Hijab dan Cadar Lelaki

Oleh: Prof. Dr. Sumanto Al Qurtuby
Jika hijab diartikan sebagai kain “penutup kepala” (hijab mempunyai makna yang beragam termasuk tirai dan pembatas) dan cadar sebagai “penutup wajah”, baik sebagian atau semuanya, maka sesungguhnya kaum lelaki pun ada yang berhijab dan bercadar.
Saya telah memosting di Facebook tentang etnis Tuareg di Afrika, pengikut Islam Sunni-Maliki, dimana kaum lelakinya justru yang mengenakan hijab dan cadar yang disebut “tagelmust” (lihat postingan saya sebelumnya), sementara kaum perempuannya tidak.
Tetapi Tuareg bukanlah satu-satunya contoh dari lelaki berhijab dan bercadar. Berbagai studi antropologi juga menunjukkan kalau sebagian masyarakat lelaki Arab di kawasan Arab Teluk, Yaman atau Mesir juga berhijab dan bercadar dalam pengertian mereka kadang menggunakan “kufiyyah” atau “kafiyyeh” (kain yang umumnya dipakai untuk menutupi kepala; kadang disebut “imamah”) untuk menutupi sebagian wajah kalau di ruang publik.
Sebagaimana pemakaian “tagelmust” oleh etnis Tuareg yang memiliki sejumlah makna, motif dan tujuan, pengenaan “”kafiyyeh” untuk menutupi sebagian muka pun mempunyai beberapa tujuan, antara lain untuk melindungi muka dari debu pasir, juga agar tidak terlihat jelas bentuk muka mereka terutama kalau ada perempuan.
Menarik untuk dicatat bahwa tradisi lelaki berhijab dan berjadar ini juga disebut atau dinarasikan dalam sejumlah Hadis. Imam Bukhari dan Abu Dawud misalnya meriwayatkan pernah suatu saat Nabi Muhammad mendatangi rumah sahabatnya, Abu Bakar, dengan menutup muka (“mutaqanni’an”).
Diriwayatkan juga para penyair Arab klasik di Jazirah Arab (seperti Abdul Rahman atau Waddah, Abu Zaid al-Ta’i, Al-Makria al-Kindi, dlsb), jauh sebelum masa Islam, juga mengenakan selendang kain untuk menutup kepala dan muka mereka kalau berada di ruang publik atau saat hadir di acara-acara festival. Para warrior (pahlawan) suku-suku Arab dulu juga dikabarkan menutup kepala dan muka dengan kain kalau menghadiri perayaan publik (“mawasim”) dan pameran di pasar-pasar tradisional (“aswaq”).
Di kawasan Jazirah Arab, istilah “selendang kain penutup kepala dan muka” ini disebut “imamah” atau “khimar” (kadang juga disebut “litsmah”). Sebutan “imamah” biasanya untuk lelaki, sedang “khimar” untuk perempuan.
Tetapi Jubouri menyebutkan, pada masa pra-Islam di Jazirah Arab, “imamah” yang dipakai laki-laki kadang disebut “khimar” juga, dan kaum lelaki dapat “takhammar bi al-imamah” (berkhimar atau menutupi muka dengan imamah atau “ia berhijab dengan surban”). Memang dulu banyak laki-laki Arab (Aswad al-‘Ansi atau Auf bin al-Rabi, dlsb) yang mendapat sebutan “dzu khimmar” atau “orang ber-khimmar” lantaran selalu mengenakan cadar.
Menurut sejumlah sejarawan dan pakar studi keislaman, penutupan muka (pada lelaki) itu memiliki sejumlah motif atau tujuan utama, antara lain untuk “melindungi atau menjaga diri dari mata-mata jahat” (Kitab al-Aghani). Kalau istilah sekarang mungkin untuk melindungi diri dari “si hidung belang”. “Si hidung belang” ini bisa laki-laki dan juga perempuan.
Memang benar, sebagaimana kaum lelaki yang bisa “ngaceng temporal” kalau melihat perempuan “syantik”, kaum perempuan pun bisa “metenteng dan senut-senut temproral” kalau melihat lelaki tamfan.
Karena itu sungguh tidak adil Mario kalau hanya “perempuan” saja yang bercadar. Kaum lelaki seharusnya juga bercadar untuk menutupi rai mereka, baik mereka yang rainya tamfan apalagi yang rainya amburadul kayak oplet nyungsep.😱

Jabal Dhahran, Jazirah Arabia

Sumber tulisan:
PHP Dev Cloud Hosting

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

10 Komentar

  1. Ping-balik: PG Slot