Manokwari, Bumiofinavandu – Menjelang peringatan 25 Tahun berdirinya Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, kami mencatat bahwa negara Republik Indonesia belum sama sekali belum melakukan upaya nyata dan riil dalam menyelesaikan 2 (dua) akar masalah mendasar di Tanah Papua.
Kedua masalah tersebut adalah pertama, masalah perbedaan pemahaman terhadap sejarah Tanah Papua. Kemudian yang kedua ialah penyelesaian masalah dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang berat di Tanah Papua. Persoalan distorsi pemahaman akan sejarah Tanah Papua sungguh nyata dan hingga kini terus menuai korban, misalnya yang terjadi baru-baru saja ini di sekitar arena penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) ke-XX Papua ada mama-mama asli Papua yang “dilarang” menjual atribut gelang dan noken bermotif bendera Bintang Fajar (Kejora).
Bahkan sebelumnya, offisial dan atlit dayung asal Provinsi Papua Barat “dilarang” memakai kostumnya yang “dicurigai” bermotif bintang Fajar (kejora). Bahkan ada seorang penonton pertandingan sepakbola yang “ditangkap” oleh aparat keamanan karena kedapatan menggunakan kaos dalam bermotif bendera Bintang Fajar/Kejora juga.
Pengamanan yang terkesan over protective seperti ini sudah seringkali terjadi di seluruh Tanah Papua. Sementara Negara sendiri tidak pernah mau menyelesaikan persoalan perbedaan pemahaman mengenai sejarah tersebut melalui jalan damai seperti dialog.
Sedangkan pada bagian lain, berbagai kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat belum pernah mendapat perhatian dan penanganan secara memadai dan memenuhi standar prosedur hukum yang diatur di Indonesia. Kasus Wasior 2001, Kasus Wamena 2003 dan Kasus Paniai 2014 hingga dewasa ini tak pernah terselesaikan secara hukum. Meskipun negara Indonesia telah memiliki seperangkat aturan perundang-undangan yang mengatur prosedur dan mekanisme penyelesaian kasus secara hukum. Misalnya adanya UU No.39 Tahun 1999 Tentang HAM dan UU No.26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM.
Kendatipun penyelidikan awal terhadap ketiga kasus dugaan pelanggaran HAM di Tanah Papua tersebut sudah dilakukan oleh lembaga yang berkompeten seperti Komisi Nasional (Komnas ) HAM. Kebiasaan negara seperti demikian semakin memupuk suburnya impunitas yang mengemuka terus di dalam sebuah negara demokrasi terbesar keempat di dunia saat ini.
LP3BH Manokwari karena itu mendesak Presiden Republik Indonesia Ir.H.Joko Widodo untuk memulai langkah nyata dengan menunjuk seorang tokoh kunci dalam mempersiapkan dialog damai di Tanah Papua. Dalam menjalankan tugasnya, tokoh kunci dialog damai ini berhubungan langsung dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) serta memiliki akses bertemu semua pihak yang penting di Tanah Papua dan Jakarta.
Rekomendasi kami yang berikut agar Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) mengenai pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sesuai amanat pasal 45 UU No.21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sebagaimana dirubah dengan UU No.2 Tahun 2021 saat ini.
Yang terakhir, Presiden Jokowi dapat bekerja sama dengan Gubernur Papua dan Papua Barat untuk melakukan revisi terbatas pada pasal 45 UU Otsus Papua mengenai Perwakilan Komisi Nasional (Komnas) Papua menjadi Komisi HAM Daerah Papua dan Papua Barat. Sehingga komisi tersebut bekerja langsung di bawah kedua Gubernur untuk memulai langkah strategis dalam upaya penyelesaian kasus dugaan pelanggaran HAM di Tanah Papua. Dirgahayu LP3BH Manokwari ke-25 Tahun, 12 Oktober 2021. Yan Christian Warinussy, Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari.(*)
(Rilis dari Y. C. Warinussy yang diterima Bumiofi pada Minggu(10/10/2021).
relaxing piano music