– Pengasuh asrama dan sekolah, khusus pelatihan pertanian dan peternakan di Moanemani (1980-2005)
Riwayat penugasan:
– 1969 – 1973: ditugaskan di Pusat Latihan pertanian dan Peternakan di Sentani-Papua.
– 1973-1977: bertugas di Agimuga, menangani kekurangan gizi suku Amungme.
– 1977–1979: dipindahkan ke Epouto, memimpin asrama dan SMP.
– 1979 – kembali ke Moanemani.
– 1980 – merintis tanaman kopi dengan 1000 pohon di kebun belakang asrama Moanemani.
– 2005 – ditarik ke Pusat Misi Fransiskan di Sentani, Jayapura.
Jasa :
– 1986 – Moanemani masuk peta Papua sebagai daerah baru dengan kopi sebagai ciri khasnya dan sudah menyebar di wilayah Papua, serta dikenal hingga sekarang.
BRUDER yang tak pernah merasa tua ini sudah kerap kali jatuh, bahkan beberapa bulan lalu mengalami patah tulang sekitar leher yang cukup serius. Aktifitasnya yang tetap gesit bagaikan pemuda ini memang berpengaruh atas kesehatan fisik yang cukup prima di usia 75 tahun. Sudah berkarya sejak 31 tahun lalu sebagai misionaris di Papua, 20 tahun terakhir ini karya dan nasehatnya didedikasikan bagi pengembangan perkebunan kopi di Moanemani yang kemudian menyebar ke seantero pegunungan tengah Papua. Sebuah sisi lain dari misi pewartaan Kabar Gembira (baca: Injil).
Teruji di wilayah krisis
Br. Jan Sjerps, OFM terlahir di sebuah keluarga petani Belanda di dusun Zwagdijk-Oost, distrik Wervershoof 1 Nopember 1939. Beliau bergabung dengan para saudara dina di OFM Belanda, 5 Nopember 1964. Tidak lama setelah itu pada tahun 1969 beliau diperintahkan pergi ke Sentani, Jayapura untuk memperkuat misi Fransiskan di Papua. “Waktu itu misi di Papua sangat kekurangan tenaga sehingga kami cepat-cepat diutus,” ujar Br.Jan. Dengan latar belakang sebagai keluarga petani, beliau ditempatkan memimpin Pusat Latihan Pertanian/Peternakan di Sentani selama empat tahun.
Karena ada kekurangan gizi di Agimuga, maka beliau diutus memulai program agraris di Agimuga. Bruder Jan memperkenalkan sejumlah tanaman sayur dan kacang-kacangan serta ternak unggas kepada penduduk suku Amungme itu. Berkat kompos dari kotoran ternak dan manusia, hasil pertanian cukup berlimpah. “Akhirnya saya membeli semua hasil sayur, mereka tanam buncis, kacang tanah, kacang hijau, padi dan unggas lalu saya jual kembali toh dan membeli daun seng karena mereka semua mau rumah seperti para guru. Mereka gergaji kayu dan bayar tukang untuk bikin rumah.” Kenang Br.Jan yang bukan sekedar mengajarkan tekhnik pertanian dan peternakan belaka tetapi akhirnya memecahkan solusi kelimpahan produksi pangan akibat program tersebut. Selama sekitar empat tahun di Agimuga, bruder juga kumpulkan sekitar 30 orang muda untuk menjadi kader di bidang pertanian. “Mereka setelah lulus SD tidak tahu hendak kemana. Saya berpikir mereka harus hidupi diri dengan bertani, hingga sekarang masih ada yang jadi tokoh,” Br.Jan membanggakan anak didiknya.
Pada tahun 1977 terjadi perang di wilayah tersebut dan selama tiga bulan jalan masuk lewat darat, air maupun udara tertutup karena OPM (Kelik Kwalik) menguasai pedalaman. Tapi wilayah tersebut bertahan hidup dengan hasil pertanian dan peternakan lokal. Situasi darurat tersebut sudah menjadi tolak ukur ketahanan pangan Agimuga berkat program agraris yang dirintis oleh sang misionaris.
Awal dari sebuah nama dalam peta
Setelah dinilai kurang aman dan dirasakan program sudah berjalan cukup baik, pada tahun yang sama, Br.Jan diutus ke Epouto untuk mengembangkan pertanian dan peternakan, asrama dan sekolah SMP. “Semua saya kerjakan, mulai dari urus tanaman sampai mengajar anak-anak dan anak-anak harus diberi makan dari hasil pertanian, walau tetap ada bahan makanan dari luar tetapi tiap pagi mereka makan kacang merah,” Bruder menerangkan tugasnya di Epouto. Namun karya bruder di Epouto tidak lama, hanya dua tahun saja. Pada tahun 1979, Bruder pindahkan semua karya misi ke Moanemani. Menurutnya tanah tidak cukup subur utk umbi-umbian guna memberi makan siswa dengan dua sekolah paralel sedangkan biaya operasional akan menjadi terlalu mahal jika selalu harus datangkan pangan dari luar.
“Saya pindahkan semua ke Moanemani dan di sana saya memulai semuanya baru dari awal lagi: membangun asrama dan membangu sekolah lengkap dengan tangki air dan fasilitas yang baik itu, sangat kuat!” Bruder menambahkan. Di Moanemani, yang sekarang menjadi ibukota kabupaten Dogiyai, karya P5 dimulai berdasarkan pengalaman di Epouto ditambah kerja sama yang baik diantara misionaris Fransiskan saat itu. Sementara bruder Jan mengurus pendidikan, P.Koenen, OFM selalu tekankan kerja pertanian dan peternakan dalam setiap kotbah di paroki Moanemani yang dipimpinnya sementara Br. Karel secara khusus menangani pengairan di wilayah yang hanya rawa belaka tersebut, suatu hal yang tidak mungkin terbayangkan jika kita melihat Moanemani saat ini.
Dengan selesainya kompleks asrama dan sekolah tahun 1980. Bruder Yan memusatkan perhatian dengan pelatihan anak-anak SMP, beliau menjelaskan: “Kami tanam 1000 pohon kopi sebagai percontohan dan latihan bagi para petani di moanemani.” Bruder mengambil bibit dari Yametadi, dahulu dinas pertanian pemerintahan Belanda tanam kopi di wilayah tersebut tetapi tidak berkembang. Di bawah pengawasan bruder Yan kebun kopi di belakang kompleks sekolah ini akhirnya dilirik juga oleh pemerintah dan ditetapkan menjadi pusat pembibitan kopi bagi seluruh papua sekitar tahun 1986. Sejak itu, Moanemani terkenal dengan kopinya yang memiliki cita rasa khas dan sebuah nama muncul di peta kosong pegunungan tengah Papua: Moanemani.
Memasok kebutuhan pabrik kopi P5
Menurutnya sekitar 300 anak dikerahkan untuk mengerjakan kebun kopi. Tiap minggu bruder mentargetkan waktu 2 jam untuk perawatan tanah pada masing-masing pohon. Beliau menggunakan kotoran sapi dan kotoran besar anak-anak asrama sebagai pupuk bagi tanaman kopi. “Setiap anak punya satu kaleng untuk tampung kotoran dan itu dibuang di kebun kopi, praktis heh?!” kelakarnya. Tiap sabtu dan minggu pergi ke kampung untuk penyuluhan kopi dan memberikan penyadaran tentang pentingnya tanaman ini bagi perkembangan masyarakat. “Apalagi anak-anak dari mana-mana datang, mereka juga mau tanam kopi di daerah asalnya, jadi promosi yang cukup baik,” sambung bruder.
Masalahnya bruder Jan tidak sempat lagi untuk mengajar goreng kopi karena berbagai kesibukan yang sudah menantinya di sekolah dan asrama. Di sekolah, selalu ada pelatihan mengupas kulit merah, proses fermentasi dan mengeringkan kopi, setelah kering, kulit keras (parchment) dikupas dan kopi dijemur lagi menjadi biji kopi berwarna hijau segar (green). Maka bruder memang serius pusatkan program pembibitan, pemeliharaan dan pengolahan pasca panen perkebunan kopi, sementara hasil panen yang sudah siap digoreng langsung dijual ke pabrik kopi P5 untuk mendukung program ini. Saat itu satu-satunya roaster hanya ada di pabrik kopi milik keuskupan lewat program yayasan P5 di Moanemani maka seluruh hasil kopi terbaik dari masyarakat ditampung di situ.
Di tempat lain di timeepa beberapa petani sudah punya kopi juga sebelum Br.Jan datang. “Sekitar tahun 1980an sudah ada kebun kopi yang bagus di sekitar Timeepa, mungkin itu sebabnya kita sekarang punya dua jenis kopi di pedalaman,” ungkap bruder Jan, yang menerangkan banyak hasil kopi dari Timeepa di kirim ke Nabire dengan pesawat misi lalu para pendatang mengolahnya, mereka mencampur kopi dari Timeepa maupun kopi buangan dari Moanemani dengan jagung untuk kemudian memberi cap Moanemani guna menarik pembeli yang terlanjur suka kopi Moanemani. Berangsur-angsur, pabrik kopi asal-asalan itu lebih sukses memasarkan produknya yang murah ketimbang pabrik P5, yang semakin susah mendapat kopi bermutu dari masyarakat. Sudah lima tahun terakhir produksi kopi masyarakat menurun drastis seiring perginya sang begawan kopi, Bruder Jan, yang karena usia ditarik ke pusat misi Fransiskan di Sentani, Jayapura sejak 2005.
Akhirnya bruder yang masih terus memantau hasil kerja kerasnya mengembangkan kopi di pegunungan tengah Papua memberi komentar terkait dengan usaha Misi Domestik KAJ menghidupkan kembali semangat jadul itu, “Sekarang tiap petani bisa goreng kopi, itu bagus sehingga ternyata bisa lebih efisien dan sejalan juga dengan cita-cita Gereja mandiri. Di papua sering pembangunan meloncat-loncat, dengan industri kecil hal ini bisa dihindari. Sekarang bisa muncul kerja koperasi. Program P5 tidak pikirkan hal itu dahulu, karena punya modal besar dirikan pabrik bagus, ada fasilitas dari misi soal bahan bakar misalnya mereka pakai avtur. Dengan industri rumah tangga, sebuah kelompok kerja bisa membuat hal ini dengan murah seperti di Belanda dulu, kami juga biasa buat keju dari sapi yang kami sendiri perah. Dan ini bisa hidupkan masyarakat Kamuu dan Mapia masuk dalam budaya kopi… ya… seperti Toraja.”
[Artikel ini pernah dimuat dalam Majalah Hidup]
Selamat Jalan Bruder Jan, jasa-jasamu akan Kami kenang. jadilah pendoa bagi kami!!!