Artikel ini merupakan sebuah narasi dan refleksi atas mozaik-mozaik pengalaman saya, ketika Tanah Papua bergejolak pada Agustus hingga September 2019 lalu.
Saya pernah memublikasikan artikela-artikelnya pada blog pribadi saya yang tidak bisa diakses itu, dan dipublikasikan kembali sekadar memperkaya informasi dari sisi yang lain—dengan harapan—Papua damai sebagaimana slogan “Papua Tanah Damai” yang familiar bagi kitorang di tanah ini.
Tiga artikel yang dipublikasikan 2019 lalu itu, kini disatukan menjadi tiga bagian di dalamnya, mulai dari pemutusan jaringan internet, insiden Jayapura hingga Wamena. Oleh sebab itu, saya menggabungkannya menjadi satu artikel panjang dengan judul Papuaku oh Papuana. Sebagian dari kasus-kasus atau kejadian yang disebutkan dalam artikel ini sudah diselesaikan—atau barangkali masih harus diselesaikan.
Papua oh lain
Dulu Waktu Indonesia Timur (WIT) tiap Sabtu dan Minggu malam, adalah acara hiburan yang paling sa tunggu. Tapi, setelah satu tahun acara itu su berhenti. Pasalnya dong kasi berhenti karena alasan rating.
Sa menyesal. Kecewa juga tentunya. Kenapa? Karena sa tra akan nonton lawakan cerdas dan kritis lagi.
Selain itu, dong kemas itu acara dengan beragam sesi—mop, rayuan maut, tanya jawab, dll. Apalagi kawan-kawan dong yang main itu bukan asal pemain.
Dong itu, orang-orang yang—paling tidak—kadar komedinya sudah teruji. Alumni stand up comedy Indonesia dan stand up comedy academy.
Tentu kitong berharap agar anak-anak muda berbakat dari “negeri matahari terbit” itu, tidak sekadar melucu dengan mengeksploitasi fisik, seperti kebanyakan lawak yang sa pernah tonton di negara ini.
Artinya, ada suara-suara minor dan pesan kritis, yang seharusnya kawan-kawan dong sampaikan dengan bungkusan komedi. Kira-kira begitu.
Setelah aksi rasisme pecah dan demo tolak rasisme dan referendum ramai di Papua, Indonesia, bahkan dunia, acara Waktu Indonesia Timur nongol lagi, Sabtu malam, 24 Agustus 2019. Sa dan kawan-kawan rakat Manggarai menonton dorang, sambil makan ubi kayu (Manihot esculenta) satu baskom dengan kopi hitam.
Senin malam, 26 Agustus 2019, dong juga ada tayang. Dulu hanya Sabtu dan Minggu, kini Senin juga.
Kawan-kawan dari timur dong hadir lagi meski itu mungkin acara lama dan sudah diunggah ke youtube. Paling tidak, mereka bikin kitong ketawa seperti ombak pica-pica di batu karang. Ya, begitulah ketawa khas kami ana-ana timur, baik timur jauh, maupun timur tenggara.
Kadang-kadang, ketawa adalah obat untuk mengeritik tindakan atau kebijakan negara, yang tanpa memikirkan dampak luas bagi masyarakat atau warga negaranya. Misalnya memblokir sambungan internet.
Bisnis dan pekerjaan yang mengandalkan internet su setengah mampus saat akses diblokir. Apalagi pekerjaan jurnalistik yang memerlukan kecepatan, verifikasi dan konfirmasi.
Tapi, mau protes? Eh, rakyat kecil ko siapa jadi. Epen ka deng kam. Mungkin begitu hati kecil orang-orang berkuasa. Hati takis ooo. Kawan sa bilang, jika seperti begitu, memang demikian tampak luar negara kolonial selain membunuh rakyatnya yang seharusnya dilindungi.
Usai demo 19 Agustus 2019, malam harinya sambungan data internet telkomsel di Papua mati. Hingga Selasa, 27 Agustus 2019, saat saya merampungkan tulisan ini bahkan masih demikian.
Sedangkan jaringan indihome aman-aman saja. Artinya kitong masih bisa mengakses jaringan internet meski harus menumpang wifi, dengan menanggung malu dan menguras dompet, untuk mengirim berita.
Tapi, telkom juga mengeluh. Manajer Jenderal Telkom Witel Papua, Sugeng Widodo ke Cepos, Jumat (23/8/2019) bilang, dong juga mengalami penurunan kapasitas bandwith sejak Kementerian Komunikasi dan Informasi mengeluarkan rilis pemblokiran akses internet di Papua dan Papua Barat.
Aksesnya lambat. Lola alias loading lambat atau lemot katanya. Macam siput ato tete ruga pu jalan ka ini.
Apes, Minggu sore, 25 Agustus 2019, jaringan indihome juga mati total. Kecuali ada satu hotel di Jayapura, sehingga warga kota ini berbondong-bondong ke sana.
Namun, Senin sore, 26 Agustus 2019, jaringan internet hidup lagi. Sekitar beberapa menit. Sa su senang karena bisa mengakses informasi di internet dan mengirim berita melalui pos elektronik.
Semangat itu segera hilang, karena hingga coretan ini selesai, tetap saja no access. Niat mengunggah video pemandangan Jayapura ke youtube terpaksa batal juga. Di situ memang kitong merasakan bahwa online di Papua sedang berjalan mundur, dan begitu susah di saat gencarnya kampanye dengan sebutan empat koma (titik) nol.
Memang online di Papua (meminjam istilah kawan Abdur SUCI 4) betul-betul oh lain. Papua oh lain. Seolah-olah Papua bukan Indonesia.
Memangnya apa yang mau disembunyikan negara dari Papua? Tangkal hoaks? Operasi militer? Illegal logging? Membendung aspirasi Papua merdeka? Membatasi kabar demo tolak rasisme?
Hal-hal semacam ini justru memperkuat rasa solidaritas dan empati antarsesama masyarakat untuk—meminjam istilah penyair Wiji Tukul (dan Komite Nasional Papua Barat): lawan.
Jika aspirasi tidak diindahkan, jika hak dan kebebasan dibatasi, jika dianggap subversif, hanya ada satu kata: lawan. Kira-kira begitu. Melawan arogansi kekuasaan.
Hemat saya, pemblokiran akses internet adalah jalan pintas—kalau tidak mau disebut lari dari kenyataan untuk menyelesaikan masalah Papua yang super kompleks.
Itu bukanlah cara bijak di era keterbukaan informasi, meski pemerintah berdalih menemukan 33 konten dengan 849 tautan hoaks dan provokatif tentang Papua disebarkan ke akun-akun instagram, twitter dan youtube seperti dilaporkan Cepos, Selasa, 27 Agustus 2019.
Dalam konteks jurnalisme, harus diakui, bahwa pembatasan akses internet juga bagian dari pembatasan aktivitas pers. Jurnalisme betul-betul dibatasi di sini.
“Bagaimana mo kirim berita sementara internet mati begini?” kata kawan saya, Titus Ruban.
“Sudah. Ko tulis baru telpon ko pu redaktur dan dikte atau bacakan saja ko pu berita,” saya menjawabnya sekadar menghibur, kalau-kalau tidak solutif.
Solusi ini solutif, karena saya pernah mengalaminya. Kawan saya, kontibutor di daerah Sorong, Papua Barat, Nes Makuba, mengirim berita via pesan singkat atau SMS karena jaringan internet putus. Satu-satunya cara ketika itu adalah dia mengirim SMS dan saya stand by di ruang redaksi, untuk mengetik ulang SMS tadi di komputer.
Jurnalisme (pers) adalah aktivitas menyampaikan fakta dan kebenaran melalui banyak cara. Kitong menyampaikan kebenaran melalui media cetak atau tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta grafis, adalah bagian dari jurnalisme. Itu tadi, menyampaikan fakta dan kebenaran.
Franz Magnis Suseno dalam “Kuasa dan Moral” (1988:121) menulis, bahwa pers sebagai sumber informasi, pasar ide atau aspirasi masyarakat. Sebagai sumber informasi, pers mendestruksikan segala usaha untuk menyembunyikan fakta yang sebenarnya.
Tapi, lagi-lagi, kitong tra bisa dengan bebas memanfaatkan hak digital, untuk menyampaikan kebenaran kepada publik, sejak internet putus Senin malam, 19 Agustus 2019.
Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFE-Net), seperti dilansir Kompas, 23 Agustus 2019, bahkan membuat petisi melalui Change.org agar internet di Tanah Papua dinyalakan.
Tapi, pemerintah tetap tak bergeming, bahkan ada pernyataan bahwa trada akses internet juga Papua bisa hidup.
Eh, kalo begitu Papua juga bisa hidup tanpa Indonesia kok. Keep smile! “Sudah, itu saja,” kata sa pu kawan suatu kesempatan.
Tiadanya akses internet di Papua memang bukan barang baru. Tahun sebelumnya pernah terjadi. Sambungan internet mati total karena kabel serat optik di bawah laut perairan Sarmi putus. Berbulan-bulan malah.
Itu memang karena gempa meski kitong juga tra tahu apa yang sesungguhnya terjadi to.
Sa tra bilang itu “disengaja” atau mungkin “sabotase”, tapi kalo, misalnya, kitong mem-framing Papua sebagai daerah yang harus diisolasi, maka tra salah juga kalo kita harus skeptis dan berspekulasi seperti itu. Ai mama sio saja.
Menurut Direktur Eksekutif Institute For Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara (Kompas, 23 Agustus 2019), pemblokiran akses internet di Papua dan Papua Barat, merupakan tindakan sewenang-wenang, dan itu tidak sesuai kewenangan pemerintah sebagaimana dalam pasal 40 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Pembatasan akses informasi juga melanggar pasal 28F UUD 1945 dan Pasal 19 DUHAM, sebagaimana diserukan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.
Tapi begitu sudah. Internet tetap saja mati. Sejak demo tolak rasisme pecah. Dan memang kita harus menolak rasisme, karena kita adalah manusia yang dicitrakan seperti gambaran Allah (Imago Dei), bukan binatang.
Sambil menunggu “hari baik”, sa menulis celotehan ringan ini sembari menyeruput kopi dan menonton Waktu Indonesia Timur. Kawan-kawan dong datang menghibur kitorang. Dong datang lagi dan bikin kitong ketawa sambil oh (Papua) lain.
Meski itu acara lama dan mungkin su diunggah ke youtube, toh kita bisa hibur diri. Ketawa pica dan bernyanyi ria: “itulah Endonesa”.
Kalau Indonesia tetap bikin Papua oh lain. Maka jangan menyesal bila kelak Papua menghadap Pasifik dan punya “rumah” sendiri bernama negara Papua. Hadeh, macam lagu saja: “Lebih baik di sini. Rumah kita sendiri”. Oh (Papua) lain memang!
Huru-hara di Jayapura
Tak ditemukan kendaraan di jalanan ini. Hanya beberapa kios yang buka. Dua atau tiga orang berkumpul. Seratus meter dari mereka, dua anak masih bermain badminton. Selebihnya entah. Jalanan lengang.
Saya melirik jam di telepon seluler. Pukul setengah enam sore. Perumnas 2 Waena, Distrik Heram.
“Malam ini kerja ka?” Tanya Kaka Yafas, saat saya menyamper rumahnya dan meminta kunci kantor.
“Itu yang saya mau tanya.”
Kantor ini pintu pagarnya menghadap ke selatan. Pagarnya masih terkunci. Tidak ada motor dan mobil yang diparkir di sini. Orang-orang kantor sepertinya sedari tadi pulang.
Saya menelepon Miky, kawan sekantor. “Nomor yang Anda tuju tidak menjawab.”
Saya tidak mau tidak mendapatkan informasi. Saya lantas menelepon si Dikruz, kawan lainnya. Jawabannya hampir sama: nomor yang Anda tuju sedang sibuk.
“Sa kasi kunci tapi sa tidak bertanggung jawab ee,” jawab Kayafas.
Dia berdiri di depan rumahnya. Saya mengobrol dengannya dari balik pagar. Persis rumah beliau berhadapan dengan depot air isi ulang. Bersebelahan dengan tempat kami mencari nafkah.
Tidak biasanya Yafas mengatakan hal seperti itu. Agaknya Jayapura tidak aman. Tapi saya harus memastikan bahwa dugaan saya salah.
“Besok baru cetak tapi ko siap saja materi,” kata Dikruz di ujung telepon.
“Baik sudah.”
Tidak lama kemudian Yopin muncul. Kami bertiga tetap di sini. Mencari kepastian informasi. Mencari tahu informasi yang pasti. Setelah itu bubar. Saya, Dikruz, Miky, Kaka Yayas, Yopin adalah karyawan satu kantor.
Adik laki-laki pergi sejak kemarin. Belum kembali. Namanya Si Liano. Saya harus bisa memastikan bahwa dia aman. Saya masih kepikiran tentang Jayapura beberapa tahun silam.
Ketika itu, 14 Juni 2012, Mako Tabuni dari Komite Nasional Papua Barat, ditembak di kawasan Perumnas 3 Waena, Distrik Heram.
Beberapa hari menjelang kematian beliau, kematian beruntun. Mulai dari penembakan misterius peneliti berusia 50-an tahun asal Jerman bernama Dietmar Pieper di kawasan Base-G, Distrik Jayapura Utara, 29 Mei 2012, hingga pembunuhan misterius Satpam Supermarket Saga Abepura, suatu malam.
Sekitar dua minggu Jayapura sepi. Sejak pukul 5 sore, Abepura seperti pukul 3 atau 4 dinihari. Bahkan bunyi lalat dan nyamuk pun terdengar. Abepura seperti kota mati.
Apakah ini pola cipta kondisi? Saya tidak tahu. Yang pasti seminggu Jayapura sedang hangat-hangatnya. Berawal dari kematian di Base-G dan Abepura, hingga penembakan di Waena.
Tiga tahun sebelumnya. Saya baru dua bulan tinggal di Jayapura. Kami terjaga dan dikagetkan pada dinihari, 9 April 2009. Rektorat Universitas Cenderawasih di Waena dikabarkan terbakar.
Sepaginya Polsek Abepura, yang berada di Jalan Dewi Sartika atau sekitar Lingkaran Abepura, diserang sekelompok warga. Ditemukan satu orang tewas usai penyerangan. Mayatnya tergeletak di got. Persis di dekat Tugu Pelajar Lingkaran Abepura.
Hari kesembilan di bulan keempat ini, merupakan pekan Paskah. Dalam tradisi Kristiani Katolik, pekan paskah dimulai Minggu Palma dan berakhir pada hari raya Paskah, hari Minggu berikutnya.
Sebentar sore adalah misa Kamis putih. Saya dan Om Karlos tidak ke gereja. Bertahan di rumah indekos karena malaria. Di rumah indekos yang berada di Kampkey, Distrik Abepura ini, saya dan Om Karlos tinggal bersama Om Evan.
Karlos dan Evan adalah kakak beradik. Masih kuliah di Uncen. Satu Bahasa Indonesia. Dan Om Evan Bahasa Inggris. Keduanya saudara sepupu mama. Saya tetap memanggil mereka om karena memang dalam hubungan keluarga kami, mereka adalah om. Meski usia kami terpaut dua sampai tiga tahun, panggilan itu tetap melekat.
Kamis siang ini, adalah hari pemilihan legislatif. Bertepatan dengan Kamis Putih dalam tradisi Kristen Katolik.
Saya memicing mata keluar jalan. Hanya beberapa orang yang melintas. Entah pergi-pulang mencontreng di Tempat Pemungutan Suara.
Kabar tersiar begitu cepat. Kabar miring yang bikin jantung berdebar lebih cepat dari biasanya. Ndatat. Kami hanya berdiam di sini. Tak ke gereja sore hingga malam ini.
Sementara kawan-kawan kami masih bertahan di Gereja Gembala Baik. Malam ini informasi tersiar cepat melalui SMS berantai. Diisukan akan ada gelombang penyerangan terhadap warga. Besar-besaran. Karenanya, kawan-kawan memilih bertahan di kompleks gereja.
belakangan baru diketahui, bahwa itu hanya radio mulut dan Jayapura aman-aman saja. Puji Tuhan semuanya berlalu. Hingga tiba pada Rabu kelabu, 19 Oktober 2011, di Abepura.
Siang menjelang, kampus-kampus sepi. Pertokoan di kawasan Abepura dan Padangbulan ditutup. Sekolah-sekolah di Abepura memulangkan murid-muridnya.
Di belakang SMA Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik Santu Paulus Padangbulan Abepura, ada lapangan bola. Namanya lapangan Zakeus.
Di sini, Kongres Rakyat Papua III dihelat. Hari ini adalah hari terakhir atau penutupan kongres, setelah dimulai 17 Oktober 2019.
Beberapa titik di Abepura dan sekitarnya siang ini, terlihat aparat gabungan TNI-Polri. Baraccuda dan personil gabungan siaga di beberapa titik. Saya membayangkan bahwa Abepura seperti perang.
Saya dan beberapa kawan jurnalis tidak ke lapangan Zakheus. Kami hanya memantau perkembangan situasi dari kantin Kantor Pos Abepura.
Saban hari kawan-kawan jurnalis nongkrong di kantin ini. Selain karena makanannya ramah saku dan dianggap lebih higenis, letaknya strategis. Berada di jantung Abepura. Berhadapan dengan Lampu Merah Abepura.
Makanya tempat yang berdampingan dengan Gereja Gembala Baik Abepura ini, menjadi “tempat terbaik” untuk makan, mengetik berita, dan berdiskusi.
Tiba-tiba, Padangbulan dan Abepura pecah saat siang. Masyarakat kocar-kacir. Lari berhamburan. Ada yang ditangkap. Dibui. Dan lainnya entah.
Keributan pecah usai bintang kejora naik di kerumunan massa kongres.
Langit Abepura laksana halilintar oleh tembakan setelah kenaikan bintang fajar. Kami memilih bertahan di Kantin Pos, hingga memastikan situasi pulih.
Sore harinya, saya mengamankan diri di Gereja Gembala Baik, sebelum akhirnya pukul 7 malam, ke rumah kos di kawasan Perumnas 2 Waena.
Di jalanan sirene masih mengaum-ngaum saat saya balik ke rumah kos.
Gereja Gembala Baik adalah tempat bagi kami berdiskusi. Sesekali bersama beberapa fratres Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur Abepura, yang kebetulan ke sini. Wisma para fratres dan pastor diosesan Keuskupan Jayapura memang di kompeks gereja.
Lagi pula koster Gembala Baik berasal dari Manggarai, tepatnya Pacar, Manggarai Barat. Dia adalah mahasiswa program studi Bahasa Indonesia Universitas Cenderawasih. Namanya Paskalis, dan kompleks gereja ini hanya seratusan meter saja dari kampus Uncen dan Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ), di Padangbulan. Jadi, di sini kami biasa berdiskusi sambil reuni antaranak rantau, yang mengadu nasib di Papua.
Itulah potongan fakta yang tercecer yang masih saya rekam dalam ingatan dan kata-kata. Kalau pun ada yang terlupakan, setidaknya saya tidak mau mengulang pengalaman-pengalaman seperti tadi itu.
Oleh sebabnya, saya mengkhawatirkan adik laki-laki, si Liano tadi. Jangan sampai terkena peluru nyasar atau terjebak dalam ketakutan. Karenanya, saya memastikan dia aman-aman saja.
Saya lantas menelepon kawan-kawan. Mau mengkonfirmasi situasi terkini.
“Adik, bagaimana Jayapura?”
Tiba-tiba om Fidelis menelepon saat malam usai magrib. Dia adalah jurnalis senior yang tinggal di Merauke. Pernah memimpin majalah mingguan Pelita Papua.
Tapi setelah itu, edisi keduanya ditutup, pasca dia diinterogasi lantaran sampul majalahnya bergambar bintang kejora. Dia juga pernah pimpin koran Bintang Papua. Setelah dua atau tiga edisi, koran yang berkantor di Kotaraja Luar, bersebelahan dengan pompa bensin dan kantor Majelis Rakyat Papua (MRP) ini, gulung tikar.
“Haeh, Om tidak di Jayapura ka?”
“Sa di Merauke, Ase.”
“Ole Om begitu ka?”
“Iyo, Ase. Sa dengar ada wartawan dapat tembak. Betul ka?”
“Aeh, sa belum dengar itu, Om.”
“Sa dengar begitu jadi sa pastikan. Kalo begitu itu hoaks.”
“Ta Om, memang demo tadi dan banyak massa longmarch.”
“Iyo, katanya ada lempar tadi di GA (Grand Abe Hotel).”
“Saya belum tahu itu tapi di berita tadi ada. Katanya di pinggir jalan ada lempar-lempar. Kantor MRP terbakar.”
“Baik sudah, Ase. Tadi liput ka?”
“Aeh, tidak Om. Sa pantau dari rumah saja.”
“Baik sudah, Ase. Jaga diri saja.”
Setelah itu telepon ditutup. Obrolan campur-aduk bahasa Manggarai dan Indonesia dialek Papua. Sesuatu sekali.
Di luar masih seperti tadi sore saat sa ke kantor. Jalanan sepi. Hanya beberapa motor dan beberapa pejalan kaki.
Saya menelepon dua saudara di Army Post Office atau APO, Distrik Jayapura Utara, Yosep dan Leonardus. Saya hanya mau memastikan kabar mereka dan informasi terkini di sana.
Tapi tak satu pun ponsel dua saudara ini yang aktif. Belakangan diketahui listrik mati. Sambungan telepon juga terganggu, dan baru terkoneksi pukul 12 malam.
“Di situ situasi bagaimana?” Sa tanya saudara De Bale, yang tinggal di sekitar Lampu Merah Waena.
“Sepi e. Tadi sa pulang kerja jam 3. Lewat jalan baru.”
“Iyo, sa mau tanya saja. Menurut berita kantor MRP dan Telkom terbakar.”
“Saya tra tau karena sa lewat jalan baru tadi.”
Kemudian sa menelepon Stefanus, kawan si Yuliano. Siapa tahu mereka sedang bersama dan tak perlu dikhawatirkan.
“Ce’e Padangbulan, Kae.”
“Oh, nia Liano?”
“Am lau kos, Kae.”
“Eng tae hia neka jide-jadek kaeng kat one kos.”
“Iyo, Kae.”
Malam makin menyelimuti Waena. Jalanan masih sepi. Padahal baru jam 7 malam. Saya menelepon saudara Hendraduz, yang kuliah di Uncen dan nyambi bekerja di salah satu rumah makan milik pamannya, di kawasan di Waena, Jalan Raya Abepura – Sentani.
“Warung bagaimana?”
“Ole warung dapat lempar. Kaca ada pecah. Ini ditempel tripleks.”
“Oeh, warung tida buka ka?”
“Sekarang tutup dan tidak ada yang lewat di jalan.”
“Baik hati-hati saja e, kitong baku kabar.”
“Iyo, bangunan di sebelah ni juga dapat lempar.”
“Olee, begitu ka?”
“Eh, iyo ee.”
Saya lalu nonton bersama dua saudara: Hironimus Rodriquez dan Alexander. Di televisi muncul berita tentara dapat panah. Kejadiannya Kamis siang tadi di Deiyai, sebuah kabupaten pemekaran di wilayah pegunungan.
Sang tentara kini dievakuasi ke Rumah Sakit Timika. Mayatnya mau dibawa pulang ke Palembang, Sumatra Selatan.
Dari Deiyai kemudian dilaporkan Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Dekenat Paniai, Keuskupan Timika. Bahwa insiden ini mengorbankan delapan warga sipil yang tewas, 39 luka-luka, sedangkan di pihak TNI-Polri sebanyak sembilan orang mengalami luka-luka.
Lalu kami ganti chanel lagi. Gonta-ganti dengan acara hiburan. Atau memastikan ada televisi yang memberitakan Papua, meski hanya narasumber di Jakarta.
Praktis hanya saluran Kompas TV yang kami buka. Kawan Findi Rakmeni, yang berasal dari Pulau Timor, melaporkan kepada Kompas TV dari tempat kejadian peristiwa di Jayapura ke studio di Jakarta.
Hingga siang ini, saat saya melanjutkan tulisan huru-hara ini, 29 Agustus 2019, internet mati total. Sejak sepuluh hari yang lalu. Maka pilihan informasi adalah televisi. Satu dua kali baca koran kemarin. Internet, ya selamat tinggal.
Sedang menonton, suara mama di ujung telepon. Bagaimana pun, keluarga pasti mengkhawatirkan anggota keluarganya, bila berada di daerah yang dikabarkan terjadi gejolak.
“Ini baru pulang reis mereka pulang wagal,” kata mama di ujung telepon.
Kebetulan sore ini keluarga di kampung baru pulang wagal. Secara sederhana wagal adalah salah satu prosesi adat, yang mana keluarga pihak laki-laki mendatangi kampung dan keluarga pihak mempelai perempuan.
Di saat wagal, terjadi kesepakatan dua pihak usai melalui proses yang alot. Proses negosiasi yang panjang kemudian melahirkan keputusan, untuk memberikan paca atau belis (maskawin) kepada keluarga perempuan.
“Berapa paca-nya?”
“Lebih dari Rp 50 juta.”
“Ckckckk.”
“Asa ase?”
“Aeh aikn one meseng main moran ga,” saya menjawab karena jengkel, sebab si adik ini kepala batu dan suka keluyuran.
“Ta nana neka pande jantung aku!”
“One kos de teman e mama. Jera laku maram toko nitu landing neka jide-jadek.”
“Eng de, Dè dia lau itu.”
“Aman-aman ta mama.”
Malam pun terus berjalan. Di luar tidak ada motor atau mobil yang lewat. Hingga saya menulis catatan ini, pukul 20.59, Kamis, 29 Agustus 2019, masih sepi.
“Saya takut, Tuhan! Tidak biasanya seperti ini. Bantu saya!”
Saya membatin sebelum akhirnya tertidur. Jumat dinihari, 30 Agustus 2019, saya tiba-tiba terbangun. Oh, Puji Tahun hari baru su tiba. Semoga damai jangan pergi dari tanah kami ini. Entah sebentar atau esok hari.
Apakah Jayapura masih seperti kemarin? Di beberapa ruas jalan masih sepi. Hanya beberapa kendaraan yang lewat.
Sementara pertokoan dan kios-kios di pinggir jalan urung dibuka. Kios-kios dan warung makan di pinggir jalan Raya Abepura-Sentani dikabarkan sebagiannya terbakar. Info lainnya dilempar batu. Kaca-kaca pecah.
Saya punya perut terus berbunyi berbarengan dengan waktu yang terus berputar. Busyet! Beras habis. Mau beli beras dimana malam-malam begini? Trada toko-toko penjual beras yang buka, sehingga kami hanya memakan mie instan. Dibeli dari kios kecil sebelah kos.
Dari kabar yang beredar pompa bensin juga tutup. Dan memang benar ditutup. Banyak yang mengeluh karena motornya kehabisan bensin.
“Banyak yang mau beli bensin eceran tapi su trada,” kata kawan saya, sambil mengecek motornya.
Bahkan untuk membeli pulsa juga masih susah. Di kios-kios atau konter kehabisan pulsa atau entah dilarang menjualnya.
“Saya tadi lama cari pulsa. Susah dapatnya. Dapat hanya pulsa 10 ribu seharga Rp 15 ribu,” kata kawan saya, setelah mengecek konter hingga Lampu Merah Waena, dari Perumnas 2 Waena.
Menurut informasi yang beredar itu karena dilarang. Aparat misalnya, melarang membuka toko atau pompa bensin. Mereka berdalih tidak bertanggung jawab, kalau-kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Makanya lebih baik memilih tutup.
Demo Kamis ini, memang lain dari hari pertama, 19 Agustus lalu, yang aman-aman saja meski massa berjubelan. Diperkirakan ribuan banyaknya.
Kali ini beda memang. Apakah ada semacam grand desain, agar Papua ini dibikin jadi lahan konflik? Ataukah ada faktor pemicu lainnya? Pertanyaan ini terus menggema dan merasuk pikiran saya sejak saya menjadi jurnalis pada media Jubi, bila terjadi gejolak di Tanah Papua.
Tapi ada yang pasti, bahwa rusuh ini bermula dari aksi rasisme di Surabaya, Jawa Timur, menjelang 17 Agustus 2019. Papua lantas jadi membara. Huru-hara di beberapa kota. Di Fakfak, Manokwari, Sorong, Provinsi Papua Barat, dan Deiyai, Timika, dan kini ribut kembali ke Jayapura, ibu kota Provinsi Papua.
Di berita televisi, polisi sudah menangkap beberapa pelaku dan saksi dalam aksi di Jawa Timur itu, yang kemudian diproses hukum, sedangkan mahasiswa Papua yang dituding menjatuhkan bendera ke got lalu diteriaki rasis, tak ditemukan kesalahan oleh polisi usai diperiksa.
“Biarkan hukum berjalan sesuai koridornya. Seadil-adilnya. Bila perlu polisi harus menangkap sekalian dengan otaknya. Kitorang yang tra punya apa-apa tetap berharap, bahwa Tuhan menghentikan huru-hara ini. Apalah arti seruan Papua Tanah Damai, kalau damai itu palsu,” begitu saya membatin.
Bicara tentang Papua memang rumit. Masalahnya sangat kompleks. Tidak hanya soal sejarah yang perlu diluruskan, tapi juga soal kemiskinan, kesejahteraan, pendidikan yang tidak merata, kesehatan, alih fungsi lahan, illegal logging dan illegal mining, migrasi, dan baku tembak antara TNI-Polri vs Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat – Organisasi Papua Merdeka (TPN PB/OPM), hingga insiden di Nduga, yang pecah sejak awal Desember 2018. Baku tembak kemudian mengakibatkan warga sipil jadi korban. Semacam sebuah ironi di atas negeri, yang kekayaan alamnya melimpah ruah.
Deretan masalah-masalah di atas menjadi buncah, hingga yang terakhir dan membuat mata dunia dan Indonesia membelalak adalah rasisme. Memang semua masalah di tanah ini harus diselesaikan seadil-adilnya.
Saya kadang-kadang berpikir, apakah daerah-daerah yang alamnya kaya raya justru dibiarkan atau ditakdirkan menjadi ladang konflik dan kepentingan global? Saya hanya berharap, bahwa damai tetap ada di Papua.
Minggu, 1 September 2019, saya masih tidur pada pukul 8 pagi. Dari balik telinga saya terdengar suara telepon adik Stefanus.
“Jangan pergi kerja dulu ada kaco di Kampkey,” begitu saya dengar suara obrolan di ujung telepon, Stefanus dengan kawannya.
Saya langsung terbangun. Kaget setengah mati. Dua saudara saya lainnya masih tertidur. Minggu dinihari terjadi penyerangan terhadap penghuni asrama Nayak di sekitar Lampu Merah Kampkey dan pertokoan Garuda, oleh sekelompok warga.
Peristiwa yang pecah bersama rintik hujan dan terdengar tembakan itu, berangsur pulih ketika hari sudah pagi, saat saya bangun. Satu mahasiswa menjadi korban timah panas. Tewas. Beberapa lainnya luka-luka.
Kawan saya, Benny Bame, melaporkan kepada saya per telepon seluler, bahwa adik laki-laki yang tewas dan sedang di Rumah Sakit Abepura pagi menjelang siang itu, bernama Michael Kareth, mahasiswa berusia 20 tahun.
Awalnya Michael bersama kakaknya mau mengecek keributan di sekitar kompleksnya. Namun nahas menimpa Michael. Nyawanya direnggut timah panas, yang katanya peluru nyasar.
Gila. Aksi Minggu dinihari atas rencana siapa? Kok tega-teganya bikin aksi di saat umat beriman siap-siap beribadah? Entah seperti apa kota Jayapura ke depannya.
Lagi-lagi, huru-hara ini bermula dari Jawa Timur: bermula dari teriakan rasisme dan persekusi sekelompok orang kepada sejumlah mahasiswa Papua, hingga aksi protes pecah di seluruh tanah Papua.
Korban nyawa merenggut. Ada juga yang dibui. Dituduh macam-macam sesuai pasal yang disangkakan. Hukum harus adil. Tak boleh pilih kasih. Jangan tebang pilih.
Tangkap juga otak di balik semua ini: mulai dari aksi rasisme sampai berdampak huru-hara dan korban nyawa, dan ketakutan melanda. Rasa was-was usai kejadian ini memang semacam teror psikologis, yang merebak ke mana-mana.
Teror psikologis ini akhirnya membenturkan kelompok warga. Kemudian terjadi saling curiga. Orang sini dan orang sana. Jadi, takut keluar malam-malam. Maka pilihannya adalah berdiam diri saja di rumah.
Model teror psikologis seperti ini laiknya di film-film perang. Dihantui rasa takut. Itu kan di film. Ini fakta di depan mata, kawan!
Tapi memang bicara film berarti ada sutradara, plus pemain film dan para anggota kru. Seperti juga dalam permainan catur. Analogi catur bagi saya, sangat mengena, sebab saya menyukai permainan ini. Mulai dari raja hingga pion di barisan depan.
Pion adalah penyerang yang rentan mati, karena cuma satu langkah ke depan dan tra bisa melangkah mundur. Bisa dua langkah maju sebelum garis batas.
Jika pion adalah analogi manusia, barangkali 16 pion berpikir, bahwa mereka memiliki bekingan pasukan kuda, perdana menteri atau loper, permaisuri dan benteng, sehingga menjadi pasukan “berani mati”.
Berani mati itu menjadikannya menyerang siapa saja, tanpa pikir panjang dan tanpa tahu, bahwa papan catur itu bukanlah miliknya. Papan catur hanya lahan memperebutkan kepentingan, memperebutkan juara, bagi pemain-pemain telaten yang bertanding.
Saya teringat lagu tahun 2000-an. Kala itu saya masih kecil. Dinyanyikan penyanyi di kampung tetangga. E wada (ah nasib) judulnya. Hanya beberapa lirik yang melekat dalam ingatan, terngiang di telinga, dan sesekali saya nyanyikan meski lidah saya keseleo.
“Kenapakah selalu ada yang harus disingkirkan. Kenapakah selalu ada yang harus dikalahkan. Oleh kekuasaan, oleh kesewenangan saudaranya sendiri.Kenapakah harus ada darah yang diteteskan. Kenapakah harus ada penggusuran dan pemusnahan. Sedangkan di dalam, kasih sayang Tuhan, kita bisa berbagi. E wada, e wada caul Mori mese. Sangged one lino de Mori de ngaran ta….”
Kelak ketika saya dewasa, saya segera mengetahui, bahwa lagu tersebut adalah lagunya Om Frangky Sahilatua, yang dipopulerkan Kaka Flavianus Nestor Embun Man atau Ivan Man.
Lagu itu kerap kami nyanyikan tempo dulu. Bersama kawan-kawan seusia saya. Lagunya sederhana dan mudah diingat. Tapi kami berpikir bahwa pesan perdamaiannya begitu mengena.
Semoga damai tak sirna oleh panasnya matahari dan kemilau emas di perut-perut bumi Tanah Papua, sebab konflik di tanah ini begitu kompleks.
Penyelesaian masalah Papua sejauh tidak menyentuh substansinya, tidak akan bisa diselesaikan, dan akan tetap “membara” sepanjang Tanah Papua termasuk dalam peta “Dari Sabang Sampai Merauke”.
Masalah Papua memang sangat kompleks. Tidak hanya soal sejarah yang perlu diluruskan, tapi juga kemiskinan, kesejahteraan, pendidikan yang tidak merata, kesehatan, alihfungsi lahan, illegal logging dan illegal mining, migrasi, penghormatan terhadap martabat dan budaya, serta baku tembak antara TNI-Polri vs Organisasi Papua Merdeka, pelanggaran HAM sipil politik (sipol) dan ekosob, dan rasisme, serta, trauma masa lalu atau memoria passionis.
Orang asli Papua dalam sebuah pameran hari noken, 4 Desember 2018 – Dokpri
Soal sejarah, misalnya, dalam catatan saya, hampir pasti tiap tanggal bersejarah di tanah ini selalu ada demo, untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah dan dunia soal pelurusan sejarah masa lalu.
Hari-hari yang dianggap bikin turun ke jalan, misalnya, 1 Desember 1961 yang dianggap Hari Papua Merdeka, 15 Agustus 1962 New York Agreement dan Perjanjian Roma, 1 Mei 1963 Hari Integarasi atau aneksasi dalam versi lain, 28 Juli 1965 Pembongkaran Markas PVK di Arfai dan pembantaian di Kebar, Sausapor dan Sorsel, 12 April 1967 kontrak karya PTFI antara Indonesia dan Amerika Serikat, 1 Juli sampai September 1969 Pepera (penentuan pendapat rakyat), 1 Juli 1971 Proklamasi Kabinet Negara Republik West Papua dan Militer TPN di Markas Victoria, 7 Desember 1975 sampai 17 Juli 1976/1977 Operasi Seroja daerah Meepago dan Lapago, dan 8 Januari-Mei 1996 Operasi Mapenduma, dan saya kira masih banyak lagi.
Saya kira untuk menyelesaikan masalah-masalah Papua, bukan dengan mengirim ribuan bantuan kendali operasi, menangkap aktivis dan pendemo, “membuat” konflik horizontal, membuat gerakan saya cinta NKRI, pasang bendera sana-sini, memutus jaringan internet, mengklaim “saya cinta Papua dan NKRI”, dan berkantor di Papua. Dengan kata lain, seperti ungkapan “bukan menghilangkan asap, tapi memadamkan api, tak menyediakan korek dan kayu atau semak-semak yang memicu kebakaran.”
Pada gilirannya, surga kecil yang jatuh ke Tanah Nugini ini, bukan hanya nyanyian. Bukan hanya slogan musiman. Tapi memang damai kita sepanjang masa. Jangan lagi ada yang bikin surga kecil ini jadi neraka meski semua isi perut buminya dikeruk terus. Jangan ada lagi yang direndahkan dan merendahkan.
Jangan lagi ada nyawa yang menjadi korban arogansi dan nafsu serakah yang sarat kepentingan.
Dua Tiga September
Saya kena peluru nyasar di rusuk kanan. Dua kali. Kulit saya lecet. Lalu saya berteriak.
“Tolong! Tolong!”
Beberapa waktu kemudian saya sadar bahwa saya di rumah sakit. Seorang perempuan menolong saya rupanya. Di sekitar saya darah berceceran.
“Kenapa saya?”
“Kau ditembak.”
“Tolong! Tolong!”
Lalu saya terjaga. Kaget bangun. Puji Tuhan ini hanya mimpi. Efek semalam suntuk menonton Rambo: The Last Blood (2019).
Memori dimana John Rambo terbaring lemah di rumah sakit berkat pertolongan jurnalis perempuan, tersimpan di alam bawah sadar.
Jurnalis independen itu melihat Rambo di sebuah klub malam dan membuntuti pergerakannya, hingga menolong dia dari kebengisan kartel opium Mexico.
Rambo yang berusaha mencari keponakannya Gabrielle, terpaksa berhadapan dengan tantangan ganas. Mukanya blau. Digaris pakai pisau. Berdarah-darah.
Dia harus balas dendam demi keadilan. Gigi ganti gigi, nyawa ganti nyawa.
Meski akhirnya dia menyelamatkan Gabrielle, toh keponakan yang keras kepala, imut, dan cantik itu, tak tertolong. Nyawanya tak tertolong saat perjalanan pulang ke rumah.
Sedih tentunya. Sia-sia kekuatan dan keahlian sang veteran perang Vietnam di Rambo: The First Blood (1982) itu menyelamatkan nyawa sang gadis belia.
Demikian sepotong adegan yang menjadi pengantar cerita saya hari ini, Senin, 23 September 2019. Saya tidak sedang mengulas Rambo 2019. Sebab soal itu sudah saya baca kemarin sore pada salah satu halaman harian Kompas.
Saya melihat jam pada telepon seluler. Oh, ternyata sudah pukul 9 pagi. Saya dibangunkan teriakan minta tolong lantaran peluru nyasar tadi. How pity of me. It’s only nightmare.
Ternyata di luar sana,, tiga jurnalis Papua, kawan saya, mendapat intimidasi. Mereka adalah Benny Mawel, Hengky Yeimo dan Ardi Bayage.
Benny bekerja untuk Jubi dan dan kontributor The Jakarta Post dan Ucan Indonesia—sebuah portal berita Katolik Asia. Dia menjadi jurnalis Jubi setelah menamatkan studi dari Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur Abepura, 2011 silam.
Bad Laud _ Bajak Laud, [14.08.21 07:38]
Hengky juga bekerja untuk Jubi. Lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (Stikom) Muhamadyah Jayapura ini, bergabung dengan Jubi usai Majalah Selangkah “gulung tikar”, sedangkan Ardi adalah jurnalis media online Suara Papua. Hengky dan Ardy sama-sama alumni Muhammadyah Jayapura, yang kampusnya berada di kawasan Tanah Hitam, Distrik Abepura.
Tiga kawan ini diintimidasi oknum polisi di Abepura. Dikatai sebagai media provokator saat hendak meliput pembukaan posko 700-an mahasiswa eksodus Papua di depan Universitas Cenderawasih (Uncen) Abepura.
Padahal media-media tempat kawan-kawan ini jelas. Kantornya jelas. Jubi online sudah diverifikasi Dewan Pers. Terverifikasi administrasi dan faktual oleh Dewan Pers Indonesia dengan Nomor: 285/DP-Terverifikasi/K/V/2018.
Identitas mereka juga jelas. Mereka jurnalis dan pekerjaan jurnalistik dilindungi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Pasal 4 ayat 1, 2, 3, dan 4, serta pasal 5 dan pasal 6 Undang-Undang Pers dengan jelas menyebut soal tugas dan peranan pers sebagai lembaga dan jurnalis sebagai pekerja pers.
Apa yang salah dengan mereka sehingga aktivitasnya dilarang dan dikatai provokator? Sebaiknya memang membaca dan memahami Undang-Undang Pers. Tapi, susah memang jika kita—meminjam sastrawan Pramoedya Ananta Toer—tidak adil sejak dalam pikiran terhadap sesama. Itu susah diubah. Apalagi jika dibarengi stigma.
Pengalaman tiga kawan ini mengingatkan saya pada sebuah permenungan singkat—semacam puisi—yang saya tulis ketika merayakan Hari Kebebasan Pers Sedunia, 3 Mei 2017. Judulnya “Pilihan di Jalan yang Rentan”:
“Ketika semua terlelap dalam tidur dan mimpi yang panjang kami terjaga. Tanam pantat, mata menyala menantang radiasi, otak salto-salto, terkadang limbung, tangan menahan amarah rangkaian huruf. Berkelahi dengan waktu. Tapi bukan penjaga waktu. Hanya penjaga warta.
Saban hari melahirkan kata dan kalimat. Mematuhi kaidah, prinsip dan nurani. Tapi terkadang pesimisme itu datang. Atau barangkali orang berpikir: Siapa gerangan orang ini?
Bahwa Tuhan masih sayang kitorang. Napas masih ada meski dinodai asap hingga jadi bencana bagi sesama. Kopi apalagi.
Saat jeda kurebah bersama untaian lagu jiwa. Jiwa yang mendekat rendah pada Sang Sabda. Jiwa yang terkadang layu pada luasnya kosmos. Jiwa yang meraih riuh dan damainya dekapan Alma Mater. Jiwa yang bebas bersama alam raya.
Untaian lagu batin terjelma dalam kata-kata dan tanda. Dalam teks, suara dan jejak mata. Imago Dei.
Jalan itu, jalan terjal bersama aksara yang rentan mengantar menuju pusara. Ya, jalan terjal menuju ajal katanya.
Selamat bagimu pewarta sejagat yang menjahit kata-kata. Loyalis deadline dan penjaga kabar.”
Hari Kebebasan Pers Sedunia diperingati 3 Mei. Sudah diperingati sejak disahkan PBB dalam sidang pada 1993 lalu.
Momen ini selain sebagai refleksi, juga ajakan—sedianya ada perubahan untuk para kuli tinta kita di Indonesia Raya. Saya yakin bahwa semua manusia di negara yang punya Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 ini, mengetahui bahwa pers itu pilar keempat—selain eksekutif, yudikatif dan legislatif. Oleh karenanya pekerja pers harus dijaga atau dilindungi dan dihormati sebagaimana layaknya manusia. Sebagai kawan dan sahabat. Itu saja.
Jurnalis Papua, Agustus 2013 (Ki-ka: Kaka Dhoto Eveerth, Kaka Enggo Bebo, Nayak Benny Mawel dan yang di depan itu saya, ahha) – Dokpri
Saya agak heran ketika pekerja media kemudian dicaci maki, diancam, bahkan dihabisi, apalagi—barangkali—faktornya karena rasa benci atau bisa jadi karena pemberitaannya tidak sesuai arta (arah pikiran kita), padahal ada mekanisme hak jawab.
Aliansi Jurnalis Independen Indonesia dalam sebuah siaran pers pada 2019 menyebutkan kasus-kasus kekerasan terhadap pekerja media. Pelaku kekerasannya melibatkan kelompok ormas dan para tim sukses pendukung kontestan.
Organisasi ini meriset di 20 AJI kota di Indonesia. Hasilnya bikin mulut menganga. Ada pengusiran, kekerasan fisik, hingga mempidanakan produk jurnalistik.
AJI mencatat 64 kasus selama 2018. Ini terbanyak kedua selama 10 tahun terakhir. Lalu Mei 2018 hingga Mei 2019 ada 42 kasus. Sedangkan tahun sebelumnya, Mei 2017 sampai Mei 2018, terdapat 75 kasus.
Sepanjang Mei 2018 sampai Mei 2019, yang terdapat 42 kasus itu, ada 17 kasus dengan kekerasan berupa pemukulan, cekikan dan sejenisnya, kriminalisasi tujuh kasus dan ancaman enam kasus.
AJI juga mencatat kekerasan dengan pelaku dari kepolisian. Ada 24 kasus pada Mei 2017 sampai Mei 2018, dan 14 kasus pada Januari sampai Desember 2018, dan 15 kasus pada Januari sampai Desember 2019.
Memurut Reporters Without Borders (RSF)—masih dalam rilis AJI—Indeks kemerdekaan pers Indonesia berada di urutan ke-124.
Ketua AJI Indonesia Abdul Manan bersama Sekretaris Jenderal Revolusi Riza P. mendesak aparat penegak hukum memproses dengan serius laporan kasus kekerasan terhadap jurnalis dan media.
Masyarakat dan organisasi massa juga diajak untuk menyelesaikan kasus sengketa pemberitaan, sesuai mekanisme yang diatur dalam Undang-Undang Pers. Selain itu, industri media harus memberikan jaminan perlindungan bagi pekerjanya. Sebagai pekerja profesional, jurnalis diajak tetap menjaga Kode Etik Jurnalis dan Undang-Undang Pers.
Para jurnalis di Papua juga tidak terlepas dari kekerasan seperti disinggung di atas. Menurut catatan AJI, di Papua dan Papua Barat punya 28 kasus selama periode 2006 sampai 2016. Kawan saya, Yance Wenda, juga pernah mengalami kekerasan saat meliput aksi kelompok Komite Nasional Papua Barat di Sentani, Kabupaten Jayapura.
Lantas mengapa kekerasan terhadap mereka masih terjadi? Saya kira perlu adanya literasi media bagi masyarakat. Masyarakat harus diperkenalkan dengan pekerjaan yang satu ini sejak dini.
Kembali ke kasus tiga kawan saya tadi, ketika itu sebenarnya bukan aksi demo, tapi mahasiswa-mahasiswa mau membuka posko eksodus usai mendapat intimidasi di kota-kota studinya di beberapa wilayah di Indonesia.
Setelah dibawa ke kawasan Ekspo-Waena, Distrik Heram, sekitar 10 menit ke arah barat dari Abepura, terjadi keributan.
Di sini tragedi terjadi. Huru-hara lagi. Gas air mata di sekitar kawasan Ekspo. Kemudian empat orang tewas usai pembubaran oleh aparat. Satu tentara dan tiga lainnya warga sipil (mahasiswa Papua).
Situasi jadi tegang. Senin sore hingga malam jadi sepi. Saat bersamaan, hari ini, keributan terjadi di Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya. Butuh sekitar 45 menit dengan pesawat dari Jayapura.
Oknum guru di salah satu sekolah diduga menyebut “monyet” kepada siswanya. Umpatan itu menuai solidaritas. Lalu demo. Terjadilah ricuh.
Dua puluh dua meninggal dunia dan 24 lainnya luka-luka, sedangkan 4.500 orang mengungsi. Beberapa kantor juga jadi korban.
Polisi membantah bahwa ada umpatan “monyet” atau kera oleh oknum guru. Lalu kenapa jadi meledak? Kenapa ada protes? Ada asap pasti ada api.
Saya kira, untuk menyelesaikan masalah Papua, dibutuhkan dialog, sebagaimana diperjuangkan sejumlah pihak. Dialog itu mengandaikan bahwa tidak ada lagi kepentingan terselubung, selain win-win solution dan satu kata: damai, aman, tenteram, sejahtera, dan indah.
Dalam dialog, atau apapun namanya, kita mendengar dan didengar. Berbicara dari hati ke hati. Komunikasi intrapersonal dan interpersonal dengan orang Papua.
Gagasan dialog sudah lama diperjuangkan Jaringan Damai Papua usai memetakan masalah-masalah Papua, dan kajian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang menyebut empat akar konflik Papua.
Empat akar konflik Papua menurut kajian LIPI adalah kegagalan pembangunan, diskriminasi dan marjinalisasi, kekerasan negara dan pelanggaran HAM, sejarah dan status politik Papua.
Beberapa hari terakhir pada penghujung 2019 yang “memanas” adalah soal rasisme. Korban rasisme menjadi perekat untuk menjaring solidaritas yang solid dimana-mana, hingga merembes menjadi pertumpahan darah, penangkapan aktivis Papua, pemblokiran internet, gesekan kecil dan korban harta benda.
Lagi-lagi, sepanjang senjata menjadi mulut, sepanjang penyelesaian masalah atau konflik di Papua tidak menyentuh hal-hal substansial atau akarnya, sepanjang itu pula konflik terus bergejolak dan derita tak pernah pergi. Semoga Papua, tanah yang subur dan kaya ini, damai sepanjang hayat. []
#2021