Tahun baru dan ritual memberi makanan panas kepada leluhur

Upacara teing hang kolang di Kampung Lentang, Kec. Lelak, Manggarai, Flores – NTT – Lomes.

Pergantian tahun atau perayaan tahun baru saban tahun adalah momen yang istimewa. Momen ini dirayakan dengan meriah. Pesta kembang api di mana-mana. Hura-hura. Minuman keras laku keras juga, saya kira.

Itu dulu. Tahun baru 2021, tentu, karena pandemi covid-19 menjadi beda. Dibatasi. It’s OK. Forget it. Saya hanya mau ceritakan yang beda di ujung barat Pulau Bunga (Manggarai) tiap tahun.

Bacaan Lainnya

Di sini, tiap tahun baru diadakan upacara “teing hang kolang“. Secara harafiah teing hang kolang artinya memberi (teing) makanan (hang) yang panas (kolang) kepada leluhur atau sanak keluarga yang telah meninggal (ibu atau bapa).

Upacara ini dipercaya sebagai simbol penghargaan atau ungkapan syukur kepada Mori Jari Agu Dedek (Tuhan Pencipta dan Pemilik Kehidupan) dan leluhur atas berkat atau rezeki yang telah diterima seluruh anggota keluarga, dan harapan akan berkat pada hari-hari berikutnya. Istilah simpelnya kapu agu naka ntaung weru.

Biasanya pembuat acara mempersiapkan ayam putih, tuak, dan uang. Ayam dibunuh untuk persembahan. Bagian dalam daging dibakar dan disayat tipis-tipis untuk dicampurkan dengan nasi panas. Setelah ditaruh dalam wadah daging dan makanan itu diberikan kepada leluhur setelah melalui doa khusus. Lalu makanan itu ditaruh di sebuah wadah yang digantung di bawah loteng rumah (na’a eta lobo). Nama wadah itu adalah langkar.

Upacara teing hang kolang ini dilakukan melalui langkah-langkah yang teramat alot. Sebelum tudak (doa) dilakukan wewa reweng le tuak (ajakan/izin/pemberitahuan dengan menggunakan tuak) kepada setiap orang yang hadir sebagai saksi atas upacara tersebut. Misalnya perwakilan pihak anak rona (keluarga ibu), woe (keluarga tanta/saudari), ase-kae atau wa’u (keluarga/famili), dan lain-lain.

Setelah pemberitahuan (wewa) kepada setiap orang yang hadir dengan simbol tuak (dan uang), lalu pemilik rumah melakukan wewa (ajakan/izin) kepada juru tudak untuk meminjam mulut tuan rumah sebagai pendoa atau pembicara. Dia pun mulai berbicara kepada roh orang yang sudah mati itu dan Mori Jari Agu Dedek. Beberapa kata, misalnya;

“Denge lite ema atau ema tua atau ende tua, ai wie ho’o ami neki weki manga ranga, kudut adak teing hang kolang ite. Rantang tegi hang data ite ho kin lami adakn teing hang ite…. (Dengarlah bapa atau bapa tua atau mama tua, karena malam ini kami berkumpul dan temu muka, untuk mengadakan upacara pemberian makanan yang panas kepada kalian/Anda. Agar kau/kalian tidak meminta makanan kepada orang lain sehingga malam ini kami masih mengingat kalian dengan memberikan makanan yang panas….).

Denge kole lite Mori Jari Agu Dedek. Ai ho’o cain ntaung weru wiha mangan kapu agu naka lami lonto torok padir wai agu rentu sa’i. (Dengarlah Dikau Tuhan Pencipta. Karena saat ini tiba tahun baru sehingga kami memangkunya /menyambutnya dan bergembira ria duduk bersama [melingkar]). Dan seterusnya.

Beberapa ungkapan di tengah tudak, misalnya, dan arti harafiah yang saya terjemahkan: “Porong geal koe neho sesap mosed (semoga kepala mereka ringan seperti pengikat kepala) 


Neka do’ong one golo neka asi one bea (jangan terhenti di bukit jangan berhenti di lembah/dataran) 
Porong uwa gula bok leso (semoga bertumbuh pada pagi hari berkembang pada siang hari) Mese bekek langkas nawa (bahu melebar nyawa/roh semakin tinggi) Wiko le ulu jengok lau wai (tumbuhan wiko di hulu [sa’i/kepala] tumbuhan jengok di hilir [kaki/wa’i]) 


Wake calern ngger wa saung bembang ngger eta (akar tertancap ke tanah daun rimbun ke atas) 
Pateng wa wae worok eta golo (kuat berakar di air kuat seperti pohon worok di bukit) 
Neka nepo leso neka ringing ti’is (jangan, ups sorry ini sa tida tau. Ehhehe) 


Neka ngoel loke dango ranga (janganlah kulit tipis cepat terkelupas dan muka kering) 
Porong molek loke baca tara (semoga kulit terlihat indah dan paras terus berair/indah) 
Hitus tombo, am tombo toe kop (itu semua permintaan mungkin tidak pantas) 


Hitus kapu, am kapu toe patut pecing one manuk (itu semua sambutan mungkin tidak layak kami persembahkan semuanya melalui ayam ini). 


Eokkk….(bunyi ayam setelah salah satu bulunya dicabut) 
Biasanya keluarga ca kékés (satu ranting dekat buah) atau ca panga (satu ranting) menghadiri upacara ini. Selain itu pihak lain di dalam kampung juga hadir.

Namun lazimnya tiap rumah di sebuah kampung diadakan ritual teing hang kolang serupa saat tahun baru, sehingga hampir pasti hanya segelintir orang saja yang hadir (keluarga ca kekes atau ca panga). 

Upacara teing hang kolang pada pergantian tahun ini merupakan simbol atau ungkapan syukur atas rezeki atau berkat yang telah diterima dari Yang Mahakuasa oleh anggota keluarga. Selain itu, upacara ini dibuat sebagai sebentuk doa atau harapan akan kehidupan yang lebih baik, seperti pekerjaan atau usaha, kesehatan, relasi sosial, dan dijauhkan dari gangguan roh halus atau iblis. 

Orang Manggarai (Kabupaten Manggarai, Manggarai Timur, Manggarai Barat) meyakini bahwa leluhur atau orang yang telah meninggal itu dekat dengan Mori Jari Agu Dedek (Tuhan Sang Pencipta), sehingga mereka adalah perantara dari setiap doa dan keluh kesah keluarga yang masih hidup.

Mereka juga dianggap dekat dengan orang-orang atau keluarga yang masih hidup, sehingga sewaktu-waktu mereka datang “menegur” bila kita melanggar adat atau melakukan perbuatan tercela, dan serentak mereka bertindak sebagai pelindung.

Oleh sebab itu, mereka harus diberi “makanan yang istimewa” (persembahan) sebagai simbol, bahwa kita masih menghormati mereka sebagai bagian dari keluarga meski mereka berada di dunia lain (dunia sana). Kalau saya tidak salah, upacara teing hang kolang ini selaras dengan perintah keempat (dari 10 perintah Allah) dalam ajaran Kristiani, yaitu, hormatilah ibu dan bapakmu. 

Pada saat upacara adat seperti ini, mereka yang hadir memakai kain tenun (tengge towe songke atau towe todo) dan mengikat kepala (pake sapu) atau songkok (jongkong), sehingga kelihatan rapi. Setelah upacara selesai barulah diadakan makan dan minum bersama. Tuak yang digunakan untuk wewa tadi diminum bersama. Itulah seninya adat dan budaya Manggarai. Seperti sebuah lirik lagu: “seni ho go seni ho go senang nai ge.” [Lomes]

PHP Dev Cloud Hosting

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

8 Komentar

  1. Ping-balik: article