Jakarta, Bumiofinavandu.Id – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mendukung upaya percepatan pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) melalui penyampaian orasi bersama surat terbuka terkait RUU PKS kepada Presiden RI, Joko Widodo dan Ketua DPR RI, Puan Maharani.
Kemen PPPA dukung penyampaian surat terbuka pengesahan RUU PKS kepada Presiden dan DPR RI
Adapun penyampaian orasi dan surat terbuka tersebut disampaikan oleh perwakilan organisasi, lembaga masyarakat, seniman, akademisi, tokoh agama, dan lainnya, untuk menindaklanjuti dikeluarkannya RUU PKS dari daftar Prolegnas RUU Prioritas tahun 2020.
“Kemen PPPA mewakili pemerintah, sangat mendukung upaya segera pengesahan RUU PKS menjadi UU PKS. Penundaan pembahasan RUU ini menjadi keprihatinan kita semua mengingat persoalan kekerasan terhadap perempuan dan anak begitu marak terjadi. Mari bersama kita kawal RUU PKS agar segera disahkan menjadi undang-undang, sehingga kita memiliki payung hukum yang komprehensif untuk menghentikan kejahatan seksual yang sangat merugikan bangsa ini, sekaligus memberi perlindungan kepada para korban. Semoga langkah bersama ini, semakin memperkuat perjuangan kita untuk segera menghadirkan UU PKS demi menyelamatkan bangsa ini terutama bagi perempuan dan anak sebagai korban terbesar kekerasan seksual,” ungkap Plh. Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan, Ratna Susianawati dalam acara Orasi Terbuka Pembacaan Surat Terbuka Dukungan terhadap RUU PKS (20/07).
Ratna juga memberikan apresiasi tinggi kepada para pihak yang terus mendorong upaya pengesahan RUU PKS. “Hal ini menjadi komitmen dan spirit kita semua untuk bersama-sama menjalankan salah satu isu prioritas dalam 5 (lima) tahun ke depan, yaitu menurunkan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak sesuai dengan amanat presiden RI, Joko Widodo,” tutur Ratna.
Di samping itu, Deputi II Kantor Staf Presiden (KSP), Abetnego Panca Putra Tarigan, mengungkapkan KSP mendukung upaya pembahasan RUU PKS yang sejalan dengan arahan Presiden untuk meningkatkan perlindungan dan pelayanan terhadap perempuan dan anak. “Secara prinsip kami mendukung proses yang ada dengan melakukan pertemuan terbuka dengan beberapa organisasi, lembaga masyarakat, dan stakeholder terkait untuk mendapatkan banyak pemahaman dan persepsi. Keberadaan RUU PKS ini harus benar-benar kita tempatkan demi memberi perlindungan bagi perempuan dan anak. Kita juga harus pastikan pelaksanaan kebijakan dapat berjalan efekif, tidak hanya untuk menjadikan RUU PKS menjadi UU semata, tapi bagaimana kita dapat melaksanakannya secara optimal dan efektif. Hal ini sangat penting dan harus diingat, disepakati, serta dilaksanakan bersama,” ungkap Abetnego.
Pada kesempatan yang sama, perwakilan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Ade Eri Dani, mengungkapkan banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi, serta untuk merespon ditundanya pembahasan RUU PKS oleh Komisi VIII DPR RI, INFID gencar menggaungkan urgensi RUU PKS dengan menggalang dukungan publik melalui surat terbuka kepada Presiden RI dan Ketua DPR RI. “Untuk mendorong upaya tersebut, hari ini kami menyampaikan orasi bersama surat terbuka yang akan disampaikan melalui audiensi kepada Presiden RI dan Ketua DPR RI pada pertemuan mendatang. Surat terbuka ini didukung oleh 126 penandatanganan dan telah dipublikasikan di media massa yaitu pada 16 Juli 2020 di harian Tempo dan pada 20 Juli 2020 di harian Kompas,” ungkap Deni.
Pada acara ini, terdapat sesi penyampaian orasi bersama pernyataan sikap dukungan percepatan pembahasan dan pengesahan RUU PKS oleh perwakilan kelompok pendukung yang terdiri dari organisasi masyarakat sipil, perwakilan sineas, musisi, komika, jurnalis, akademisi, dan tokoh agama. Psikolog Anak, Perempuan dan keluarga, Alissa Wahid menjadi salah satu perwakilan yang menyampaikan orasi terkait banyaknya korban kekerasan seksual yang belum mendapatkan terapi pemulihan trauma yang baik dan optimal. Alissa menganggap hal ini terjadi karena masih adanya kultur kurang peduli untuk meningkatkan pemulihan bagi para korban.
“RUU PKS ini sangat penting bagi kita semua terutama anak dan perempuan supaya bisa hidup terlindungi dalam lingkungan yang aman. Kualitas sebuah negara ditentukan dari bagaimana rakyat negara tersebut merespons dan melindungi korban kekerasan seksual sebagai pihak yang lemah yang membutuhkan perlindungan serta jaminan. Kekerasan seksual adalah kejahatan kemanusiaan sehingga kebijakan seorang pemimpin seharusnya mengutamakan kemaslahatan rakyatnya, bukan soal anggaran, bukan soal sulit atau tidak, tetapi untuk kesejahteraan masyarakat khususnya perempuan dan anak. Semoga para pemimpin bisa terbuka matanya dan segera mengesahkan RUU PKS,” tegas Alissa.
Perwakilan Artis dan Musisi, Meilani Soebono mengungkapkan bahwa dirinya pernah menjadi korban kekerasan seksual. Ia juga meminta dengan tegas kepada pemerintah untuk memprioritaskan nasib para korban dan tidak hanya terfokus pada persoalan anggaran. “Saya, Meilani, pernah mengalami hal kekerasan seksual, sampai saat ini saya tidak pernah mendapat ketenangan karena mengalami dan melihat dengan mata kepala sendiri. Saya seorang perempuan yang ingin melindungi diri sendiri dan sesama perempuan lainnya, akan selalu support para korban, kami akan selalu ada untuk kalian,” tambah Meilani.
Jurnalis Senior, Ati Nurbaiti bersama Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) ikut memberikan dukungan percepatan pembahasan RUU PKS, mengingat banyaknya kasus pelecehan maupun kekerasan seksual yang dialami para jurnalis perempuan saat bertugas yang dilakukan narasumber. “Adanya relasi kuasa tidak seimbang, inilah yang menyuburkan budaya pelecehan, dan menyebabkan kekerasan seksual terjadi. Untuk itu, RUU PKS ini harus segera dibahas demi melindungi keselamatan anak, saudara, maupun orang di sekitar kita,” tutur Ati.
Rangkaian kegiatan ini diakhiri dengan pembacaan bersama surat terbuka terkait dukungan terhadap pengesahan RUU PKS oleh lintas generasi dari berbagai elemen masyarakat.(Red, Publikasi Kemen PPPA)
8 Komentar