar hujan “takut” turun. Saya bahkan kerap dikelakari sebagai pawang hujan saat merokok saking pemadatnya.
Dalam canda-gurau, saat bermain sewaktu kecil, kami biasa menyanyi begini:
“Usang, usang one sua. Rewung, rewung one telu. Par panggang melo renggong meti tacik, kole le hau e usang.”
Terjemahannya;
Hujan, hujan dua hari lalu. Awan, awan tiga hari lalu. Matahari terbit, air laut mengering kembalilah kau ke hulu hai hujan.
Kendati begitu, hingga kini belum ada ritual memanggil hujan. Entah di daerah lain. Ya, itu semua tentang hujan.
Tiap insan memaknainya secara berbeda-beda seturut konteks dan sudut pandangnya.
Agaknya celotehan ini tak akan bertepi. Ngalor-ngidul. Kusudahi saja. Tapi yang pasti ada pelangi setelah hujan.
Ya, pelangi. Seperti nabi Nuh yang melihatnya selepas bah empat puluh hari empat puluh malam. “BusurKu Kutaruh di awan, supaya itu menjadi tanda perjanjian antara Aku dan bumi,” (Kej 9:13).
Bukan pelangi Jamrud yang ini:
“ada yang lain
disenyummu
yang membuat lidahku
gugup tak bergerak
ada pelangi
di bola matamu
dan memaksa diri
tuk bilang…..“
Karena hujan adalah air, maka ia juga dibutuh dan diludah. Setelah itu, sudah.
Ups, makin ke sini makin menjadi-jadi ini tulisan. Padahal trada intinya. Seolah-olah dibikin jadi biblis dan bijak. Biar terlihat bijak sana dan bijak sana-sini.
Dari hujan kutitipkan juga sepenggal kata sampah nan lebay ini:
“Di matamu ada aku. Ada pelangi. Ada hari esok. Ini senandika. Kepada suara hati, kumau tumpahkan keluh dan kesah. Biarkan jadi kisah malam tak berbintang. Kalau boleh, besok kulihat lagi arunika di kaki langit Papuana. Hingga sandikala yang berseri-seri selepas hujan.” Eaaaaaa.(*)
Joshua KVFSqvhCDiWDqMBJJJp 6 26 2022 buy generic cialis online cheap Determination of whole body composition