Nabire, Bumiofinavandu – Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Nabire, akhirnya menepati janjinya yakni menetapkan draf penanganan konflik sosial sebagai program prioritas. Rancangan perda ini merupakan inisiatif DPRD Nabire.
DPRD Nabire kemudian mengundang Kapolres Nabire, Dandim 1705/Nabire, para tokoh adat dan kepala-kepala suku untuk memberi masukan. Pertemuan Pun berlangsung di café Lostamasta, Pantai Manase, Kelurahan Kalibobo, Distrik Nabire pada Jumat, (25/06/2021).
“Kami undang berbagai pihak untuk berdiskusi dan memberi masukan terkait rancangan pasal-pasal dalam perda ini (penanganan konflik),” ujar ketua Bapemperda DPRD Nabire, Sambena Inggeruhi dalam pertemuan itu.
Sebab menurutnya, para kepala suku dan tokoh adat tentunya sering terlibat dalam menyelesaikan konflik-konflik dan persoalan di tengah masyarakatnya. Sehingga mereka (kepala suku) tentunya sangat paham dengan situasi yang dihadapi.
Sehingga pendapat dan masukan mendasari DPR untuk masukan dan melahirkan perdanya. Semua itu dilakukan mengingat Nabire sebagai daerah heterogen, juga seringnya terjadi konflik sosial.
“Ini yang ingin kami wujudkan sebagai lembaga representasi rakyat di Nabire. dan ini murni inisiatif DPRD Nabire,” tuturnya.
Lanjutnya, dengan pertemuan ini dirasa belum mencukupi dan mewakili seluruh elemen masyarakat dalam memberikan masukan. Sehingga, diskusi sore hari ini, tentu pihaknya akan melakukan diskusi lagi di lain waktu. Agar aspirasi dan masukan bisa menghasilkan perda yang benar-benar baik bagi penanganan konflik daerah.
“Kami rasa ini harus ada pertemuan lagi untuk menyaring lebih banyak lagi saran pendapat,” ungkapnya.
Doktor Muhadan Labolo, mengatakan mengingat raperda tersebut merupakan inisiatif Dewan, maka dewan wajib untuk mempertahankan rancangan di depan publik. Maka sebelum dipertahankan, dewan perlu membahas dengan seluruh stakeholder terkait dengan penanganan konflik sosial, khususnya yang terjadi di Nabire.
Sehingga tugasnya sebagai perancang perda penanganan konflik, perlu mendapatkan masukan dari berbagai pihak untuk dijadikan sebagai bahan dalam penyerpurnaan raperdanya.
“Sebagai perancang, tentu kami butuh masukan dari berbagai pihak guna perbaikan dan tambahan,” ujar Labolo, perancang perda penanganan konflik di Nabire.
Dia menjelaskan, potensi konflik selalu ada bahkan sejak manusia baru dilahirkan, nuraninya pasti bertengkar dan masinis juga memiliki insting. Selain itu, konflik sering terjadi antar individu dan konflik dengan berbagai kelompok. Maka tugas Negara adalah memenuhi hak asasi warganya. Maka tugas semua warga Negara adalah mengendalikan dan menangani konflik sehingga tidak terjadi.
Sebab manusia sejak lahir sudah memiliki hak asasi dan selain manusia lahir membawa insting, maka insting. Misalnya ingin memiliki istri lebih dari satu orang, atau ingin berkuasa dan sebagainya. sehingga, setiap orang memiliki memiliki hak dan insting, namun perlu dikontrol. untuk itu, Pemerintah berhak dan wajib mengelola konflik. Yakni dari Pemerintah pusat, Pemprov dan Pemkab memiliki kewenangannya masing-masing.
Menurutnya, perda merupakan turunan dari UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang penanganan konflik sosial yang isinya mencakup pencegahan konflik, penghentian konflik, dan pemulihan pasca konflik.
“Maka membuat perda memiliki dua alasannya yakni, UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang penyusunan Perda, perintah UU dan inisiasi lantaran Otonomi,” jelasnya.
Lanjut Labolo, rancangan perda penanganan konflik di Nabire terdiri dari judul, pembukaan, batang tubuh dan penutup. Batang tubuh sendiri terdiri dari 10 Bab, 53 pasal dan penjelasan-penjelasan. “Jadi sekali lagi bila ada masukan lain kita sangat butuh untuk baik untuk penambahan maupun perbaikan,” ungkapnya.(Red)