Otto Woisiri terlihat tenang dengan senyum khasnya. Dengan mengenakan celana pendek berwarna hitam dan kaos putih berkerak sambil tersenyum saat disambangi jubi. selamat datang anak, sapanya.
Ia tak membuang waktu, langsung menceritakan rasa was-was keluarganya disaat menghadapi musim ombak.
Rumah Otto Wosiri
Rumahnya, termasuk warga lainnya yang berada di pinggir pantai dikelilingi pepohonan dengan pasir putih pantai yang begitu sejuk. Namun kondisinya sudah sedikit berbeda dengan puluhan tahun sebelumnya. Sebagian pohon sudah ditebang dan dihantam ombak. Tak ada lagi pepohonan yang menyangga perumahan di kawasan ini. padahal dulunya, jarak dari rumah ke bibir pantai hampir 35 meter, kini hanya kurang lebih 5 sampai 10 meter.
“Beginilah anak, nasil kami orang kecil. Kalau sudah musim ombak di bulan desember sampai januari, kami tidur tidak nyenyak,” cerita Wosiri.
Otto Wosiri I
Kelurahan kalibobo, sebagian besar penduduknya membangun rumah di pinggir pantai. Kelurahan ini adalah satu dari sekian kampung yang perumahannya tak jauh dari pantai.
Kawasan atau perkampungan lainnya yang terdampak abrasi adalah Smoker, Pantai Kalinona, Kampung Waroki, Kampung Sima, Kampung Makimi, juga mengalami hal serupa.
Rumah warga semenjak tahun 1980-an masih berjarak kurang lebih 35 meter dari garis pantai. Lambat laun berubah menjadi 30 meter lalu 10 bahkan kurang dari itu.
“Di musim ombak, kami selalu waspada karena rumah sangat dekat, ombak kikis pelan-pelan. apalagi kalau di malam hari, tidur kami tidak nyenyak, kata Woisiri.
Ia mengaku, jarak dari rumah ke bibir pantai hanya mencapai 5 meter. Pohon dan kepala yang ditanam untuk menahan abrasi tidak mempan, ombak menghantam.
Bahkan bukan hanya ombak, tapi ada tamu lain yang menyusup di balik ombak yakni sampah berbagai jenis. Bukan hanya Wosiri, sebagian besar kawasan pantai di sekitar Kalibobo mengalami hal yang sama. Tak ada lagi pepohon untuk menyangga dan menangkal gelombang laut. Alhasil, abrasi pun terus mengikis.
“Kami di Kalibobo sudah pasrah. Berbagai upaya dilakukan mulai dari mengadu kepada aparat kampung hingga BPBD setempat. Tapi belum ada respon, kami hanya minta kalau bisa dibangun tanggul,” keluhnya.
Sampah di Kali Samping PT. Pertamina
Hal serupa dialami warga di kompleks perumahan Kalinona, Kelurahan Nabarua. Kompleks ini bersebelahan dengan Depot PT pertamina Nabire yang hanya dibatasi oleh sebuah kali (sebutan lokal untuk sungai).
Selain diterjang ombak, perumahan di sekitar juga akan kebanjiran ketika hujan. Maka sampah akan muncul dari laut bahkan dari kalinona.
“Kalau ombak tinggi pasti masuk ke rumah. apalagi musim hujan, sampah dari bagian atas semua akan terkumpul di sini,” Steven Rondonuwu, penduduk setempat.
Komplek ini sudah menjadi langganan rob maupun banjir akibat hujan deras. Steven juga mengaku tidak ada korban jiwa atau kerusakan fatal. Tetapi, sebagian perahu nelayan akan rusak.
“Ini sudah bertahun-tahun terjadi. Pertamina membangun tanggul hanya di dekat lahan mereka, sedangkan di seberang perumahan belum ada tanggul,” kata Jack Marey, warga lain.
Termasuk di Kampung Waroki, Distrik Nabire Barat. sebanyak 16 rumah terendam air laut akibat gelombang pasang. Warga mengaku, belasan rumah yang berada di pesisir pantai waroki terendam air setinggi betis orang dewasa, akibat terjangan gelombang pasang air laut pada pekan lalu. Perumahan warga terendam air laut dan sebagian harta benda termasuk perahu nelayan rusak.
“Sumur, MCK, satu gedung gereja rusak,” tutur seorang ibu, Diana Maniagasi.
Mereka berharap agar pemerintah daerah melalui instansi teknis untuk memperhatikan keluhan warga di pesisir di sepanjang pantai di Nabire. setidaknya, ada tanggul yang dibangung agar terhindar dari gelombang laut.[*]
Dapatkan update berita Bumiofinavandu.com dengan bergabung di Telegram. Caranya muda, Anda harus menginstall aplikasi Telegram terlebih dulu di Android/Ponsel lalu klik hlanttps://t.me/wartabumiofinabirepapuatengah lalu join. Atau dapatkan juga di medsos (Facebook, Twitter, Instagram, Youtube, Tiktok) dengan nama akun Warta Bumiofi.
9 Komentar