Ulasan Profesor Wim Polli tentang buku Bapa Papoea
Jan Pieter Karel van Eechoud (1904-1958) adalah periwira polisi pada zaman penjajahan Belanda yang ditempatkan pertama kali sebagai komandan polisi pada 25 Agustus 1936 di Manokwari. Atasan langsungnya adalah Residen H.J. Jansen yang berkedudkan di Ambon. Pada waktu itu Papua berada dalam Keresidenan Maluku.
Wilayah kerja van Eechoud mencakupi seluruh Papua Utara yang sama sekali belum dikenalnya tetapi segera harus dikenalnya dengan mengunjunginya bagian demi bagian, sambil membuat catatan etnografi berbagai suku yang ditemuinya.
Kian hari kian ia mengenal wilayah kerjanya dengan penduduk, adat-istiadat dan lingkungan alamnya. Pada tahun 1937 ia mengadakan sebuah perjalanan dengan jalan kaki sepanjang 300 km, dari Hollandia (kini Jayapura) hingga ke Sarmi. Ketika itu ia berumur 33 tahun.
Kegiatan van Eechoud diperintahkan dan didukung sepenuhnya oleh atasannya, Residen Jansen. Atasannya ini menugaskannya mengadakan perjalanan yang lebih luas pada tahun 1937, memasuki pedalaman Waropen hingga ke Sungai Mamberamo. Perjalanan yang direncanakan akan memakan waktu 40 hari, ternyata menjadi 90 hari.
Perjalanannya terus dilaporlan dan diberitakan secara luas hingga ke Eropa. Hasilnya sangat memuaskan. Gajinya dinaikkan dan ia dianugerahkan gelar kepahlawanan pada 22 Agustus 1939 oleh Ratu Wilhelmina ketika ia baru berumur 35 tahun. Singkatnya, ia bagaikan menjadi “raksasa” yang dikagumi dan dihormati secara luas, di dunia pemerintahan, ilmu pengetahuan, dan pers.
Tugas penjelajahannya kian diperluas, tetapi terhenti di tengah jalan karena pecahnya Perang Dunia II. Setelah bergerilya beberapa saat, ia berhasil dievakuasi dengan pesawat terbang air pada 21 Agustus 1942 ke Brisbane, Australia, untuk bergabung dengan Pemerintah Belanda dalam Pengasingan, yang dikepalai Letnan Gubernur Jenderal Hubertus van Mook (1894-1965). Ia diberikan pangkat Kapten Cadangan, dengan gaji yang sama tingginya dengan gaji seorang Mayor Jenderal Australia ketika itu.
Di Brisbane van Eechoud bertemu dan bekerjasama dengan Jenderal Douglas McArthur (1880-1964), yang merencanakan akan mengalahkan Jepang di Filipina dengan terlebih dahulu mengadakan persiapan di Papua. Van Eechoud mendapat tugas berat dari McArthur, yaitu membuat peta Papua lewat foto udara.
Pekerjaan yang dimulai pada bulan Oktober 1943 dilakukan selama dua bulan penuh, dengan menghabiskan ratusan jam terbang, mencakupi wilayah seluas 2.000 km persegi, dan menghabiskan ratusan meter film. Hasil akhirnya ialah: adanya peta untuk pendaratan pasukan McArthur di Papua. Pada 22 April 1944, jam 10 pagi waktu setempat, pasukan McArthur mendarat di pantai Hamadi, sekitar 4,5 km dari Jayapura.
Karena prestasi gemilang yang diperlihatkannya, di bawah komando McArthur van Eechoud ditetapkan menjadi komandan pasukan Belanda dan NICA (Netherlands-Indies Civil Administration) di seluruh Papua. Ketika pada 5 Maret 1946 Papua diserahkan kembali dari pemerintahan militer kepada pemerintahan sipil, van Eechoud dijadikan Pejabat Residen. Pengukuhannya sebagai residen baru terjadi melalui surat keputusan Letnan Gubernur Jenderal van Mook tertanggal 2 Februari 1947, yang berlaku surut mulai 15 Juli 1946.
Dengan kedudukannya sebagai orang kuat pertama di Papua, van Eechoud menggagaskan pembangunan Papua sesuai dengan kondisi nyata yang dihadapinya. Apa kondisinya, dan apa tindakannya?
Pertama, wilayah Papua yang maha luas itu tidak mungkin diperintah secara efektif jika tidak ada dukungan angkatan pamong praja yang dapat diandalkan. Maka, van Eechoud membuka kursus pamong praja untuk orang-orang asli Papua. Pembukaan kursus untuk 17 orang angkatan pertama terjadi pada akhir 1944. Pada pembukaan kursus itu ia menyampaikan pidato yang sangat menyentuh hati para peserta kursus.
Terjemahan bebas apa yang dikatakannya adalah sebagai berikut: “Pada tahun 1828 kami datang ke sini dan sejak itu memerintahkan orang Papua melakukan apa yang harus dilakukan. Hari ini kamu dipanggil untuk mengambil alih pemerintahan Papua kedalam tanganmu sendiri; hari ini Papua Baru dilahirkan” (Jan Derix, “Bapa Papoea;” 1987: 133). Spontan peserta kursus tertua berdiri dan mengatakan: “Wij geven U de eretitel Bapa Papoea, vader van deze Nieuwe Papoea.” Kami memberikan Anda gelar kehormatan Bapa Papoea, bapak dari Papua Baru ini (halaman yang sama di atas). Adalah Marcus Kaisiepo yang turut mengusung peti jenazah van Eechoud pada saat pemakamannya di Abepura, 8 September 1958. Sebagai pembicara terakhir pada acara pemakaman tersebut, ia mengemukakan kembali gelar “Bapa Papoea” yang telah diberikan kepada “raksasa” van Eechoud, 14 tahun sebelumnya.
Kedua, Papua yang luas, yang dihuni ratusan suku yang sering terlibat peperangan antar-suku, harus dapat dikendalikan keamanannya oleh angkatan kepolisian yang tangguh dan cukup jumlahnya. Van Eechoud mendirikan sekolah polisi pertama pada tahun 1945 di Merauke, yang kemudian dipindahkan ke Jayapura. Di samping itu ia juga mendirikan sebuah batalyon yang dinamakan Batalyon Papua.
Tindakan demi keamanan ini meninggalkan sebuah catatan merah. Pada 30 April 1947 terjadi pesta bir di Sarmi yang berakhir dengan kerusuhan yang memalukan. Van Eechoud terpaksa menulis surat pada 6 Juli 1947, yang ditujukan kepada van Mook di Jakarta. Lewat surat itu ia menjelaskan bahwa pembagian jatah bir kepada Batalyon Papua terjadi setelah ia tidak lagi memimpin batalyon tersebut.
Ketiga, ratusan suku Papua tersebar tempat tinggalnya di wilayah yang sangat luas, dan masing-masing mempunyai bahasa sendiri yang berbeda-beda. Perlu ada bahasa persatuan. Maka, bahasa Melayu, yang sudah diajarkan di sekolah yang didirikan gereja, ditingkatkan pengajarannya sebagai bahasa pemersatu orang-orang Papua. Beban ini diberikan van Eechoud kepada C.M. Gosal, guru yang direkrut dari Minahasa oleh Pendeta Isaak Samuel Kijne pada tahun 1929. Kijne dan Gosal adalah Direktur dan Wakil Direktur sekolah yang didirikan Zending Protestan di Miei.
Dengan catatan-catatan sejarah yang dikemukakan di atas, pelajaran apakah yang dapat ditarik untuk pembangunan masa kini? Di dalam mitologi Yunani ada sebuah cerita tentang Cedilon, seorang budak kerdil, yang dapat melihat jauh ke depan karena ia berdiri di atas bahu raksasa Orion yang buta. Dari mitos Yunani ini, Bernard Chatres dari Perancis menyatakan pada abad XII bahwa: “Kita ini adalah bagaikan orang kerdil yang dapat melihat jauh ke depan karena berdiri di atas bahu para raksasa dari masa lalu”. Pendapat ini dipopulerkan oleh Isaak Newton (1642-1726) pada tahun 1675 dengan mengatakan: “Jika saya dapat melihat lebih jauh ketimbang orang lain, hal itu disebabkan karena saya berdiri di atas bahu para raksasa.” Ini adalah pandangan seorang ilmuwan besar yang rendah hati.
Renungan
Adalah mungkin bahwa gagasan pembangunan, yang dikemukakan berbagai pemikir “raksasa” di masa lalu, masih relevan untuk dipertimbangkan kini boleh orang yang memilih posisinya sebagai “orang kerdil” tetapi berhati besar untuk pembangunan bangsanya. Prof. Wim Polli, mengulas isi buku tersebut dan mengajak kita untuk refleksi kembali konteks pembangunan Papua saat ini dengan dahulu kala.(Red)
11 Komentar