Oleh: Pdt. Dr. A. A. Yewangoe
Itulah antara lain topik yang kami diskusikan di rapat BPIP hari ini, 25 April 2019. Rumusan resmi sebagai salah satu sila adalah, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.”
Tetapi bagaimana wujud demokrasi ini di dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat selama ini tidak selalu jelas. Sejatinya kita memang diingatkan agar tidak terjebak dalam apa yang disebut “demokrasi borjuis” dan/atau “demokrasi rakyat”. Artinya demokrasi kita harus mencerminkan semangat musyawarah (sesuai dengan kepribadian kita) guna mencapai mufakat. Semangat itu harus dibimbing oleh hikmat yang mengisyaratkan adanya peranan Tuhan di dalamnya, dan kebijaksanaan yang mengacu kepada kearifan dalam menjalin relasi sesama anak bangsa.
Dalam tataran praksisnya ternyata tidak semudah itu. Di tahun awal-awal kemerdekaan, kita terjebak dalam “demokrasi liberal”. Menurut sumber yang saya pernah baca di Negeri Belanda, Pemerintah Belanda tidak terlalu senang menjadikan Bung Karno sebagai mitra dialognya. Alasannya, Bung Karno adalah kolaborator Jepang yang adalah musuh Belanda. Mereka lebih senang dengan Sutan Sjarir.
Maka sebuah kompromi diciptakan yaitu adanya lembaga Perdana Menteri. Ini berlanjut dengan adanya partai-partai politik, di mana Presiden memberi mandat kepada ketua salah satu partai membentuk kabinet. Maka jadilah pemerintahan kita sebagai kabinet parlementer. Usia kabinet-kabinet ini tidak lama. Bahkan ada yang berusia beberapa bulan saja. Jelaslah dengan usia sependek itu hampir tidak ada program yang dapat direalisasikan.
“Kemelut” Dewan Konstituante (1955-1959) yang tidak berhasil menetapkan konstitusi baru menyebabkan Presiden Sukarno mendekritkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Demokrasi yang diperkenalkan disebut “Demokrasi Terpimpin”. Tidak jelas betula apa yang dimaksud.
Tetapi Bung Karno selalu berkata tentang “samen bundeling van alle krachten”, mempersatukan seluruh kekuatan guna mewujudkan tujuan revolusi yang menurut Bung Karno belum selesai. Bung Karno adalah Pemimpin Besar Revolusi. Ujung-ujungnya demokrasi terpimpin telah membawa Bung Karno menjadi seorang diktator.
Peristiwa G30S mengakhiri kekuasaan Bung Karno. Orde Baru bangkit dan memperkenalkan yang disebut, “Demokrasi Pancasila”. Kita tidak terlalu memahami apa yang dimaksud dan bagaimana pengejawantahannya dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Kelihatannya demokrasi ini merujuk kepada ide dan praksis pembangunan yang sedang giat-giatnya dilakukan pada saat itu. Namun pembangunan ditengarai sebagai makin memperlebar kesenjangan antara yang berpunya dan tidak berpunya. Pancasila juga dilihat sebagai alat mempertahankan kekuasaan yang berlumur korupsi, kolusi, dan nepotisme. Itulah alasannya mengapa Orde Baru ditumbangkan pada 1998 oleh kekuatan reformasi.
Angin reformasi berhembus dengan ekspektasi tinggi. Demokrasi apakah yang diharapkan? Mestinya demokrasi sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 alias sila ke-4 Pancasila. Tetapi bagaimana wujudnya? Ada kecenderungan Pancasila dilupakan. Itu juga berarti melupakan bukan saja rumusan melainkan juga jiwa dan praksis kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Secara formal kita mempunyai demokrasi Pancasila, tetapi praksisnya kita menerapkan demokrasi parlementer yang cenderung liberal. Resminya bentuk pemerintahan kita presidensial, tetapi praksisnya kita cenderung parlementer. Mestinya kita bermusyawarah, tetapi di dalam prakteknya kita lebih suka voting. Kita cenderung kurang arif dan bijaksana.
Di dalam keadaan seperti inilah kita berada sekarang. Pertanyaan yang harus dijawab adalah, dapatkah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan menjawab berbagai tantangan yang muskil di era modern, bahkan ketika kita memasuki revolusi industri 4.0.
Merdeka!